//“Teruslah Berpegang Teguh dalam Kesaksianmu” – Zerah R. Waang

“Teruslah Berpegang Teguh dalam Kesaksianmu” – Zerah R. Waang

Refleksi Sidang Raya ke-27 World Communion of Reformed Churches (WCRC) melalui ‘mata’ Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), Chiang Mai, 14-23 Oktober 2025

Foto: Zerah R. Waang

“Pemimpin menyerap kekacauan, memancarkan ketenangan, dan menginspirasi harapan”Penulis tidak diketahui

Begitu kata Pdt. Najla Kassab Abousawan, presiden dari World Communion of Reformed Churches periode 2017-2025 dalam pidato yang ia sampaikan kepada peserta Sidang Raya WCRC tempo lalu. Pertemuan gereja-gereja Reformed sedunia yang kerap dilaksanakan setiap tujuh tahun itu kembali dilaksanakan, kali ini dalam konteks Asia, tepatnya di Chiang Mai, provinsi kedua terbesar di Negeri Gajah Putih, Thailand, sekaligus merayakan ulang tahun WCRC yang ke-150.

Dituntun dalam tema “Persevere in Your Witness”, atau yang bisa dipahami sebagai “Teruslah Berpegang Teguh dalam Kesaksianmu” berangkat dari teks Alkitab Ibrani 12:1 itu, gereja-gereja yang tergabung membahas ide-ide pokok terkait tema keadilan (justice). Hal tersebut tertuang dalam komitmen bersama persekutuan gereja-gereja Reformed yang ditampilkan melalui WCRC, dengan bekerja bersama semua mitra yang Allah berikan melalui ide berpelayanan dalam konteks lintas agama/lintas iman.

Pertemuan ini mengemukakan sikap dan aksi untuk menyadari urgensi masa kini seperti keadilan iklim, hak-hak penyandang disabilitas/difable, hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi, peperangan, keberadaan teknologi terutama Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan, isu imigran, hak-hak masyarakat adat, kesehatan mental, dan seterusnya dalam kacamata iman Kristen. Sesederhana pertanyaan, “bagaimana topik-topik tersebut akan dimaknai dalam iman Kristen?” yang mungkin saja memerlukan proses yang tidak sederhana untuk merefleksikan jawabannya.

Gereja-gereja anggota WCRC juga kembali menekankan pentingnya rekonsiliasi dan bekerja bersama ragam tradisi dan denominasi yang ada dalam iman Kristen. Hal ini sebagai bentuk komitmen, semangat ekumenis bekerja bersama mitra Allah di dunia, seperti yang tengah dilakukan, yakni bekerja bersama gereja-gereja Lutheran, Mennonit, juga Katolik Roma.

Gereja-gereja ini berefleksi, “Apa arti Teologi dan Misi bagi dunia yang sedang terluka?”

Bagi Inatoli Aye, Missio Dei merujuk kepada kehidupan yang mengalir dalam seluruh ciptaan, bukan tentang dominasi atau kuasa sepihak. Oleh karena itu, Misi ialah sebuah bentuk partisipasi untuk memastikan keberlanjutan kehidupan yang Allah sendiri telah beri dan pelihara.

Sementara Park Seung Won, menegaskan dua tantangan besar masa kini yakni krisis iklim dan kehadiran kecerdasan buatan (AI). Merespon isu tersebut, gereja dan lembaga-lembaga Teologi perlu bahkan harus berperan aktif untuk membentuk interaksi, sikap, dan aksi berdasarkan refleksi kritis akan iman Kristen.

Nivedita Menon, terkait keadilan (justice), menerangkan bahwa ide keadilan mengharuskan kita untuk bertanya, mempertanyakan apa-apa saja yang dinormalisasikan sepanjang zaman, dan bagaimana itu memengaruhi relasi antar ciptaan, kemudian memanggil kita untuk bertindak.

Sebelum Sidang Raya ini dilakukan, lebih tepatnya selama dua minggu sebelum, berlangsung kegiatan Global Institute of Theology (GIT) dengan tema, “From Creed to Confession: Nicaea to Accra”.

Program akademik intensif jangka pendek ini dilakukan untuk membekali orang-orang muda yang notabene berasal dari gereja anggota atau mitra kerja WCRC. Di “sekolah” oleh GIT ini, pelajar akan berjumpa dengan dinamika pembelajaran yang interkontekstual dan ekumenis merespon tantangan kontemporer. Sebut saja ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan gender, kerusakan alam, solidaritas antaragama/antariman, gereja inklusif dan terbuka, serta ide spiritualitas dan pokok-pokok iman Kristen. Akan lebih baik jika berkunjung ke website WCRC untuk informasi selengkapnya.

Ke depannya, semoga terus ada representasi orang muda yang didukung oleh sinode GMIT baik dalam GIT maupun kegiatan serupa, bagi peserta perempuan dan peserta laki-laki.

Pada akhir pidatonya, Pdt. Najla menceritakan tentang makna filosofis dibalik seni kuno Jepang dalam memperbaiki keramik yang disebut Kintsugi. Katanya, “pecahan dan perbaikan adalah bagian dari cerita suatu objek dan bukanlah keburukan yang perlu disembunyikan. Retakan tidak disembunyikan, melainkan diiluminasi, mengubah yang pecah itu menjadi sesuatu yang indah.”

Bagi siapapun kita dalam tanggung jawab yang sedang dikerjakan, semoga makna “bertahan” (Yunani: hupomone—dari hupo berarti “di bawah” dan meno berarti “tetap”) yakni tetap bertekun secara aktif termasuk dengan mengembangkan spirit untuk berdaya atas penderitaan yang dialami, menjadi bagian dari refleksi dan praktik iman sehari-hari.

Akhirnya, pesan “Persevere in Your Witness” tersebut kini juga hadir dalam konteks kerja dan pelayanan sebagai suatu sinode bernama GMIT dan keterkaitannya dalam pelayanan bersama sebagai bagian dari komuni gereja-gereja Reformed, dalam relasi di Indonesia dan global.

Mengutip teks Ibrani 12:1 (TB2), “Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu melekat pada kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang ada di depan kita.” Dengan demikian, semoga ide keadilan itu dapat diaktualisasikan secara serius dengan spirit “bertahan-bertekun” dan semangat ekumenis dalam kesaksian di tempat yang disebut “rumah” bersama ini. ***

(Penulis adalah alumni Fakultas Teologi UKDW Yogyakarta, dan merupakan peserta Sidang Raya ke-27 World Communion of Reformed Churches (WCRC) asal GMIT di Chiang Mai).