//Catatan dari Kursus Pendidikan Multibahasa di Thailand dan Sumbangannya bagi Sekolah GMIT – Dr. Fredrik Abia Kande

Catatan dari Kursus Pendidikan Multibahasa di Thailand dan Sumbangannya bagi Sekolah GMIT – Dr. Fredrik Abia Kande

Foto: Fredrik Kande

Cerita awal

Hari itu, minggu 15 Juni 2025 bersama pak Franky (Ketua Yapenkris Adha Hari Sabu) kami tiba di Bandara Chiangmai, Thailand. Setelah menunggu beberapa saat, kami dijemput oleh keluarga Smith dan langsung diantar ke “Madugu Serviced Apartment”, tempat kami menginap. Kami tiba di apartemen sekitar pukul 22.00 waktu setempat. Perjalanan dari bandara ke apartemen ditempu dalam waktu sekitar 25 menit. Setelah check in dan memasukan barang-barang di kamar yang telah dipesankan oleh salah satu tim program ini, kami mencari makanan saat itu juga mengingat kami belum makan malam. Oleh karena sudah cukup larut, tidak banyak pilihan bagi kami untuk memilih menu, yang ada adalah nasi goreng. Itu pun setelah kami berjalan sekitar 400 meter dari apartemen untuk mencarinya, oleh karena tidak semua rumah makan yang ada menjual nasi. Setelah makan malam, kami langsung kembali ke apartemen untuk beristirahat karena besok hari harus mengikuti kursus hari pertama.

Pagi hari kami sarapan di apartemen, walau harga sedikit mahal, namun mengingat kami belum tahu tempat sarapan yang dekat kampus. Tidak ada nasi, kami dikasih roti, buah, daging, dan juss. Setelah sarapan, kami berjalan kaki dari apartemen menuju  kampus Payap University. Berjalan kaki kurang lebih 15 menit menuju kampus memberikan kesan berbeda, oleh karena  selain di kiri kanan terlibat gedung-gedung apartemen yang menjulang tinggi, sehingga tidak ada kesan pemukiman yang padat penduduk juga yang membuat kami terpanah adalah kampus yang tampak sangat hijau dan alami. Keadaan tanah yang berair dengan terdapat kolam besar dan kecil menambah indah pemandangan di kampus itu. Selain terdapat kolam besar  dengan air mancur berdirinya tampak ada sebuah Kapela tempat ibadah kampus yang dibangun di atas kolam, namun oleh karena di atas kolam itu ditumbuhi tanaman air aquascape  berwarna hijau, sehingga tidak terlihat sebuah kolam di bawah bangunan tersebut. Selain itu di bagian depan sebelah kiri kampus, bagian terluas yang berair itu ditanami Melati Air sehingga membuat pemandangan menjadi lebih indah, estetis, bahkan rileks. Tanaman air yang sengaja ditanami untuk memberikan manfaat ekologis dan kesehatan air itu antara lain dapat menyaring polutan yang berasal dari kendaraan dan lainnya.

Kami tiba di kampus dan menuju Gedung Pentakosta, langsung ke lantai 3 tepatnya di ruangan 304 yang memang disiapkan untuk kursus. Di sana sudah ada 2 orang pengajar dibantu beberap orang asisten yang menyambut kami. Mereka masing-masing, Aj. Jim Smith, Aj. Karla Smith (Suami Isteri), keduanya merupakan dosen di Institut Linguistik Payap University, Miss Philina Ng (Singapura), Mrs. Juomi dan Miss Pamanday (Malaysia), dan Miss Dora (Timor Leste), dan Miss Liz Foerster (USA), Samallay Sakujaroenlent (India), dan Yuko Tauchi (Jepang). Ada juga kedua cucu dari Aj Jim dan Aj Karla yang sedang berlibur di Thailand yakni Jim dan Joana, keduanya merupakan mahaiswa di salah satu universitas di Colorado, USA.

Kami yang mengikuti kegiatan ini sebanyak 22 orang berasal dari 9 negara, masing-masing Indonesia, Thailand, Philipina, Laos, Kamboja, Myanmar, Malaysia, Timor Leste, Nepal, dan India. Khusus dari Indonesia berjumlah 3 orang, 2 orang dari GMIT (Ketua Yapenkris Pongdoling Alor dan Ketua Yapenkris Ada Hari Sabu) dan 1 peserta dari Papua Barat. Peserta yang mengikuti Kursus Pendidikan Multibahasa umumnya merupakan para fasilitator dan trainer dari berbagai negara dan institusi yang telah menjalankan Pendidikan Multibahasa, baik di sekolah formal, komunitas, maupun di sekolah minggu.

