//Mengenal Iman dan Merangkul Persatuan – Catatan Kegiatan Dewan Gereja Asia bersama AEI  2025 di Chiang Mai, Thailand – Pdt. Asaria Lauwing Bara

Mengenal Iman dan Merangkul Persatuan – Catatan Kegiatan Dewan Gereja Asia bersama AEI  2025 di Chiang Mai, Thailand – Pdt. Asaria Lauwing Bara

Kegiatan Menuju Malam Budaya AEI 2025. Foto: Asaria Lauwing Bara

Dewan Gereja Asia (CCA) adalah organisasi ekumenis regional yang mewakili 16 dewan nasional dan 100 gereja dari 21 negara di Asia, didirikan pada tahun 1957. Selama enam dekade terakhir, CCA telah ada sebagai organisasi dan forum kerja sama berkelanjutan di antara gereja-gereja dan badan-badan Kristen nasional yang berasal dari berbagai tradisi dan latar belakang eklesiologi di Asia, terutama berfokus pada tiga tujuan, kesatuan gereja-gereja, aksi bersama dalam misi dan persekutuan di antara gereja-gereja dan langkah yang relevan dan responsif terhadap tantangan masyarakat Asia yang terus berubah.

               Salah satu kegiatan tahunan Institut Ekumenis Asia (AEI)bagi orang muda adalah program pelatihan ekumenis selama sebulan untuk calon gereja dan pemimpin ekumenis, sejak 4 Agustus 2025. AEI tahun 2025 bertemakan ‘Mengenal Iman dan Merangkul Persatuan.’

               Ketika orang-orang Kristen di seluruh dunia menandai 2025 sebagai peringatan 1700 Dewan Pertama Nicea, AEI-2025 fokus untuk merenungkan fondasi Pengasuh Nicea dan menegaskan iman kepada Tuhan Tritunggal. Teolog yang diakui secara internasional, cendekiawan Alkitab, pemimpin ekumenis, dan ilmuwan sosial berfungsi sebagai fasilitator untuk sesi akademik. Selain sesi akademik, AEI-2025 mencakup kunjungan ke pusat-pusat antaragama dan kesempatan untuk berdialog dengan para pemimpin agama. Peserta juga mengambil bagian dalam lokakarya tentang “Living Out Our Faith,” menjadikan program ini pengalaman holistik dalam pembentukan ekumenis dan refleksi spiritual. Para peserta untuk kegiatan tahun ini terdiri anggota Dewan Gereja Asia. GMIT Merupakan salah satu anggota dari CCA juga mengambil bagian dalam kegiatan tahun ini.Saya memulaiZiarah ekumenis global sejak hari Sabtu, 2 Agustus 2025. Perjalanan dari Bandara Internasional Soekarno Hatta pukul 02.00 WITA dan tiba di Chiang Mai pukul 3.00 sore.

Minggu 3 Agustus 2025, Session 1 (S1), 10:30 -12:30 Mengikuti Kebaktian Minggu di Gereja Payap. Kami bergereja di Payap. Saya pertama kali merasakan suasana bergereja menggunakan bahasa, lagu, dan syair dalam bahasa Thai. Kami memakai alat bantuan penerjemahan ke dalam bahasa Inggris. Di dalam gereja ini, tata ibadah dipandu oleh beberapa alat musik seperti drum, gitar, piano dan seruling. Mereka juga memiliki buku panduan lagu sehingga mereka hanya menulis nomor lagu dalam tata ibadah lalu jemaat mencarinya dalam buku lagu yang telah disediakan. Tata ibadah berjalan dengan syahdu dan damai. Tata ibadatnya mirip dengan tata ibadah GMIT. Saya berefleksi dalam ibadah ini bahwa setiap hari Minggu di seluruh dunia, setiap manusia ragam suku bangsa, ragam bahasa memuji dan menyembah Tuhan dalam bahasa dan budaya mereka. Tuhan semesta alam, Tuhan raja segala bangsa memampukan saya memahami perjumpaan ini, khususnya dalam bahasa yang baru bagi saya yaitu Bahasa Thai.

Senin, 4 Agustus, 2025, S2. Ibadah pembukaan, ucapan selamat datang dan perkenalan. Ibadah ini merupakan ibadah yang unik bagi saya karena semua peserta AEI mengkombinasikan lagu, bahasa dari tradisi dan negara asal masing-masing. Perbedaan bahasa bukan menjadi alasan untuk merayakan persekutuan. Setiap peserta membacakan bait-bait doa, narasi persatuan, lagu-lagu pujian dan refleksi teologi. Bagi saya, ibadah ini merupakan gambaran dari wajah Asia dengan keberagamannya.

