
Pengantar
Barangkali masih kuat dalam ingatan kita bahwa pada tanggal 25 Agustus lalu, terjadi demonstarsi besar-besaran di tanah air. Salah satu pemicu utama demontrasi tersebut adalah keputusan para anggota DPR yang menaikkan gaji dan tunjangan mereka secara drastis di tengah situasi ekonomi bangsa yang semakin sulit. Seolah tak peduli dengan kondisi ekonomi bangsa yang makin terpuruk, badan legislatif malah menaikan gaji dan tunjangan mereka secara gila-gilaan. Bahkan pasca keputusan itu, sebagian anggota DPR berjoged riah di ruang legislatif itu. Sikap acuh tak acuh terhadap penderitaan rakyat ini menimbulkan kemarahan publik sehingga muncullah protes, demo, dan bahkan penjarahan. Belum selesai masalah tersebut, baru-baru ini kita dikejutkan dengan sebuah vidio kontroversial yang berisi flexing seorang anggota DPRD di Gorontalo yang dengan lantang berbicara kepada temannya dalam mobil: “kita rampok saja uang negara, kita habiskan saja, biar negara makin miskin” (silakan buka youtube).
Perilaku sebagian elite politik kita di tengah penderitaan rakyat mengingatkan kita akan sikap orang kaya terhadap Lazarus dalam bacaan di atas. Tentu bacaan di atas mengandung makna teologis-eskatologis. Namun tak dapat diabaikan bahwa Lukas pun hendak menunjukan kritik dan implikasi sosial-politis melalui kisah Lazarus dan orang kaya dari bacaan tersebut.
Penjelasan Teks
Perikop ini merupakan satu-satunya bacaan yang menyebutkan nama Lazarus. Ini bukan Lazarus saudara Maria dan Marta, tetapi tokoh simbolik yang berarti: Elʿāzār yang artinya “Allah adalah penolongku”. Lazarus hidup di sekitar orang kaya yang hidup mewah, berpakaian ungu dan kain halus (lambang status tinggi). Ia berpesta setiap hari. Sementara Lazarus tergeletak di rumahnya, miskin dan sakit, berharap sisa makanan untuk mengenyangkan perutnya, bahkan anjing menjilat boroknya. Orang kaya itu hidup dengan mata tertutup terhadap penderitaan Lazarus. Sementara Lazarus tidak memiliki apa-apa. Ia hanya berharap belas kasihan orang kaya itu.
Ketika kematian tiba bagi mereka, nasib mereka berbeda. Lazarus dibawa ke surga, sementara orang kaya dikubur dan masuk ke alam maut, tempat penderitaan. Hal ini menunjukkan pembalikan besar: Lazarus yang menderita di dunia karena diabaikan kini mengalami sukacita di surga, sedangkan orang kaya yang berfoya-foya di dunia dan menutup mata terhadap sesama kini menderita dalam neraka. Lazarus diterima bukan karena ia adalah orang benar, tetapi karena Allahlah yang mau menolong dia, mau membenarkan dia, membela dia karena ia ditolak oleh sesamanya. Sebaliknya orang kaya itu memang bukan penjahat, namun karena sikap egoistik dan menutup mata terhadap sesama sehingga tidak berkenan bagi Allah. Dalam api neraka, barulah orang kaya itu sadar akan penderitaan Lazarus selama di dunia. Orang kaya itu memohon setetes air, namun Abraham menjawab: “Ingatlah, engkau sudah mendapatkan yang baik selama di dunia.” Neraka adalah tempat kesadaran dan penyesalan.
Lagi pula ada jurang yang tak terseberangi antara surga dan neraka. Artinya tidak ada kesempatan kedua setelah kematian. Orang kaya memohon agar Lazarus dikirim ke rumahnya untuk memperingatkan keluarganya, tetapi Abraham berkata bahwa pada mereka ada Taurat Tuhan yang sudah diketahui. Artinya Yesus menekankan bahwa Firman Tuhan sudah cukup menjadi penuntun hidup. Bahkan jika seseorang bangkit dari kematian, mereka yang berkeras hati tidak akan percaya jika mereka sudah menolak suara Allah dalam alkitab.
Bacaan ini bisa dipahami secara teologis-eskatologis maupun secara sosial-politis. Secara teologis-eskatologis, ada beberapa implikasi yang bisa disimpulkan. Pertama, soal surga dan neraka. Walaupun mungkin tidak dimaksudkan untuk membiacarakan surga dan neraka, namun realitas eskatologis itu diandaikan. Orang kaya masuk neraka, dan Lazarus masuk surga. Itu berarti surga dan neraka adalah realitas masa depan yang akan dihadapi oleh kita. Yesus menggambarkan surga sebagai tempat penghiburan (pangkuan Abraham) dan neraka sebagai tempat penderitaan dan keterpisahan total dari Allah.
