
Asaf Sang Pemazmur adalah putra Berekia, seorang anggota suku Lewi dari Bani Gerson (1 Tawarikh 6:39) yang dipilih oleh Daud menjadi pelayan musik di Kemah Suci sampai Salomo berhasil membangun Bait Suci di Yerusalem. Asaf dikenal sebagai penulis dari 12 Mazmur, seperti Mazmur 50, Mazmur 73 – 83. Anak-anaknya juga dikemudian waktu menjadi imam penyanyi dan bernubuat dalam bait Allah (1 Taw 25:1-3, 2 Taw 5:12; 20:14,; 29:13; 35:15; Ezra 2:41; 3:10; Neh 7:44; 11: 17; 12:27-47). Asaf juga terkenal sebagai pelihat (nabi) dan diakui sebagai penulis Mazmur-Mazmur yang digunakan ketika Hizkia memulihkan ibadah di Bait Allah (2 Taw 29:30).
Ia adalah seorang beriman yang sangat berani tanpa rasa takut mempertanyakan sesuatu kepad Allah jika yang ia lihat itu bertentangan dengan cara pandangnya. Namun pada akhirnya ia menemukan kekuatan dan penghiburan dalam kehadiran Allah disetiap perjalanan hidupnya. pengalan iman ini dapat terlihat dalam beberpa refleksi hidupnya, seperti; Jujur mengatakan isi hati kepada Tuhan saat berdoa, Melihat dan menemukan kedamaiaan hidup dari sudut pandang jalan Allah, Kedaulatan Allah atas segala sesuatu, termasuk ketidak adilan yang dialami dan Kesetiaan Allah tak tergoyahkan.
Pengalaman iman Asaf sang pemazmur dapat dikatakan sebagai pengalam waktu subjektif dan objektif menurut Agustinus seorang Filsuf awal abad pertengahan dari Eropa. Menurut ia dua ukuran waktu ini berjalan dengan logika yang berbeda, sehingga menghadirkan pengalaman hidup yang jauh berbeda. Waktu Subjektif adalah sebuah pengalaman waktu yang dirasakan hanya di dalam batin kita sedangkan pengalaman waktu objektif adalah pengalaman waktu berdasarkan kalender dan jam yang kemudian membentuk waktu berdasarkan masa lalu, masa kini dan masa depan ( dalam bahasa yunani disebut sebagai Kairos/ hidup menunjukan kualitas diri dan chronos/ kronologi atau waktu kuantitatif).
Sebagai contoh; lima jam naik motor sendirian menuju ke Atambua akan berbeda pengalaman dan situasinya jika kita berkendara lima jam bersama kekasih hati menuju Atambua. Secara objektif ukuran waktu dalam contoh ini sama yaitu lima jam perjalanan (sifatnya universal dan selalu konsisten), tetapi akan berbeda pengalaman, emosi dan perhatian jika ukurannya adalah waktu subjektif. Sebab emosi, perhatian dan pengalaman adalah persepsi diri yang hanya dapat ditemukan dalam ukuran waktu subjektif. Dua ukuran waktu ini menunjukan fenomena mental melalui perubahan persepsi berdasarkan ukuran waktu yang diterapkan. Jika aktivitas kehidupan diukur berdasarkan perjalanan waktu objektif maka hidup ini akan terasa sangat kaku dan membosankan sebab standar universal dalam ukuran jam, hari, tanggal, bulan dan tahun menjadi panduan. Dari sinilah Agustinus membagi waktu menjadi tiga bagian yaitu masa lalau, masa kini dan masa depan.
Tema khotbah mengajak kita berefleksi bahwa masa lalu akan menjadi pelajaran berharga untuk masa depan kita. Setiap pengalaman hidup dimasa lalu akan menentukan situsi waktu kekinian kita yang sekaligus adalah masa depan kita. Pengalaman hidup (masa lalu) adalah bagian dari perjalanan waktu Objektif yang akan merubah situasi hidup kekinian jika diberi rasa berdasarkan ukuran waktu subjektif (waktu kita harus berkualitas / kairos). Menurut Aristoteles dalam karyanya berjudul Physics, ia mendefinisikan masa kini sebagai momen kesatuan antara keberadaan dan ketiadaan. Sebab baginya masa lalu sudah tidak ada dan masa depan belum ada. Dengan demikian masa kini adalah gembaran dari masa lalu dan pendukung bagi masa depan.