Setelah acara pembukaan yang dihadiri oleh Direktur Institut Linguistik Payap University, para pengajar memperkenalkan materi-materi kursus sekaligus strategi belajar dan model evaluasi yang akan diberikan bagi peserta selama kursus. Strategi yang diberikan yakni menggunakan pendekatan pembelajaran campuran (Mixed Approach to teaching) meliputi: mengajar, diskusi kelompok, presentasi program (study case) oleh setiap peserta, belajar mandiri melalui membaca dan membuat refleksi. Sementara berbagai fitur yang dapat diakses untuk mengikuti proses pembelajaran yang meliputi Timetable/schedule, reading list, handouts, books, resources, presentation posted later.

Semua komunikasi menggunakan Bahasa Inggris. Walaupun saya sendiri tidak begitu bagus kemampuan berbahasa Inggris, akan tetapi sudah harus terbiasa mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis dalam Bahasa Inggris. Karena berbahasa Inggris itu yang terpenting adalah pembiasaan. Hari-hari kami jalani dengan fokus pada materi-materi yang telah disiapkan dan disajikan oleh para pengajar. Saya merasa seperti kuliah lagi namun kali ini bukan tentang Manajemen Pendidikan yang merupakan  bidang saya, melainkan linguistik, ini bukan belajar multidisipliner akan tetapi transdisipliner. Ya, dari seorang yang berlatar belakang Manajemen Pendidikan kali ini harus belajar Linguistik, namun bersyukur oleh  karena konsep-konsep yang bersifat paradigmatik menjadi daya tarik bagi saya untuk belajar topik-topik yang baru ini.

Selain mendapatkan materi dari para pengajar, kami juga diminta harus menyelesaikan tugas setiap hari, setiap minggu, dan saat mengakhiri kursus. Terdapat 8 (delapan) jenis tugas yang wajib dikerjakan oleh semua peserta Kursus Pendidikan Multibahasa seperti menulis Jurnal Refleksi dari setiap pertemuan selama 5 hari dalam setiap minggu untuk 4 minggu dan wajib submitted  pada setiap awal minggu berikutnya. Sehingga jumlah keseluruhan ada 20 jurnal refleksi. Ada juga reading respons  yang dikerjakan pada setiap minggu selama 3 minggu. Kemudian ada study case dan yang terakhir adalah final assignment. Total ada 25 tugas sebagai tagihan selama mengikuti Kursus Pendidikan Multibahasa di Payap University. Menyangkut study case kami diminta untuk mempresentasekan pengalaman pelaksanaan Pendidikan Multibahasa dari masing-masing negara maupun institusi.

Pentingnya Pendidikan Mutibahasa   

Apa pentingnya Pendidikan Multibahasa? Kitatahubersama bahwa, pendidikan telah diakui secara resmi sebagai Hak Asasi Manusia sejak diadopsinya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada tahun 1948. Bahwa, tujuan pendidikan adalah untuk meningkatkan kapasitas individu-individu, memperkuat penghargaan terhadap kebebasan dan Hak Asasi Manusia, dan memungkinkan individu untuk berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat yang terbuka.  

Dalam konteks ini, bahasa memiliki peran penting dalam menyebarluaskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Ada ungkapan, “Language is not everything, but everything without language is nothing”.Meskipun sebagian besar negara dan masyarakatnya memiliki banyak bahasa, namun sistem pendidikan mereka cenderung berfungsi hanya dalam satu atau dua bahasa. Bahwa menggunakan satu bahasa dan mengecualikan banyak bahasa lain sebenarnya menciptakan perpecahan, ketidaksetaraan, dan ketidakadilan, karena itu sesungguhnya ratusan juta orang di seluruh dunia dipaksa untuk belajar – atau mengajar – melalui bahasa yang tidak mereka kuasai (Benson & Kosonen, 2013). Diperkirakan terdapat sekitar 7.000 bahasa yang digunakan di dunia saat ini (Lewis, 2009), namun hanya beberapa ratus bahasa yang digunakan sebagai bahasa pendidikan, dan sebagian besar merupakan bahasa dominan (Walter dan Benson, 2012: 283).

