
Salam damai sejahtera bagi seluruh warga GMIT, baik yang tinggal di kota maupun di kampung, yang melayani di jemaat-jemaat besar maupun yang setia menggembalakan di pelosok-pelosok Nusa Tenggara Timur. Kita bersyukur bahwa di tengah kemajuan teknologi yang kadang menimbulkan kebingungan, Tuhan juga membuka jalan-jalan baru untuk kita bersekutu dan merenungkan firman-Nya bersama, termasuk lewat media ini. Hari ini, dalam suasana Bulan Pendidikan GMIT, kita bersama menaruh perhatian kepada sesuatu yang sangat mendasar tetapi sering diabaikan: fondasi dari pendidikan Kristen yang sejati. Dan tema yang kita angkat sangatlah relevan, “Hikmat dan Karakter: Fondasi Pendidikan Kristen yang Berkualitas.”
Bacaan kita dari Pengkhotbah 10 mengantar kita ke dalam perenungan yang sangat tajam dan jujur tentang realitas hidup. Kitab Pengkhotbah dikenal karena gayanya yang kontemplatif, kadang sinis, tetapi sangat realistis. Penulisnya, yang diyakini banyak ahli sebagai Raja Salomo di masa tuanya, mengajak kita melihat kehidupan dari sudut yang tidak dibungkus retorika manis. Di ayat pertama kita mendapati sebuah pernyataan yang unik dan sangat simbolis: “Lalat yang mati menyebabkan urapan dari pembuat urapan berbau busuk; demikian juga sedikit kebodohan lebih berpengaruh daripada hikmat dan kehormatan.” Sebuah gambaran yang aneh—lalat mati dalam minyak wangi—tetapi maknanya sangat dalam. Sedikit kebodohan, sedikit ketidakbijaksanaan, satu tindakan yang sembrono, bisa merusak seluruh reputasi dan nama baik yang dibangun dengan susah payah. Dalam dunia pendidikan, ini menjadi peringatan bahwa seberapa canggih sistem atau kurikulum yang kita bangun, jika karakter tidak dibentuk dan hikmat tidak ditanamkan, maka pendidikan itu bisa kehilangan nilai dan arah.
Sebagai Sekretaris Bidang Harta Milik Majelis Sinode GMIT, saya tentu akrab dengan urusan-urusan fisik: status tanah sekolah, bangunan kampus, pengelolaan aset pendidikan. Namun hari ini, saya mau mengajak kita melampaui urusan material itu. Sebab, pendidikan Kristen tidak dibangun di atas beton dan atap seng, melainkan di atas landasan yang jauh lebih kokoh dan dalam: hikmat yang bersumber dari Allah, dan karakter yang diteladankan oleh Kristus. Dua hal ini bukan sekadar nilai tambah, melainkan esensi dari pendidikan Kristen itu sendiri.
Pendidikan tidak bermula di ruang kelas. Ia bermula di ruang tamu dan dapur rumah kita. Pendidikan dimulai dari pelukan orangtua, dari cara ayah dan ibu menyelesaikan konflik di hadapan anak-anak, dari nada suara ketika menegur, dari doa malam bersama, dari cara kita berkata jujur bahkan dalam hal-hal yang sepele. Itulah pendidikan yang sejati. Dan di sanalah, pendidikan karakter mendapat tempat paling penting. James Dobson, seorang psikolog Kristen yang banyak menulis tentang keluarga, pernah berkata: “The values taught in the classroom are only powerful when they are lived in the living room.” Nilai-nilai yang diajarkan di sekolah hanya punya kuasa jika juga dihidupi di rumah. Ini berarti, orang tua adalah pendidik utama. Bahkan lebih penting daripada guru, pendeta, atau kepala sekolah. Pendidikan Kristen yang berkualitas tidak bergantung pada gedung sekolah yang mewah atau fasilitas yang canggih, tetapi pada kejujuran hati seorang ibu, keteladanan hidup seorang ayah, dan integritas yang dibentuk dalam rutinitas keluarga setiap hari.
Saya sadar betul, banyak orangtua kita di GMIT bukanlah sarjana. Banyak yang berlatar belakang petani, nelayan, atau buruh, dan tidak semuanya mengenyam pendidikan tinggi. Tetapi karakter bukan hasil dari gelar akademik, melainkan dari ketulusan dan konsistensi. Seorang ibu yang hanya tamat SD, tetapi mengajarkan anaknya untuk bersyukur setiap kali makan dan berdoa sebelum tidur, sedang menjalankan pendidikan Kristen yang lebih bermakna daripada siapa pun yang mengajar teori moral tapi tidak menghidupinya.