Jika hari ini (kekinian) kita terus merasa berkekurangan, gagal, tidak beruntung, merosot, terus membandingkan kelemahan kita dengan kehidupan dan kesuksesan orang lain (apa lagi kesuksesan orang lain didapatkan dengan cara yang tidak benar), maka sebenarnya kita sementara fokus pada ukuran waktu objektif. Eksistensi kita hanya bersifat kuantitatif tanpa diberi makna untuk mencapai kualitas hidup. Jika kehidupan tanpa makna ini terus bertahan maka pada akhirnya kita akan mempertanyakan keadilan hidup kepada Tuhan. Situasi ini juga yang dirasakan oleh pemazmur Asaf, bahwa ia cemburu pada kemajuan orang-orang fasik (Mazmur 73:3,13). Mungkin pelayanan pelayan sebagai pemain musik di bait suci dilakukan asaf hanya sebagai sebuah rutinitas atau hanya berfokus pada ukuran waktu, sehingga setiap kesesakan atau persoalan hidup yang dialami dilihat hanya sebagai sebuah penderitaan tanpa makna bahawa Allah berdaulat membentuk seseorang lewat banyak cara (keadaan baik maupun buruk). Namun di ayat ke 21- 28 kehidupan Asaf sang pemazmur berubah totol ketika penderitaan yang ia alami ia beri rasa/makna bahwa hidupnya sangat berarti di hadapan Tuhan meskipun tantangan dan penderitaan ia alami. Baik dan buruk kehidupan ini adalah bagian dari karya dan pekerjaan Tuhan dalam hidupnya.
Mazmur 78:1-16 adalah refleksi iman dari pengalaman hidup masa lalu bangsa israel keluar dari tanah Mesir yang harus terus diajarkan kepada semua generasi turun-temurun (ay 3, 4). Bahwa perjalanan bangsa Israel keluar dari tanah Mesir, sebenaranya sebuah perjalanan yang menarik dan sangat menyenahgkan jika Umat melihat perjalanan itu menurut ukuran waktu subjektif/kairos. Bahwa jauhnya perjalanan dengan begitu banyak tantangan tidak akan berarti jika diberi rasa atau makna bahwa perjalanan itu adalah perjalanan penyelamatan karya Allah (salvation atau soterio) bangasa Israel. Sebab pemazmur terus bercerita tentang kemurahan dan keajaiban Allah yang selalu di tunjukan dalam sejarah perjalanan nenek moyang bangsa irael (ayat 12; keajaiban-keajaiban dilakukan Allah di tanah Mesir seperti dibelahnya laut, ayat 14; tuntunan Allah dalam tiang awan dan api, ayat16; diberinya air di padang gurun,)
Dimasa perayaan bulan pendidikan saat ini, kita terus belajar dari kelebihan dan kekurangan kita bersama dalam nenata pendididkan Kristen. Kelebihan dan kekurangan ini adalah bagian dari sejarah perjalanan penatalayanan pendidikan Kristen GMIT di Nusa tenggara Timur (chronos). Perjalanan kita memang masih jauh untuk terus berbenah dalam menata pelayanan pendidikan GMIT milik kita bersama. Meskipun perjalanan ini masih jauh, namun kita perlu ingat bahwa kita berjalan bersama sebagai anggota-anggota GMIT yang berada dalam persekutuan yang diikat oleh kasih Kristus.
Mungkin kita pernah ada dalam masa dimana kita benar-benar terpuruk dalam menanta pendidikan, tetapi perlu kita ingat bahwa kita tidak sendiri karena ada Tuhan yang selalu bersama menuntun kita dalam memajukan pendidikan Kristen milik GMIT untuk masa depan seluruh anak-anak kita. Mari kita sudahi untuk berdiri dan mempersalahakan diri sendir dengan menyebar berita-berita yang mempersalahakan management pendididkan GMIT. Justru mari kita memberi waktu yang berkualitas utuk pendidikan GMIT dengaan memberi dukungan sesuai kemampuan kitra. Dukungan yang paling sederhana adalah dengan terus mendoakan pengelolaan pendidikan GMIT agar berjalan dengan baik dan terus berkembang. Atau terus memberi pandangan-pandangan positif pada komentar-komentar miring disunia nyata maupun dunia maya, sebab anak-anak kita hari ini belajar dari sikap yng kita tunjukan sebagai pembelajaran bagi mereka. ingatlah bahwa kita sementara meninggalkan jejang, diman jejak iti akan ditapaki oleh anak-anak kita. Sikap kita hari akan menentukan siapa kita dan seperti aapa anak-anak kita kelak. Teruslah melangkah ditengah-tengah waktu yang akan meninggalkan sejarah hisup yang berkualita. Tuhan Menyertai kita semua. Amin