Berangkat dari pemahaman ini maka penting untuk menggunakan multibahasa melalui program Pendidikan Multibahasa. Adapun manfaat dari Kursus Pendidikan Multibahasa antara lain, mempersiapkan peserta untuk (1) dapat berperan sebagai fasilitator dalam membantu perencanaan program dan pelatihan pelaksana program lainnya untuk melaksanakan pendidikan multibahasa; (2) dapat mengidentifikasi dan mengkritisi berbagai jenis kebijakan bahasa dan pendidikan yang berlaku saat ini, terutama sikap terhadap bahasa minoritas non-dominan, dan konsekuensinya bagi kelompok-kelompok terpinggirkan; (3) dapat mendesiminasi hasil penelitian terkini tentang pendidikan multibahasa.

Apa itu pendidikan multibahasa?

Pendidikan Multibahasa adalah pendidikan formal maupun nonformal yang menggunakan lebih dari satu bahasa di dalam kelas (Karla, 2025). Bagaimana memahaminya?  Anda mungkin sering mendengar, beberapa sekolah menggunakan istilah bilingual (dua bahasa), itu bagian dari Pendidikan Multibahasa, atau trilingual (tiga bahasa), itu juga bagian dari Pendidikan Multibahasa. Pendidikan Multibahasa menekankan pada penggunaan bahasa pertama (L1) atau bahasa ibu (mother tonge), dalam istilah Benson sebagai bahasa non dominan untuk siswa di jenjang tertentu. Kemudian dilanjutkan dengan penggunaan bahasa kedua (L2) di jenjang dan kelas tertentu. Selanjutnya pengunaan bahasa ketiga (L3) untuk siswa di kelas berikutnya. Dalam pendidikan multibahasa fokus utama pada 4 keterampilan dasar dalam pembelajaran bahasa. Kemampuan oral berkaitan dengan kemampuan mendengarkan dan berbicara sementara kemampuan literasi berkaitan dengan membaca dan menulis. Kapan siswa diajarkan menggunakan L1, L2, dan L3 dan kapan menggunakan L1, L2, dan L3 untuk meningkatkan kemampuan oral dan kapan untuk meningkatkan kemampuan literasi? Itu adalah tahapan pendidikan multibahasa. Itu juga terkait dengan proses transfer dan bridging dalam penggunaan multibahasa.  

Foto: Fredrik Kande

Praktik Baik di Thailand

Ada baiknya kita belajar dari beberapa praktik baik Pendidikan Multibahasa dari negeri Gajah ini. Pada tahun 2008, Yayasan Linguistik Terapan (FAL) dan Yayasan Anak-Anak Pestalozzi (PCF) mulai menerapkan Pendidikan Multibahasa Berbasis Bahasa Ibu (MTB-MLE) di komunitas etnis terpencil di Thailand Utara dan Barat. MTB-MLE pertama kali digunakan di 10 pusat pembelajaran masyarakat (CLC) nonformal yang melayani anak-anak Pwo Karen di Distrik Hod, Chiang Mai, serta satu sekolah pemerintah yang melayani anak-anak Mon di Distrik Sangklaburi, Provinsi Kanchanaburi.

Pada tahun 2009, CLC digantikan oleh dua sekolah formal—juga di Chiang Mai dan juga melayani anak-anak Pwo Karen. Pada tahun yang sama, empat sekolah formal yang melayani anak-anak berbahasa Hmong di Provinsi Chiang Rai bergabung dengan program tersebut. FAL dan PCF bekerja sama dengan keenam sekolah ini untuk mengembangkan program MTB-MLE K1-G3 secara lengkap, menciptakan hampir 2.500 materi pembelajaran yang berdampak pada sejumlah besar siswa, melatih guru dan anggota komite sekolah, serta memberi manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan. Salah satu sekolah pilot yang sempat kami kunjungi yakni Ban Pui School, berada di bawah Yayasan Linguistik Terapan, Thailand dan terletak di Hod Distric, Chiang Mai.