Selasa, 5 Agustus, 2025, (S3) Dr. Andrej Jeftic dari Dewan Gereja Sedunia menjelaskan tentang dasar dari sebuah pengakuan. Bagian pertama tentang unsur-unsur dasar kredo yaitu Pengakuan Trinitas, peneguhan akan satu Allah dalam tiga pribadi: Bapa, Anak dan Roh Kudus. Yang pertama, Keilahian Kristus, penekanan pada Yesus Kristus sebagai sepenuhnya ilahi: Allah yang sejati dari Allah yang sejati, sehakekat dengan Sang Bapa. Kedua, Inkarnasi dan keselamatan, pengakuan akan inkarnasi, mati bangkit dan naik ke surga untuk keselamatan manusia. Ketiga, Roh Kudus dan Karya Pemberi Hidup, Pengakuan Roh Kudus sebagai Tuhan, pemberi hidup, dan sumber nubuatan. Bagian kedua ialah iman yang diproklamirkan di Nicea mengakui Yesus sebagai yang ilahi, Anak Allah, salah satu dari tiga pribadi Tritunggal Mahakudus.

Kesatuan yangTerlihat, Tanda Kasih Allah yang Menyembuhkan.

Satu baptisan, satu gereja, satu Allah. Kasih Allah adalah inspirasi utama bagi kesatuan gereja. Rasul Paulus menyatakan kesatuan sebagai Anugerah Allah. Ketika umat Kristen bersatu, mereka menjadi saksi yang kuat akan kasih Allah kepada dunia. Jika gereja-gereja ingin bersatu, harus ada kesatuan dalam iman. Kredo Nicea adalah pernyataan fundamental iman Kristen mengenai Allah Bapa, Putra tunggal, dan Roh Kudus. Menolak ajaran sesat Arius, kredo ini dengan jelas menjelaskan dan menyatakan keilahian Allah Bapa dan Putra Yesus. Lebih dari pernyataan doktrinal atau kredo apa pun, kasih Allah harus mempersatukan kita.

               Dr. J. Jayakiran Sebastian kembali menjelaskan tentang Kredo Nicea dan dampaknya terhadap kehidupan dan kesaksian komunitas Kristen di Asia.  Kredo Nicea: Iman yang Abadi dan Merangkul Kesatuan. Apa hubungan semua itu sebagai gereja? Gereja itu Satu, kudus, katolik dan rasuli.  Keluarga Kristen Konfesional: Ortodoks, Katolik, Protestan, Pentakosta. Apa artinya berbicara tentang gereja sebagai “satu” – “…supaya mereka semua menjadi satu, ya Bapa, sama seperti Engkau di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau. Semoga mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku(Yohanes 17:21).

Kredo Nicea: Keberagaman dalam Persatuan, membangun masyarakat inklusif, dan merangkul iman

                  Pengakuan ini menggambarkan tentang Keberagaman dalam Kesatuan. Kesatuan Trinitas: Tiga Pribadi – Satu Allah. Keberagaman dalam Kesatuan: Di dalam Kristus kita, melalui banyak orang, membentuk satu tubuh, dan setiap anggota saling memiliki (Roma 12:5). Inklusi Gereja: bukan orang Yahudi atau orang Yunani. Tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus (Galatia 3:28-29).

               Dalam materi juga terdapat pertanyaan-pertanyaan penuntun sebagai berikut: Pemetaan Inklusi: Siapa yang Hilang? Siapa yang saat ini tidak hadir di meja pembedaan di gereja, komunitas, atau kelompok kita? Mengapa mereka tidak hadir? Apa saja hambatan teologis, struktural, atau kulturalnya? Apa yang diperlukan untuk melibatkan mereka? Apa yang akan berubah dalam percakapan dan keputusan kita jika mereka ada di sini? Adakah batasan bagi keberagaman yang dapat kita miliki dalam kesatuan? Saya secara pribadi tertegun dengan materi ini. Pemateri mengajak kami untuk berpikir tentang siapa yang hilang dari komunitas beriman. Saya menyadari dalam konteks GMIT di tempat saya melayani kaum bapak dan pemuda adalah kelompok yang secara keterlibatan dan eskistensi dalam lima panca pelayanan GMIT sangat kurang. Beberapa kaum bapak saja atau pemuda saja yang aktif. Setelah menikah misalnya suami dan isteri akan ke gereja bersama. Tetapi setelah itu beberapa bulan kemudian hanya isteri saja yang pergi ke gereja dan terlibat aktif dalam pelayanan di gereja. Materi ini mendorong untuk kembali mengalisa dan mencari upaya agar tidak ada satupun dalam komunitas bergereja yang tertinggal, hilang, terlupakan dan terabaikan.