Kedua, sikap hidup di dunia menentukan nasib ke depan. Orang kaya dihukum bukan karena kaya, karena ada yang salah dengan menjadi kaya. Tetapi karena ia tidak peduli pada sesama, maka ia pun tidak diterima oleh Allah. Ini tidak berarti bahwa surga ditentukan oleh perbuatan baik semata, karena sesungguhnya kita diselamatkan oleh iman kepada Yesus. Namun ketika seseorang menyebut diri beriman sementara hatinya tertutup terhadap penderitaan sesama maka imannya itu pincang. Mengasihi Allah harus diwujudkan dalam mengasihi sesama, yaitu peduli pada mereka yang lapar, yang sakit, yang miskin, yang lemah, yang terabaikan (band. Matius 25:31-44).
Ketiga, pentingnya pertobatan saaat ini. Sebab setelah mati, tidak ada lagi kesempatan untuk perubahan nasib. “Jurang” yang memisahkan surga dan neraka bersifat kekal dan tidak bisa diseberangi. Maka, hari ini adalah kesempatan yang baik untuk bertobat. Tak perlu menunda waktu, karena tak ada yang tahu hari esok. Yesus mengakhiri perumpamaan dengan pernyataan keras: jika seseorang tidak mendengarkan Musa dan para nabi, maka bahkan kebangkitan dari orang mati pun tidak akan membuat mereka percaya. Ini adalah sindiran terhadap orang Farisi dan pemuka agama Yahudi yang menolak Yesus, sebab meskipun Yesus banyak melakukan mukjizat dan bahkan Ia bangkit, mereka tetap tidak percaya.
Namun Lukas tidak hanya berbicara secara teologis-eskatolos tetapi juga secara sosial-politis. Sebab pada dasarnya Injil Lukas dikenal sebagai Injil yang menaruh perhatian besar pada persoalan sosial, ekonomi, kemiskinan, dan keadilan sosial. Banyak ayat dalam Lukas berbicara tentang orang miskin, orang lapar, dan bahaya kekayaan (Luk 1:46–55; 4:16–19; 6:20–25; 12:13–21; 14:12–24). Dalam bacaan di atas, Lukas sedang berbicara tentang bahaya kekayaan yang menutup hati terhadap sesama.
Ada aspek sosial yang kuat dari cerita tantang Lazarus dan orang kaya itu. Pertama, surga dan neraka bukan hanya bersifat eskatologis, tetapi juga merupakan suatu suasana yang sudah berlangsung di dunia ini. Bagi Lazarus yang lapar, sakit, diabaikan, ditolak, terbuang, dunia dirasakan seperti neraka. Sementara bagi orang kaya yang hidup dalam kenyamanan dan kemewahan, dunia sudah menjadi surga baginya. Yesus mengingatkan bahwa cara kita memperlakukan sesama dapat menciptakan “surga” atau “neraka” bagi orang lain, bahkan sebelum kematian.
Kedua, pembalikan sosial sebagai keadilan Allah. Ketika mati, Lazarus diterima Abraham, sementara orang kaya menderita di neraka. Yesus ingin menegaskan: Allah tidak tinggal diam melihat ketidakadilan. Di dunia ini mungkin orang miskin terpinggirkan, tetapi di mata Allah, mereka berharga. Surga dan neraka di sini adalah bahasa iman untuk menyatakan keadilan sosial Allah. Orang kaya itu bukan penjahat, namun sikap acuh tak acuhnya terhadap sesama merupakan dosa besar. Sebab orang percaya diminta hidup tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesama.
Ketiga, orang kaya memohon agar keluarganya diperingatkan, tetapi jawaban Abraham tegas: “Pada mereka ada Musa dan para nabi” (ay. 29). Artinya, Firman Tuhan sudah cukup jelas: kasihilah sesamamu, bela yang lemah, jangan tutup tangan terhadap orang miskin. Dengan kata lain, surga dan neraka bukan sekadar takdir sesudah mati, tetapi juga buah dari pilihan hidup kita sekarang, Ketika kita peduli terhadap sesama, berbagi, dan membuka hati—kita menikmati surga dan menghadirkannya bagi orang lain. Ketika kita menutup mata, bersikap acuh, dan membiarkan sesama menderita, itu sama saja kita sedang membangun neraka bagi orang lain maupun bagi diri sendiri.
Penutup
Surga dan neraka merupakan suatu realitas eskatologis yang diimani oleh gereja. Pokok iman tersebut penting diajarkan agar orang percaya mengetahui tujuan hidupnya tidak terbatas di dunia dunia ini, melainkan di surga bersama Allah. Sebab saat ini banyak orang hanya berjuang mengejar hidup duniawi, dan mengabaikan hidup kekal bersama Allah sehingga kehidupannya kacau-balau. Benar apa yang dikatakan Amsal: bila tak ada wahyu, menjadi liarlah rakyat (Amsal 29:18). Tanpa surga dan neraka sebagai konsekuensi iman dan laku hidup di dunia, manusia hidup seperti di hutan rimba tanpa aturan sehingga yang terjadi hanyalah kekacauan.
