
Di tengah dinamika gerejawi Indonesia yang terus bergerak, Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) mengambil bagian dalam dua perhelatan besar gereja pada level nasional dan aras ekumenis: Sidang Raya XVIII PGI di Rantepao, Toraja (8–14 November 2024) dan Sidang Am GPI di Beo–Talaud (24–27 Juli 2025). Dua momentum ini tidak hanya menegaskan eksistensi GMIT, tetapi juga memperlihatkan bagaimana GMIT hadir dengan integritas, kepekaan, dan kekuatan spiritual yang menyala dari dalam. Dua persidangan yang indah ….
Sidang Raya XVIII PGI – Rantepao, Toraja
Kala itu, dalam suasana yang sakral dan bersejarah di tanah Toraja, Sidang Raya XVIII PGI diselenggarakan dengan tema: “Hiduplah sebagai terang yang membuahkan kebaikan, keadilan, dan kebenaran” (Efesus 5:8b–9). Gereja-gereja dari 104 anggota PGI berkumpul untuk merenungkan arah perjalanan bersama dalam menghadapi tantangan zaman: isu keesaan, kebangsaan, ekologi, keluarga, pendidikan, dan disrupsi AI.
GMIT hadir bukan hanya sebagai peserta, tetapi sebagai gereja yang membawa suara profetik dari Timur Indonesia. Melalui sharing yang cermat, namun dalam semangat teologis yang kokoh dan bersaudara, GMIT menyuarakan pentingnya keadilan representatif dan keberagaman suara dalam tubuh PGI. Luar biasa …… Dalam proses pemilihan pengurus, terpilihnya Pdt. Dr. Merry Kolimon sebagai Ketua III PGI periode 2024–2029 menjadi buah dari perjuangan itu bukan demi posisi, tetapi demi kesaksian bersama bahwa terang Kristus juga menyala dari ujung kepulauan Indonesia.
Sidang Am GPI – Beo, Talaud
Di ujung utara Tanah Air, di tanah Talaud yang penuh damai, Sidang Am GPI diselenggarakan dengan tuan rumah Sinode GERMITA. Persidangan dihadiri oleh 12 sinode anggota GPI, termasuk sinode-sinode diaspora di Amerika. Agenda utama mencakup penyusunan program strategis lima tahun ke depan, kontekstualisasi pelayanan di daerah perbatasan, dan pemilihan pengurus BPH GPI 2025–2030.
Dalam sidang ini, GMIT sekali lagi menunjukkan kekuatan kaderisasinya. Pdt. Dr. Eben Nuban Timo terpilih sebagai Ketua Umum GPI 2025–2030, didampingi oleh tokoh-tokoh GMIT lain seperti Pdt. Emr. Prof. Sem Haakh dan Pdt. Yusuf Nakmofa, M.Th sebagai Badan Penasihat GPI. Ini bukan sekadar kemenangan personal atau institusional, melainkan buah dari semangat pelayanan yang konsisten: menghadirkan pemimpin-pemimpin yang melayani dengan integritas, membangun relasi, dan merawat persekutuan.
Refleksi dari Buku Craig Barnes ‘The Pastor as Minor Poet’ ……..
Dalam terang pemikiran Craig Barnes, kita memahami bahwa kehadiran GMIT dalam dua sidang ini adalah praktik nyata dari peran gereja dan pemimpinnya sebagai minor poet; penyair kecil yang setia. “The pastor’s work is not to impose meaning, but to uncover it to listen, attend, and reframe the fragments of life in light of the Gospel.” (Barnes, p.13)
GMIT tidak datang dengan ambisi narasi besar, tetapi dengan kesediaan untuk menafsirkan fragmen kehidupan umat, membawa suara Timur yang lembut namun tegas, dan menenun narasi harapan dalam kesadaran kolektif gereja nasional. Pemimpin-pemimpin GMIT adalah penyair kecil yang tetap hadir meski seringkali tak menerima ucapan terima kasih. Seperti ditulis Barnes : “Pastors are wounded by the silences… by the absence of gratitude…”
Namun dari luka itu tumbuh empati, dari sunyi itu lahir kekuatan. GMIT mengorbitkan kader-kader terbaiknya bukan untuk menguasai, melainkan untuk membebaskan panggilan-panggilan lain agar menyala : “The true test of pastoral greatness is not how many follow you, but how many have discovered their call because of you.”
