//Kerendahan Hati Karena Dituntun Roh Kudus (Lukas 14:7-14)-Pdt. Ekawati W. Nenobais-Lily, M.Th

Kerendahan Hati Karena Dituntun Roh Kudus (Lukas 14:7-14)-Pdt. Ekawati W. Nenobais-Lily, M.Th

Sahabat-sahabat Kristus yang di berkati…

Dalam tradisi Yahudi, ada perintah bagi umat, untuk mengadakan sebuah jamuan makan, atau dalam bahasa Ibrani disebut Seudat Mitsvah (Perintah Jamuan Makan).

Umumnya jamuan makan Yahudi ini dibuat untuk beberapa hal penting yaitu: Jamuan makan setelah seorang anak disunat, setelah penebusan anak sulung, setelah orang tua menerima penugasan pengasuhan anak, setelah genap waktunya anak-anak selesai membaca Talmud, saat pengucapan syukur, saat pesta perkawinan, setelah penghiburan dan perkabungan, sebelum puasa, setelah hari raya paskah, bahkan setelah hari raya purim.  

Ada juga jamuan makan yang dibuat bukan karena perayaan tertentu, misalnya seperti dalam teks yang kita baca ini. Yesus sang tokoh penting, yang disapa Guru itu datang ditempat mereka, dan sebagai penghargaan mereka menggelar jamuan makan bersama dan mengundang Yesus untuk makan bersama juga.

Untuk menggelar sebuah jamuan makan, salah satu persiapan yang dilakukan oleh tuan pesta adalah membuat daftar undangan dan mengundang tamu-tamu yang akan menghadiri jamuan tersebut.

Dengan menetapkan siapa tamu yang akan diundang, menolong tuan pesta untuk mempersiapkan segala sesuatu bagi kebutuhan para tamu sepanjang pesta digelar, termasuk didalamnya kebutuhan tempat duduk.

Pengaturan tempat duduk dalam sebuah jamuan pada tradisi Yahudi kuno, bukan hanya tentang kenyamanan duduk, bukan juga hanya tentang kenyamanan berinteraksi, tetapi juga tentang simbol yang mencerminkan hirarki sosial, atau hirarki keagamaan yang melekat dalam diri seseorang. Sehingga menjadi lumrah jika dalam sebuah jamuan makan, ada tempat duduk yang disiapkan bagi tamu-tamu biasa, maupun tamu-tamu kehormatan. Apalagi yang menggelar jamuan ini adalah petinggi Farisi.

Orang-orang Farisi adalah orang-orang terpandang yang sangat kuat memegang hukum taurat, dan mengabaikan hukum kasih. Yesus juga sering menyebut mereka munafik karena sering kali memamerkan kebaikan di tempat umum untuk dipuji, menganggap diri sendiri lebih baik dari orang lain, dan bahkan lebih lebih fokus pada hal-hal lahiria yakni penampilan luar.

Karena itu orang-orang Farisi sering kali mengkultuskan diri sebagai yang paling benar, dan dapat dengan mudah menajiskan seseorang karena latar belakang tertentu. Sehingga saat kita membaca perikop kedua, kita dapat melihat bahwa Yesus seolah mengkritik si pemimpin Farisi yang bertindak sebagai tuan pesta itu.

Si Farisi dikritik karena sebagai tuan pesta, ia hanya mengundang sahabat, keluarga, saudara, tetangga yang se-level atau bahkan lebih tinggi status darinya, yang mungkin besok, mereka yang diundang ini dapat dengan mudah membalas mengundang si pemimpin Farisi itu. Yesus melihat ada kelompok yang dengan sengaja dilupakan padahal mereka juga berada pada satu komunitas yang sama.

Kelompok itu adalah mereka yang miskin, yang cacat, yang lumpu, maupun yang buta. Dimana posisi mereka dalam jamuan itu? Apakah mereka diundang, lalu tidak bisa hadir karena kendala tertentu? Ataukah memang mereka tidak diundang?

Dari penjelasan Yesus pada teks ke dua, kita mendapat gambaran bahwa mereka yang miskin, dan yang berkebutuhan khusus ini memang sengaja tidak diundang. Kesombongan dan keangkuhan pemimpin Farisi ini telah menghilangkan mereka dari daftar undangan. Bagi si Farisi apa untungnya mengundang mereka. Untuk bertahan hidup saja mereka masih bergantung kepada orang lain, bagaimana mungkin mereka dapat membuat jamuan makan dan membalas undangan pemimpin Farisi ini.

Dari sini kita dapat melihat, bahwa kebaikan yang ditunjukan si pemimpin Farisi ini adalah kebaikan yang meminta balasan. Ia tidak lagi berbuat baik karena ketulusan, tetapi ia berbuat baik karena ada kepentingan tertentu.

Orang-orang miskin, cacat, buta dan lumpu, masih dilihat sebagai beban, yang menurunkan derajat dan nilai diri saat orang-orang ini diundang.

Dalam kehidupan bergereja kecenderungan ini juga menjadi salah satu ancaman yang mengikis persekutuan umat. Gereja tidak lagi menjadi gereja yang inklusi, yang memegang prinsip “semua orang berharga dan tidak boleh ada yang dilupakan”. Gereja justru mulai terjebak dalam berbagai kepentingan pelayanan yang sangat eksklusif. Padahal kerendahan hati dalam pelayanan memungkinkan gereja untuk keluar mencari dan menemukan mereka yang terlupakan dan terhilang dari persekutuan kita.

