//Refleksi Teologis Sidang Sinode Istimewa III GMIT 2025 (Bagian I)

Refleksi Teologis Sidang Sinode Istimewa III GMIT 2025 (Bagian I)

Tabe budik hita hotu-hotu, Ao mina ao leko neu ala ki, Helama Tona ie, Boa Blingin, Soda Molek, Salam dengan wangi nusa bunga, untuk sapaan indah tanah Samawa, Salam dari puncak-puncak bunga kenari, Shalom. Salam GMIT, satu untuk semua, semua untuk satu, satu untuk kemuliaan Tuhan Yesus. Persidangan yang mulia, Ziarah sebuah gereja selalu mengandung jejak sejarah, perjumpaan dengan tantangan zaman, dan keputusan-keputusan iman yang menentukan identitasnya.

Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) tidak pernah berjalan di ruang kosong. Ia bergerak di dalam arus sejarah Indonesia dan dunia yang terus berubah. Gereja ini lahir dari Injil yang ditabur oleh pekabaran zending dan tumbuh dalam tanah budaya Timor dengan segala dinamika sosial, politik, dan ekonomi. Seperti Israel yang berjalan di padang gurun menuju tanah perjanjian, GMIT pun berjalan dalam ziarah panjang dengan berbagai pasang surutnya. Di dalam perjalanan itu, ada momentum-momentum khusus ketika gereja harus berhenti sejenak, berdiam diri, lalu menimbang kembali arah dan fondasi pelayanannya.

Momentum itu sering kali mengambil bentuk persidangan sinode istimewa. Sejarah GMIT mencatat bahwa persidangan semacam ini tidaklah sering, namun setiap kali terjadi, ia menyimpan makna teologis dan pastoral yang sangat mendalam. Persidangan Sinode Istimewa pertama pada tahun 1975 di Jemaat Kefas Kampung Baru adalah sebuah tonggak yang menegaskan pentingnya kepemimpinan dalam kehidupan bergereja. Gereja saat itu masih muda, baru beberapa dekade berdiri, dan menghadapi tantangan besar pasca integrasi dengan negara Indonesia yang sedang mencari arah pembangunan. Di sana GMIT meneguhkan bahwa kepemimpinan rohani adalah dasar untuk menggerakkan jemaat menuju kedewasaan.

Tiga puluh lima tahun kemudian, di tahun 2010, GMIT kembali dipanggil dalam Persidangan Sinode Istimewa kedua di Jemaat Koinonia Kupang. Fokusnya adalah penguatan organisasi. Hasil yang monumental dari sidang ini adalah lahirnya Tata Gereja GMIT yang menata kehidupan bergereja lebih teratur, terstruktur, dan responsif terhadap kebutuhan pelayanan. Tata Gereja bukan sekadar dokumen administratif, melainkan cermin dari kesadaran bahwa tubuh Kristus ini harus diorganisir agar bisa melayani dunia dengan baik.

Kini, di tahun 2025, memasuki bulan penggenapan 50 tahun, GMIT dipanggil sekali lagi dalam Persidangan Sinode Istimewa ketiga. Ziarah kali ini membawa gereja untuk masuk ke inti terdalam, yakni pokok-pokok pengajaran gereja. Jika kepemimpinan memberi arah, jika organisasi memberi wadah, maka pengajaran memberi jiwa. Pengajaran adalah denyut nadi yang menyalurkan makna iman kepada jemaat. Tanpa pengajaran, kepemimpinan bisa menjadi kosong, organisasi bisa kehilangan roh, dan gereja bisa hanyut dalam arus dunia tanpa identitas. Dalam perjalanan panjangnya, GMIT makin besar, makin bertumbuh. Namun pertumbuhan kuantitatif sering kali membawa konsekuensi: semakin banyak yang perlu dibenahi. Gereja yang besar tanpa pengajaran yang kuat mudah terjebak dalam pragmatisme, dalam kesibukan mengelola acara dan program tanpa kedalaman spiritual. Di titik inilah pokok-pokok pengajaran gereja menjadi sebuah kebutuhan mendesak. Ia hadir sebagai panggilan untuk meneguhkan identitas GMIT di tengah pergumulan publik. Pokok-pokok pengajaran ini tidak lahir dalam ruang vakum, melainkan dalam ziarah panjang yang penuh pergumulan. GMIT berdiri di tanah yang penuh dengan pluralitas agama, budaya, dan pandangan hidup. Gereja harus mampu menjelaskan imannya, bukan hanya kepada jemaatnya sendiri, tetapi juga kepada masyarakat luas. Ajaran gereja adalah wujud dari identitasnya; ia adalah tanda bahwa gereja ini tahu siapa dirinya, dari mana ia datang, dan ke mana ia hendak melangkah. Di sinilah gema Kisah Para Rasul 16:9 terasa sangat relevan: “Datanglah ke Makedonia dan tolonglah kami.” Seruan tersebut bukan hanya suara orang asing kepada Paulus, tetapi juga gema hati jemaat-jemaat GMIT di seluruh pelosok. Mereka berseru kepada Sinode: “Datanglah, tolonglah kami dengan pengajaran yang menuntun kami di tengah dunia yang penuh disrupsi.” Jemaat membutuhkan arah, bukan sekadar kegiatan. Jemaat merindukan pengajaran yang kokoh, yang bisa menjadi fondasi menghadapi derasnya arus zaman. Konteks kita sekarang ditandai oleh dua realitas besar. Pertama, disrupsi pola pikir beriman. Banyak jemaat muda bertumbuh dalam dunia digital yang menawarkan ragam pengajaran alternatif, sering kali bercampur antara yang sehat dan yang menyesatkan. Gereja tidak boleh membiarkan mereka berjalan sendiri; gereja harus hadir dengan pengajaran yang jelas, tegas, tetapi juga relevan. Kedua, disrupsi teknologi. Teknologi digital membawa manfaat besar, tetapi juga ancaman: manusia bisa kehilangan nilai dan etika, tergoda oleh instan, dan tercerabut dari akar rohaninya. Di samping itu, kehidupan bangsa pun menghadapi tantangan ketika kebenaran dipola untuk kepentingan kelompok tertentu saja. Di tengah situasi ini, gereja dipanggil untuk menyuarakan kebenaran yang membebaskan semua orang. (bersambung)