Dua persidangan memberi catatan yang mendalam :
Pertama, GMIT berkomitmen menghadirkan kader terbaik bukan demi posisi, tetapi demi pelayanan gereja yang semakin kuat dan bersaksi. Ungkapan ini bukanlah sekadar slogan kelembagaan. Di baliknya terletak spiritualitas kenosis, semangat Injil yang mendasari kepemimpinan yang tidak mengejar kehormatan, tetapi justru menghadirkan terang Kristus di tengah dinamika gereja nasional.
Refleksi ini akan memperdalam makna tersebut berdasarkan pemikiran Craig Barnes dalam bukunya The Pastor as Minor Poet: Texts and Subtexts in the Ministerial Life. Pemimpin Bukan Penakluk Posisi, Tapi Penjaga Makna. Craig Barnes menolak paradigma duniawi tentang kepemimpinan sebagai perolehan kuasa atau jabatan. GMIT, dalam semangat ini, mengutus kader-kadernya ke ruang-ruang pelayanan nasional seperti PGI dan GPI bukan untuk memenangkan jabatan, tetapi untuk menafsirkan kasih karunia Allah di tengah forum-forum gerejawi. Kehadiran seperti ini menandakan GMIT sebagai gereja yang bersaksi lewat makna, bukan lewat sorotan. Dapat dikatakan bahwa Kehadiran para kader GMIT yang Mewakili Salib, Bukan Strategi. Menurut Barnes, pemimpin sebagai penyair kecil hadir bukan untuk menguasai narasi, tetapi untuk menggali makna di balik retakan-retakan kehidupan umat. Mereka hadir dengan kepekaan spiritual, bukan kecakapan retoris. Kehadiran GMIT dalam dua persidangan besar PGI dan GPI bukan untuk mengendalikan arah percakapan, tetapi untuk menghadirkan suara Timur yang jujur, lembut, dan profetik.
Para kader GMIT menjadi simbol penyaliban ego dan pengangkatan kasih, karena mereka hadir bukan demi panggung, tetapi demi pelayanan gereja yang satu. Dengan bangga kita katakan bahwa Kader Terbaik adalah Mereka yang Membentuk, Bukan Menguasai. Kader-kader GMIT seperti Pdt. Dr. Merry Kolimon atau Pdt. Dr. Eben Nuban Timo menjadi contoh pemimpin yang tidak mengejar banyak pengikut, tetapi justru mendorong lahirnya pemimpin-pemimpin lain. Mereka adalah pengorbit, bukan penguasa. Pelayanan mereka menandakan GMIT sebagai rumah pembentuk panggilan, bukan pengumpul pengaruh.
Disinilah kita memahami bahwa GMIT Sebagai Komunitas Penyair Kecil GMIT bukan hanya organisasi gereja, tetapi komunitas minor poets penyair kecil yang setia menafsirkan makna hidup dalam terang Injil. Dalam setiap forum nasional, GMIT membawa : Ketenangan dalam diskusi, Kebijaksanaan dalam perbedaan dan Kesetiaan dalam luka. GMIT hadir dengan spiritualitas yang telah diuji dalam luka pelayanan, dinamika internal, dan tantangan masa depan. Namun semua itu tidak mengurangi suaranya. Sebaliknya, justru dari luka-luka itu, kesaksian menjadi tulus dan kuat.
Dengan demikian, GMIT mengutus kader-kader terbaik bukan demi kejayaan institusional, tetapi demi misi Kristus yang terus menuntun gereja melampaui batas-batas manusiawi. Seperti penyair kecil yang menulis puisi di tengah sunyi, para pemimpin GMIT hadir di panggung nasional tidak untuk dikenal, tetapi untuk memberi makna. Dan dalam diam mereka, Tuhan sedang menyusun puisi-Nya untuk dunia. Itulah semangat kaderisasi GMIT: menghadirkan terang, bukan menuntut sorotan.
Kedua, GMIT menunjukkan bahwa perbedaan internal bukanlah penghalang, tetapi dinamika dalam tubuh yang tetap satu suara dalam persidangan gerejawi. GMIT sebagai sinode yang besar dan majemuk tidak dapat menghindari perbedaan, baik dalam pendekatan, karakter kepemimpinan, ekspresi budaya, maupun pemikiran teologis. Namun semua perbedaan itu tidak menjadi hambatan dalam kesaksian bersama, karena GMIT memahami bahwa perbedaan adalah bagian dari tubuh Kristus yang sedang bertumbuh. GMIT merangkul dinamika ini bukan untuk memaksakan keseragaman, tetapi untuk merawat kesatuan yang lebih dalam.