Manfaat yang diperoleh dari progam ini untuk “Generasi Pertama”, yakni seiring dengan tersebarnya kabar keberhasilan pendekatan MBT-MLE, sekolah-sekolah baru ingin bergabung dengan program tersebut, bahkan ketika sekolah-sekolah lain meninggalkannya karena masalah anggaran atau personel. Hingga Agustus 2019, FAL memberikan dukungan teknis kepada 24 sekolah dan 2 ruang kelas keliling. Selain itu anak-anak terbantu memulai pendidikan mereka dengan mengembangkan keterampilan mendengar, berbicara, membaca, dan menulis yang baik dalam bahasa ibu mereka, dan kemudian mentransfer keterampilan tersebut ke bahasa kedua. 

Ada lagi praktik pendidikan multibahasa yang diterapkan di lingkungan komunitas Patani Malay. Oleh karena pendidikan multibahasa telah menjadi kebijakan Pemerintah Thailand di bawah koordinasi Kementerian Pendidikan Thailand sehingga sangat memudahkan dalam penerapannya. Namun pemerintah tidak sendiri, mereka berkolaborasi dengan Pemerintah Provinsi Perbatasan Selatan, Dewan Keamanan Nasional, UNICEF, Thailand Research Fund, Universitas Yala Rajabhat, Institut Kerajaan Thailand, SIL International, para pendidik lokal, dan para pemimpin agama (Muslim). Jenis Multibahasa yang digunakan untuk L1 yakni Melay Patani–Bahasa Thai (PMT-MLE). Menyangkut kurikulum dan materi yang digunakan, mereka tidak menerjemahkan kurikulum nasional ke dalam bahasa Melayu Patani. Sebaliknya, mereka membuat materi pengajaran baru yang memenuhi standar Kementerian Pendidikan.

Mereka menyelenggarakan puluhan lokakarya kurikulum, yang melibatkan lebih dari 65 peneliti, musisi, dan seniman lokal bersama dengan guru dan ahli bahasa setempat untuk menghasilkan lebih dari 1.400 materi pendidikan (buku besar, buku kecil, buku panduan, permainan, poster, buku pegangan guru, dll.). Sementara untuk pentahapan Pendidikan Multibahasa dimulai dari  dari K-1  sampai dengan G-6 (TK Kecil sampai dengan SD Kelas 6). Pada tahun-tahun awal, bahasa ibu adalah bahasa utama yang digunakan di kelas, tetapi pada kelas 3 Bahasa Thai adalah bahasa pengantar utama. Untuk pelatihan guru, dilaksanakan secara intensif di mana, guru-guru dilibatkan dalam lokakarya pengembangan kurikulum. Mereka dilatih tentang prinsip-prinsip pendidikan berbasis bahasa ibu, serta metode dan teknik yang diperlukan. Universitas Yala Rajabhat sebagai universitas mitra yang justru telah melembagakan PMT-MLE ke dalam proses persiapan dan pelatihan ratusan guru dalam hal teknik mengajar dan belajar multibahasa. Dari aspek pembiayaan bersumber dari anggaran negara dan lembaga donatur.

Lalu bagaimana outcome dari program Pendidikan Multibahasa ini? Fakta membuktikan bahwa melalui pelaksanaan Pendidikan Multibahasa ini terjadi peningkatan pembelajaran di semua mata pelajaran: Dari kelas 1 hingga 6. Dari segi literasi (kemampuan membaca dan menulis) siswa mengalami peningkatan. Adanya dukungan masyarakat yang kuat dan semakin meluas. Program ini juga dapat memberikan sumbangan pada terjadinya peningkatan kemampuan membaca dan menulis (Literasi) Negara Thailand secara keseluruhan yang lebih baik. Selain itu adanya peningkatan kepercayaan diri dari warga sekolah dan pemerintah. Dan pada tahun 2013, Universitas Yala Rajabhat (YRU), lembaga pelatihan guru terbesar di Deep South, menerima hibah Uni Eropa untuk memulai program pelatihan dan magang guru Pendidikan Multibahasa, yang pertama di Asia. Tidak saja itu, berkat keberhasilan program Pendidikan Multibahasa ini, maka program ini menerima penghargaan “Outstanding Research and Development Project Prize” dari Thailand Research Fund, “Award for Innovative and Creative Work” dari Thailand National Research Council, “King Sejong Award for Literacy” dari UNESCO tahun 2016, dan pujian terhormat dalam “Wenhui Award for Innovations in the Professional Development of Teachers” dari UNESCO tahun 2017.