Thursday in Black, Gerakan Kampanye Dewan Gereja Sedunia untuk memakai pakaian hitam setiap Hari Kamis sebagai simbol mendukung dunia bebas kekerasan seksual. Foto: Asaria Lauwing Bara

Iman Kita yang Abadi Menuju Komunitas Inklusif

Dalam materi ini Arceli mendorong peserta untuk melihat kembali Perjalanan Iman Pribadi. Setelah itu kami belajar tentang kontribusi kekristenan terhadap inklusi dan berkelanjutan. Kami diajak untuk merenungkan perjalanan iman pribadi masing-masing dan bagaimana hal itu membentuk nilai-nilai kami. Siapa atau apa yang telah menginspirasi atau memengaruhi perjalanan iman saya? Bagaimana tiga pengaruh tersebut membentuk saya.

               Fondasi Alkitabiah tentang Keberagaman: Kesatuan. Kisah Para Rasul 2:1–12: Roh Kudus memberdayakan pemahaman lintas bahasa—keberagaman diterima, bukan dihapus. 1 Korintus 12:12–27: Kita adalah satu tubuh dengan banyak anggota—setiap orang penting dan berharga. Metafora Paulus tentang tubuh mengingatkan kita bahwa setiap anggota itu unik dan berharga. Kesatuan berarti menghargai peran setiap orang. Galatia 3:28: Di dalam Kristus, kita adalah satu—beragam latar belakang, bersatu dalam tujuan. Ayat ini menegaskan bahwa identitas inti kita ada di dalam Kristus. Kita tetap beragam dalam budaya dan pengalaman, tetapi dipanggil untuk berjalan bersama dalam rasa saling menghormati dan mengasihi. Kesatuan bukanlah kesamaan—melainkan tujuan bersama di dalam Kristus.

Jumat, 29 Agustus, 2025 Merupakan sesi evaluasi tentang pembelajaran dan dampak dari EAI. Dalam pidato perpisahannya di Institut Ekumenis Asia (AEI), yang diselenggarakan oleh Konferensi Kristen Asia di Universitas Payap di Chiang Mai, Thailand, Sekretaris Jenderal CCA merenungkan upaya gereja-gereja dan gerakan ekumenis selama seabad. Dr. Mathews George Chunakara mendesak kami peserta AEI untuk merangkul keberagaman dan inklusivitas, dan untuk memperkuat keterlibatan gereja, komunitas, dan individu dalam menciptakan tanggapan terpadu dan tindakan bersama sebagai bagian dari kesaksian dan misi Kristen yang autentik, khususnya di dunia yang terfragmentasi.

Refleksi saya berkaitan dengan kegiatan selama 1 bulan ini, saya melihat kembali catatan Tata GMIT Bab V tentang Hubungan Oikumenis pasal 19 tentang hubungan GMIT dengan gereja lain, GMIT terpanggil menciptakan dan memelihara hubungan oikumenis dengan gereja-gereja lain tanpa kehilangan jati diri sebagai GMIT berdasarkan ajaran Alkitab. Hal ini saya terapkan dengan bersosialisasi, berkomunikasi, bertukar pikiran dan kolaborasi dengan semua gereja yang hadir dalam kegiatan ini dengan perbedaan tradisi gereja, ajaran, budaya, dan konteks sosial. Dalam perjumpaan dengan agama-agama lain seperti yang termuat dalam pasal 21 tentang hubungan GMIT dengan agama-agama lain, saya memahami agama lain sebagai wadah juga memahami karya Allah (Kejadian 12:1-3, Yesaya 49:6; Yohanes 10:16) dengan berdialog bersama untuk bersuara dan beraksi bagi keadilan, perdamaian, keutuhan ciptaan, kesetaraan, dan hak asasi manusia. Hal ini nyata sekali dengan perkunjungan-perkunjungan yang kami lakukan dalam kegiatan ini. *** (Pdt. Asaria Lauwing Bara, Ketua Majelis Jemaat GMIT Tiberias Landu, Klasis Rote Barat Daya)