Namun sebagai orang yang telah diselamatkan, kita terpanggil untuk menghadirkan tanda-tanda kehidupan surgawi itu di dunia ini, agar dunia tidak terasa sebagai neraka. Bacaan ini hendak mengingatkan kita beberapa hal: 1) jangan sampai kita sibuk membangun “surga kecil” (kesenangan, kemewahan) bagi diri sendiri, tetapi membiarkan sesama di sekitar kita hidup dalam “neraka sosial.”(penderitaan, kelaparan, kemiskinan, kesedihan, kebodohan). Surga dan neraka bukan hanya soal nanti, melainkan juga soal sekarang. Marilah kita belajar menciptakan “surga sosial” melalui perhatian kepada mereka yang lapar, sakit, yang tersisih, yang tak mendapat pendidikan yang baik. Kita diminta untuk peka terhadap keadaan sesama. Bila mereka lapar, berilah mereka makan. Bila mereka sakit, rawatlah mereka. Bila mereka telanjang, berilah mereka pakaian. Bila mereka sedih, hiburlah mereka. Dengan cara itu, mereka mengalami sepercik aroma surga dalam hidup mereka. Lebih dari itu, dalam wajah mereka, kita melihat wajah Kristus sendiri.
2) Hadirkanlah surga bagi sesama melalui apa yang ada pada kita. Kita dapat menghadirkan surga melalui perhatian, kepedulian, senyuman, sapaan manis, uluran tangan kasih, tindakan berbagi materi, dan seterusnya. Singkirkan neraka dari hidup sesama melalui tindakan nyata yang membebaskan dari penderitaan, menolong yang lemah, dan membangun yang berkekurangan. Kita bisa menghadirkan surga bagi sesama melalui diri kita, melalui talenta kita, melalui jabatan kita, melalui harta kekayaan kita, melalui gereja kita, melalui tempat kerja kita, melalui apa yang ada pada kita.
3) Ciptakan surga melalui struktur sosial yang adil dan memberdayakan. Gereja di lingkup Jemaat, Klasis, Sinode, dapat mengembangkan diakonia karitatif, diakonia transformatif dan diakonia reformatif untuk meringankan beban hidup jemaat yang miskin dan berkekurangan, membantu mereka yang lemah dan tak berdaya, meningkatkan kesejahetraan mereka. Para pejabat publik di lingkup pemerintahan mesti sungguh-sungguh berniat membangun kesejahteraan masyarakat, menciptakan struktur sosial yang adil. Jabatan kita bukan sarana untuk memperkaya diri melainkan untuk melayani masyarakat. Para ASN mesti bekerja sungguh-sungguh untuk mewujudkan program-program peremerintahan yang bersih dan bertanggung jawab. Para guru terpanggil untuk menciptakan surga bagi anak-anak dengan mencerdaskan mereka. Para pedagang menghadirkan surga melalui bisnis yang jujur dan bertanggung jawab. Para petani dapat menciptakan surga melalui kerja keras yang mendatangkan ketersediaan bahan-bahan kebutuhan hidup tanpa merusak alam. Para nelayan menciptakan surga dengan mengeluarkan kekayaan laut tanpa merusak laut.
Namun seringkali persolannya bukan apakah kita mampu atau tidak, melainkan apakah kita mau atau tidak, apakah kita rela berkorban atau malah mengorbankan sesama. Ingat bahwa orang kaya itu akhirnya terbuang dari hadapan Allah karena sikap stecu(acuh tak acuhnya) terhadap sesama yang menderita. Sikap tidak peduli (indifferent) itulah dosa yang membuatnya tidak diterima oleh Allah. Sebab menolak untuk membantu sesama, sama saja menolak Allah. Dan ketika kita menolak sesama yang adalah wujud kehadiran Allah, maka kita pun akan ditolak oleh Dia sebagaimana terjadi dalam perumpamaan hari ini – antara Allah dan orang kaya. Elie Wiesel (1928–2016), seorang filsuf-humanis, penyintas Holocaust, dan peraih Nobel Perdamaian pernah mengatakan bahwa sikap tidak peduli pada sesama itulah dosa terbesar kita: ”Lawan dari kasih bukanlah kebencian, melainkan ketidakpedulian. Lawan dari seni bukanlah keburukan, melainkan ketidakpedulian. Lawan dari iman bukanlah bidat, melainkan ketidakpedulian. Dan lawan dari hidup bukanlah kematian, melainkan ketidakpedulian.” Karena itu, bertobatlah dari sikap stecu terhadap sesama yang menderita dan kekurangan. Sebaliknya, rawatlah mereka sebagai wajah Allah yang hadir di tengah-tengah kita agar mereka merasakan percikan surga di dunia ini. ***