Karena itu tidaklah heran jika kesenjangan struktur sosial akan terlihat kental dalam jamuan makan di rumah petinggi Farisi, yang dihadiri Yesus itu. Sebab tentu akan banyak tamu-tamu penting yang ada disana, dan kemungkinan tamu-tamu dari kelompok menengah ke bawah, akan tereliminasi, jika mereka menduduki tempat duduk yang telah dikhususkan itu.

Ketika Yesus telah ada dalam jamuan itu. Ia melihat tamu-tamu mulai menduduki tempat-tempat terhormat itu, Ia lalu menyampaikan perumpamaan ini: “Kalau seorang mengundang Engkau ke pesta perkawinan, janganlah duduk di tempat kehormatan, sebab mungkin orang itu  telah mengundang seorang yang lebih terhormat dari pada mu. Supaya orang itu, yang mengundang engkau dan dia, jangan datang dan berkata kepada mu: Berilah tempat ini kepada orang itu. Lalu engkau dengan malu harus pergi ke tempat yang paling rendah”. 

Berhadapan dengan orang-orang tipe Farisi seperti ini, yang karena kesombongan dan keangkuhan, semena-mena memperlakukan orang, bahkan dengan kuasanya meminta tempat untuk dihormati, meminta tempat untuk ditinggikan atau disanjung. Yesus seolah ingin berkata, “kosongkan tempat itu untuk mereka!” Duduklah di tempat, di mana orang tidak lagi, mempersoalkan siapa yang paling layak ada di tempat ini dan itu. Duduklah di tempat dimana orang tidak saling merendahkan. Duduklah di tempat dimana keadilan ditegakan dan kerendahan hati dijunjung tinggi. Sebab Tuhan berpihak kepada orang-orang yang demikian. Ia berkata: Barang siapa meninggikan diri, ia akan direndahkan, dan barang siapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan. Ini peringatan terhadap orang yang sombong tetapi sekaligus janji penyertaan Tuhan bagi orang yang rendah hati. Bahwa siapa yang karena keangkuhan dan kesombongan meninggikan diri, lambat atau cepat ia pasti akan direndahkan, dan siapa yang tetap memelihara kerendahan hatinya, perlahan tapi pasti ia akan terus ditinggikan oleh Tuhan.

Sebab kita berharga bukan karena tempat tertentu. Kita berharga bukan karena posisi, atau status sosial tertentu. Kita berharga bukan juga karena cara pandang orang terhadap kita. Melainkan kita berharga karena pada diri kita Tuhan menaruh nilai keberhargaan itu. Dan nilai keberhargaan itu sama di hadapan Tuhan. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Kita semua sama berharga di mata Tuhan.

Dalam perumpamaan ini Yesus juga mengingatkan para tamu yang tidak masuk dalam hitungan “orang-orang terhormat” menurut kacamata orang Farisi. Mari belajar merendahkan hati, belajar menahan diri, belajar menempatkan diri dengan tepat.

Kerendahan hati adalah sikap tidak sombong atau angkuh, menyadari keterbatasan diri, tanpa merasa lebih baik dari yang lain, meskipun pada dirinya memiliki kelebihan atau pencapaian tertentu. Definisi ini menolong kita untuk mengukur diri kita masing-masing. Apakah kita masih rendah hati?

Hari ini banyak orang kehilangan kerendahan hati itu. Banyak orang berubah menjadi sombong dan angkuh, banyak orang merasa lebih baik dari orang lain karena kelebihan dan pencapaiannya, lalu saling meremehkan dan meninggalkan.

Dunia yang harusnya menjadi tempat jamuan kasih dipraktekan dalam relasi setara, justru berubah karena kesombongan, dan keangkuhan kita.

Kita lalu memberi nama: “Ada tempat yang paling utama”, dan itu tempat bagi mereka yang kuat. Dan “ada tempat yang paling rendah”, itu tempat bagi mereka yang lemah.

Perumpamaan ini mendorong kita untuk merestruktur kembali cara berpikir kita, bahwa dunia bisa memberi nama apa pun tentang tempat atau poisisi kita hari ini, tetapi orang-orang yang memiliki kerendahan hati karena dituntun oleh Roh Kudus tidak berubah sombong dan angkuh. Orang yang rendah hati, sekalipun ia berada di tempat yang paling utama, ia dapat dengan ramah duduk semeja bersama orang-orang kecil yang berada pada tempat yang paling rendah.

Begitupun sebaliknya kerendahan hati memungkinkan orang-orang yang berada pada tempat paling rendah, tidak perlu memaksa diri untuk ikut terjebak dalam kesombongan dan keangkuhan, hanya untuk menjadi yang utama. Dan kemudian berbalik menjadi penindas bagi sesama yang lemah. Orang yang rendah hati tidak demikian.

Melalui Firman ini kita belajar, bahwa Yesus telah melakukan banyak pelayanan yang menembus sekat dan batas. Ia Tuhan yang telah terlebih dahulu memberi teladan kerendahan hati. Ia telah masuk dan hidup bersama orang-orang kecil. Bergaul dan bersahabat dengan orang-orang yang dikucilkan. Bahkan memprioritaskan mereka sebagai bagian dari sebuah jamuan makan bersama. Yesus itu jugalah yang memberi kita RohNya yang Kudus untuk melanjutkan pekerjaan-pekerjaan kebaikan seperti yang telah ia kerjakan.

Ia ingin kita hidup dalam kerendahan hati, supaya kita dapat memeluk kembali mereka yang terlupakan dan memulihkan mereka yang terluka. Orang yang rendah hati, tidak akan berubah, sekalipun posisi dan keadaannya berubah. Orang yang rendah hati, selalu tahu bagaimana cara menempatkan diri di tempat yang tepat. Kerendahan hati yang dituntun Roh Kudus selalu pulang kepada kita dengan buah-buah yang manis.

Tuhan memberkati, Amin.