GMIT sebagai tubuh gereja menghadapi dinamika internal dengan kesediaan untuk mendengarkan satu sama lain, menafsirkan maksud yang lebih dalam, dan membangun pengampunan. Maka ketika hadir dalam forum nasional seperti PGI dan GPI, GMIT mampu bersuara sebagai satu tubuh karena kesatuan itu dibentuk oleh proses mendalam, bukan oleh manipulasi kelembagaan.
Saya memahaminya sebagai Kesatuan dalam Perbedaan sebagai Praktik Kristologis yang hidup. GMIT, dalam semangat ini, menjadikan Kristus sebagai dasar penyatuan, bukan hanya struktur organisasi. Perbedaan internal tidak dihindari, tetapi dijadikan tempat Allah bekerja untuk mendewasakan tubuh Kristus. Maka dalam forum-forum besar, GMIT bersaksi dengan jujur: bahwa ia tidak steril dari konflik, tetapi tetap setia dalam persekutuan.
Disini, penting pula kita Membaca Tubuh Sendiri dengan Kasih. GMIT sedang melakukan hal itu. Ia tidak menutupi perbedaan, tetapi merangkulnya sebagai bagian dari liturgi pelayanan. Ia belajar membaca luka-luka internal sebagai jalan menuju pengampunan dan pemurnian. Maka GMIT dapat hadir dalam sidang nasional bukan sebagai lembaga yang sempurna, tetapi sebagai gereja yang terbuka pada karya Roh Kudus dalam segala dinamika. GMIT menunjukkan bahwa perbedaan internal bukan hambatan, tetapi medan bagi kasih karunia Allah bekerja. Seperti penyair kecil yang merangkai puisi dari fragmen hidup umat, GMIT menghadirkan diri dalam persidangan nasional sebagai tubuh yang satu bukan karena tidak punya luka, tetapi karena sudah membiarkan Kristus menuliskan makna dari luka-luka itu.
GMIT tidak mengejar harmoni yang palsu, tetapi kesatuan yang lahir dari proses spiritual yang jujur dan mendalam.
Ketiga, peran GMIT di aras nasional adalah juga dorongan spiritual untuk terus membenahi diri di tingkat internal, regional, dan global. Keterlibatan GMIT di forum nasional seperti PGI dan GPI bukan semata bentuk representasi kelembagaan. Lebih dalam, kehadiran itu menjadi cermin rohani dan tempat GMIT menengok dirinya sendiri di hadapan gereja-gereja lain, menakar kekuatan dan keterbatasan, serta meresapi panggilan untuk bertumbuh. Dalam perjumpaan dengan gereja-gereja lain, GMIT menemukan bahwa pembenahan internal bukanlah beban, tetapi tanggung jawab spiritual yang terus-menerus.
GMIT sebagai gereja yang tampil di panggung nasional dipanggil bukan untuk menonjol, melainkan untuk mendengar lebih dalam, membenahi dirinya dengan rendah hati, dan membuka ruang bagi Roh Kudus membentuk wajah gereja yang relevan di aras lokal, regional, dan bahkan global. Ini adalah kondisi baru di mana Aras Nasional Mendorong Pembenahan Internal. Peran GMIT di tingkat nasional sering membawa harapan dan kekaguman. Namun hal itu sekaligus menjadi cermin pertanggungjawaban: apakah semangat yang dihidupi dalam forum besar juga terasa dalam pelayanan lokal? Apakah suara profetik yang disampaikan dalam dokumen nasional juga nyata dalam suara pendeta di desa-desa terpencil?
Barnes mengingatkan bahwa kesetiaan tidak dilihat dari panggung, tetapi dari kejujuran. Maka keterlibatan GMIT secara nasional tidak boleh berhenti di representasi simbolik. Ia harus menjadi dorongan moral dan spiritual untuk menata ulang pendidikan teologi, membarui semangat kaderisasi, memperkuat pelayanan di lingkup klasis dan jemaat, serta menanggapi dinamika zaman dengan daya Injil yang segar. Inilah saat dimana Spiritualitas yang Mengalir karena pelayanan yang setia di satu titik dapat membentuk jangkauan yang lebih luas. Ketika hamba-hamba Tuhan menjadi penyair kecil bagi komunitas lokalnya, ia juga sedang membentuk gereja global yang peka, manusiawi, dan setia. Demikian pula GMIT: saat ia membenahi dirinya secara internal dalam sistem, spiritualitas, kepemimpinan, dan misi, maka ia sedang memberi kontribusi kepada gereja dunia. Gereja yang berani berubah dari dalam adalah gereja yang siap menjawab tantangan global dengan kesaksian yang utuh. GMIT tidak harus sempurna untuk menjadi berguna. Tapi ia harus terus terbuka dibentuk seperti penyair kecil yang menulis, menghapus, menata ulang, dan mempersembahkan kembali puisi kehidupan kepada Sang Penulis Agung. Dan dalam semangat itulah, peran GMIT di aras nasional menjadi titik awal, bukan puncak. Ia adalah dorongan rohani untuk terus bertanya: bagaimana kita membenahi diri, agar puisi Injil terus mengalir dari Nusa Tenggara Timur sampai ke ujung bumi?