Sumbangan bagi Pendidikan GMIT

Apa relevansi dan sumbangan dari Program Pendidikan Multibahasa bagi keberadaan dan perkembangan sekolah GMIT? Pertama, kita harus jujur bahwa, dalam penyusunan 3 dokumen Revitalisasi Pendidikan Kristen GMIT pada Persidangan Sinode XXXIV lalu di Paulus Kota Kupang 2019, dan Sidang Sinode XXXV di Sabu Raijua 2023 lalu, khusus penyempurnaan Roadmap Pendidikan Kristen GMIT, isu bahasa sama sekali belum dipotret dari pemetaan sejumlah permasalahan Pendidikan GMIT. Itulah sebabnya penting sekali untuk memasukan isu bahasa sebagai salah satu permasalahan yang menyebabkan belum baiknya mutu Pendidikan Sekolah GMIT, selain jamaknya permasalahan yang telah dibahas dalam dokumen-dokumen tersebut. Sudah lebih dari 700 penelitian yang menunjukkan bahwa, anak yang diajarkan dengan bahasa ibu (bahasa yang dikenal pertama) saat belajar di jenjang pendidikan bawah, justru daya serap dan prestasi jauh lebih baik dibandingkan dengan yang langsung diajarkan bahasa kedua (L2) atau atau bahasa ketiga  (L3). Jadi, sesunggunya, ada pentahapan tentang urutan belajar dari mendengarkan – berbicara – membaca – menulis saat menggunakan bahasa pertama, lalu dilanjutkan dengan mempelajari pelajaran menggunakan bahasa kedua.

Advokasi Kebijakan Pendidikan GMIT

Dalam waktu dekat, akan dilaksanakan Rapat Kerja Pendidikan Kristen GMIT yang melibatkan semua YAPENKRIS GMIT. Forum ini dapat dimanfaatkan untuk mendorong dimasukannnya isu bahasa sebagai salah satu permasalahan sekaligus memikirkan strategi yang diperlukan untuk mengimplementasi Pendidikan Multibahasa di Sekolah-sekolah GMIT. Selanjutnya di Persidangan Sinode XXXVI mendatang dapat didorong pula untuk adanya revisi Roadmap Pendidikan GMIT untuk periode dan tahun-tahun pelayanan mendatang. Bagi Pengurus YAPENKRIS, ini peluang yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung dan memfasilitasi berbagai hal yang diperlukan untuk mengimplementasikan Pendidikan Multibahasa. Bahwa bahasa sebagai salah satu problem pendidikan Kristen GMIT itu fakta.

Unit Budaya dan Bahasa GMIT sendiri telah menetapkan suatu pendekatan baru yang diberi nama KoMBAD sebagai akronim dari Konteks Multi-Bahasa Anak Didik, atau pendekatan pembelajaran berpusat pada Konteks Multi-Bahasa Anak Didik. Melalui Dr. Barbara Dix Grimes dan Ibu June A. Jacob (Almh.) dokumen KoMBAD itu telah dihasilkan dan mulai diterapkan di sejumlah Sekolah GMIT sebagai sekolah pilot. Istilah konteks multibahasa  dipakai untuk mempromosikan keberagaman penggunaan L1. Misalnya, untuk SD GMIT Tabolang di Alor yang siswa-siswanya berbahasa  Abola maka bahasa itu digunakan  sebagai L1, atau SD GMIT Leloboko yang siswa-siswinya berbahasa Dawan Amfo’an maka bahasa itu digunakan sebagai L1, atau SD GMIT Kakaek yang siswa-siswinya berbahasa Dela maka bahasa itu digunakan sebagai L1. Begitu pula SD GMIT 07 Oebufu  yang siswa-siswinya berbahasa Melayu Kupang maka itu digunakan sebagai L1.

Bersama Yapenkris GMIT tanggung jawab untuk mengimplementasikan Pendidikan GMIT oleh UBB akan lebih mudah. Apalagi salah satu prinsip dari Pendidikan Multibahasa adalah terkait dengan koloborasi dari berbagai pemangku pendidikan. UBB dan YAPENKRIS sudah sedang memulainya. Mari memberi dukungan. “Language is not everything, but everything without language is nothing”.

Chiangmai Juli 2025  

*Penulis adalah Dosen Program Studi Pendidikan Teologi FKIP UNTRIB, Anggota MS GMIT Bidang Pendidikan, & Ketua YAPENKRIS Pingdoling Alor 2023-2028.