Zaman sekarang menghadirkan tantangan besar. Banyak orang tua merasa tidak mampu bersaing dengan teknologi. Mereka menyerahkan urusan pendidikan kepada guru di sekolah, atau bahkan kepada gawai di rumah. Anak-anak lebih banyak belajar dari Tiktok dan Youtube daripada dari ayah dan ibunya sendiri. Padahal, Alkitab mengingatkan bahwa hikmat tidak datang secara otomatis, melainkan melalui proses yang harus diasah setiap hari. Dalam ayat 10 dari bacaan kita, Pengkhotbah menulis: “Jika besi menjadi tumpul dan tidak diasah, maka orang harus memperbesar tenaga, tetapi yang terpenting untuk berhasil adalah hikmat.” Inilah gambaran pendidikan sejati. Ia membutuhkan pengasahan terus-menerus, dengan ketekunan, dengan semangat, dan dengan cinta. Hikmat tidak bisa dibeli, dan karakter tidak bisa diwariskan begitu saja. Semuanya harus dibentuk melalui proses yang panjang dan konsisten.
Tentu, sekolah-sekolah milik GMIT—dari TK sampai universitas—memiliki peran besar dan strategis. Tetapi marilah kita jujur mengakui bahwa semegah apa pun sekolah kita, sematang apa pun kurikulumnya, jika rumah tangga tidak mendidik dengan nilai-nilai iman, maka upaya sekolah akan berat dan hasilnya akan setengah. Sebaliknya, jika rumah menjadi tempat di mana anak-anak belajar kejujuran, kesabaran, hormat kepada orang tua, kerja keras, dan rasa takut akan Tuhan, maka sekolah akan menjadi tempat di mana nilai-nilai itu diteguhkan dan diperluas. Dengan kata lain, pendidikan Kristen adalah tanggung jawab bersama—antara rumah, sekolah, dan gereja.
Saya juga ingin mengajak kita semua memandang aset gereja—baik milik sinode, klasis, jemaat, maupun pribadi—sebagai bagian dari misi pendidikan. Jika ada sebidang tanah yang bisa digunakan untuk mendirikan PAUD, mari kita manfaatkan itu. Jika ada rumah tua yang tidak terpakai, kenapa tidak kita jadikan rumah baca? Jika ada aula jemaat yang hanya digunakan seminggu sekali, mungkin bisa difungsikan sebagai tempat belajar atau pelatihan keterampilan. Pendidikan bukan semata-mata tugas guru atau pendeta. Ia adalah tugas seluruh tubuh Kristus. Dan setiap kita, dalam kapasitas kita masing-masing, punya andil dalam misi besar ini.
Saya juga mendorong para orang tua, opa dan oma, untuk aktif membangun pendidikan di rumah. Bacakanlah Alkitab kepada anak-anak. Ceritakan kisah-kisah iman. Ceritakan juga kisah hidup—bagaimana Anda jatuh dan bangkit, bagaimana Anda pernah gagal tetapi dikuatkan oleh Tuhan. Pendidikan karakter justru tumbuh dari kejujuran seperti itu. Anak-anak tidak butuh orang tua yang sempurna. Mereka butuh orang tua yang jujur, konsisten, dan mau belajar bersama-sama mereka.
Saya ingin tutup dengan sebuah kisah nyata yang saya alami di salah satu tempat pelayanan saya dulu. Di sebuah desa kecil, ada seorang ibu yang hanya tamat SD. Ia tidak pernah membaca buku filsafat atau teori pendidikan. Tapi setiap malam, ia duduk di pinggir tempat tidur anak-anaknya dan mendoakan mereka satu per satu. Ia tidak hanya berdoa, tetapi juga mendengar cerita mereka, memberi nasehat, dan memeluk mereka dengan hangat. Anak-anak itu tumbuh menjadi pribadi yang bertanggung jawab, jujur, dan takut akan Tuhan. Salah satu dari mereka kini menjadi guru, yang dengan penuh cinta membimbing generasi berikutnya. Ibu itu tidak punya bangunan sekolah, tapi ia memiliki hikmat hidup dan karakter Kristus. Dan dari sanalah pendidikan Kristen sejati dimulai.
Karena itu, saudara-saudara yang terkasih, saya mengajak seluruh warga GMIT—baik yang bekerja di bidang pendidikan, kantor pemenrinta maupun swasta, di jemaat, di ladang, di pasar, maupun di rumah—mari kita bangun ekosistem pendidikan yang tidak hanya berfokus pada pengetahuan, tetapi juga menanamkan hikmat dan membentuk karakter. Mari kita pelihara sekolah-sekolah kita dengan penuh tanggung jawab, dan lebih dari itu, mari kita pulihkan rumah-rumah kita sebagai pusat pendidikan iman dan nilai. Sebab tanpa hikmat, pendidikan bisa menjadi kosong. Tanpa karakter, pendidikan bisa menjadi bahaya. Tetapi dengan hikmat dan karakter, pendidikan menjadi ladang berkat bagi gereja, bagi masyarakat, dan bagi masa depan bangsa.
Kiranya Roh Kudus menolong kita semua. Tuhan memberkati. Amin.