Keempat, GMIT bukan sekadar lembaga. Ia adalah rumah para penyair kecil yang dalam luka dan kasihnya, terus menulis puisi Tuhan bagi dunia. GMIT bukan sekadar lembaga. Ia adalah sebuah rumah. Bukan rumah megah yang dibangun di atas kekuasaan, tetapi rumah yang berdiri kokoh di atas kasih dan luka. Sebuah tempat di mana roh para penyair kecil berdiam, hidup, dan bekerja. Penyair-penyair ini bukan penggubah sajak untuk tepuk tangan, tetapi penafsir kehidupan yang mengubah kesakitan umat menjadi kidung pengharapan. Craig Barnes, dalam The Pastor as Minor Poet, mengajak kita memahami peran para pelayan Tuhan bukan sebagai penguasa narasi besar, tetapi sebagai penyair kecil yang setia membaca subteks umat dan menenun makna dari fragmen hidup yang berserak. Demikian pula GMIT. Ia tidak datang untuk membentuk wajah gereja Indonesia berdasarkan kuasanya, tetapi untuk menafsirkan kasih Allah dalam realitas yang rapuh: kemiskinan yang tak kunjung usai, pendidikan yang tertinggal, anak-anak yang merindukan masa depan. Semua ini ditulis GMIT dalam puisi-puisi nyata yang tak tercetak di kertas, tetapi tertulis dalam pelayanan, air mata, dan pengharapan umat.
Inilah bukti bahwa GMIT adalah Rumah yang Dibangun dari Luka dan Kesetiaan. GMIT lahir dari sejarah yang panjang, memory penjajahan, misi kolonial, dan pencarian jati diri. Namun dari sejarah itulah, GMIT belajar menjadi gereja yang tidak bersandar pada kekuatan politik atau sumber daya besar, tetapi pada kuasa salib yang diam namun menghidupkan. Setiap pendeta yang berkhotbah di pelosok desa, setiap guru injil yang mengunjungi keluarga miskin, setiap pelayan yang menangis bersama janda dan anak yatim, mereka adalah penyair kecil yang hidup. Mereka menyusun puisi Injil dengan bahasa tubuh, dengan langkah kaki yang melewati tanah berbatu, dengan peluh dan doa. Dengan cara itu GMIT Menulis Bagi Dunia, Bukan Untuk Dirinya Sendiri. GMIT tidak menulis puisi hanya untuk dirinya sendiri. Ia menulis bagi dunia. Dunia yang sedang retak oleh kebencian, polarisasi, krisis iklim, dan luka sosial. Dalam dunia seperti itu, gereja tidak boleh menjadi ruang hampa atau ruang debat struktural semata. Gereja harus menjadi tempat di mana makna baru dilahirkan dari penderitaan dan diangkat oleh kasih. GMIT dengan segala dinamika internalnya tidak sempurna. Tapi justru karena ketidaksempurnaannya, ia menjadi tempat di mana kasih karunia Allah bekerja. Karena puisi Tuhan tidak ditulis dari kesempurnaan, tetapi dari keretakan yang bersedia disentuh.
Penutup: Rumah Ini Milik Para Penyair Kecil. GMIT adalah rumah para penyair kecil. Ia tidak mengejar popularitas. Ia tidak mencari kemegahan simbolik. Tapi dari rumah ini, suara-suara kecil bersatu menjadi lagu besar tentang pengharapan. Ia adalah rumah di mana luka tidak disembunyikan, tetapi diolah menjadi bahasa penghiburan. Ia adalah rumah di mana kasih bukan sekadar doktrin, tapi menjadi gerakan yang menyentuh dunia. Tak usah meminta apalagi menuntut terima kasih, tak usah memaksakan senyum penghibur. Tuhan tahu bahwa dalam ketulusan hati karya puisi yang lahir dari rumah ini, adalah puisi Tuhan yang akan terus dibaca oleh dunia, sebagai tanda bahwa kasih Allah belum berhenti bekerja. Karena dalam GMIT, puisi Tuhan masih terus ditulis. *