//ALLAH MEMELIHARA SEMUA CIPTAAN-NYA (MATIUS 6:25-34)

ALLAH MEMELIHARA SEMUA CIPTAAN-NYA (MATIUS 6:25-34)

Gereja Ebenhaezer Taubkole

Pengantar

Dunia saat ini dipenuhi oleh berbagai krisis kemanusiaan dan lingkungan hidup. Perang antar bangsa berlangsung di berbagai tempat. Sementara alam di mana kita hidup juga penuh persoalan: perubahan iklim, cuaca ekstrem, kebakaran hutan, polusi laut, kekeringan, dan lain sebagainya. Akibat keserakaan manusia, perut bumi dikeruk, hutan dibabat, laut dirusak. Semua ini membuat banyak orang bertanya-tanya: apakah bumi masih bisa menopang kehidupan kita dan anak cucu kita. Kekhawatiran seperti ini sangat nyata dan dekat dengan hidup kita. Dalam konteks ini, firman Tuhan dalam Matius 6:2534 relevan untuk dipelajari. Yesus mengajak kita untuk tidak hidup dalam kekhawatiran, melainkan percaya pada Allah yang memelihara seluruh ciptaan-Nya.

Penjelasan teks

Bacaan tersebut berbicara tentang kekuatiran. Manusia diminta untuk tidak kuatir akan hidupnya, akan kebutuhannya (makanan, pakaian). Sebab Allah sanggup memelihara seluruh ciptaaan. Bacaan itu terdiri dari beberapa bagian. Pertama, tentang pemeriharaan Tuhan (ay. 26, 2830). Di sini Yesus mengajak kita melihat burung di udara dan bunga di padang. Mereka tidak menabur, menuai, atau memintal, tetapi Allah memelihara mereka. Bahkan keindahan bunga melampaui kemegahan Salomo. Tampak bahwa Allah tidak hanya peduli pada manusia, tetapi pada seluruh ciptaan. Ia adalah Bapa yang penuh kasih kepada dunia ini.

Kedua, bahwa kekhawatiran dapat menghancurkan hidup dan alam (ay. 25, 27, 3132). Yesus berkata: Janganlah kamu kuatir… Kekhawatiran membuat hidup kita hancur, dan tidak fokus pada Allah. Lebih dari itu, kekhawatiran yang berakar pada obsesi materi sering melahirkan gaya hidup serakah: menimbun, membeli berlebihan, mengeksploitasi alam tanpa batas. Akibatnya manusia menebang pohon secara brutal, menggunduli hutan, mencemari laut, semua demi memenuhi keserakahan manusia. Dengan demikian, kekhawatiran yang berpusat pada materi bukan hanya merusak iman, tetapi juga merusak bumi.

Ketiga, penting untuk mencari kerajaan Allah (ay. 33). Agar tidak terjebak pada keserakahan, Yesus memberikan solusi: Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Kerajaan Allah berarti hidup di bawah pemerintahan Allah, di mana kasih, keadilan, dan kebenaran ditegakkan. Kebenaran Allah berarti hidup sesuai dengan kehendak-Nya: tidak serakah, tidak rakus, tetapi setia, adil, dan penuh kasih. Dalam konteks lingkungan hidup, ini berarti kita dipanggil untuk menjaga bumi, merawat ciptaan, dan mewujudkan keadilan ekologis. Prioritas kita bukan mengejar kebutuhan materi, melainkan hidup dalam kebenaran Allah, termasuk dalam cara kita memperlakukan bumi.

Keempat, senantiasa bersyukur dan percaya (ay. 34). Yesus menutup perikop ini dengan ajakan: Janganlah kuatir akan hari esok… Bukan berarti kita tidak perlu merencanakan hidup, tetapi kita diajak mempercayakan hidup pada Allah dari hari ke hari. Hidup dalam iman berarti bersyukur atas apa yang ada, memakai secukupnya, tidak serakah. Hidup dalam syukur berarti menghargai makanan, air, udara, hutan, sungai, laut, hewan, dan semua ciptaan sebagai karunia Allah. Praktisnya, iman yang percaya pada pemeliharaan Allah melahirkan gaya hidup sederhana, penuh syukur, dan ramah lingkungan.

Dalam rangka bulan lingkungan hidup, perikop ini memiliki beberapa implikasi ekologis. Pertama, Tuhan adalah satu-satunya pencipta, penguasa, sedangkan manusia, alam, hewan, dan seluruh makhluk hanya ciptaan yang bergantung pada Allah. Manusia, sama halnya dengan tanaman/tumbuhan, burung (hewan), adalah ciptaan. Manusia dan alam sebagai kesatuan yang bergantung pada pemeliharaan Tuhan. Kedua, manusia tidak boleh menempatkan diri sebagai penguasa atas alam lalu bertindak sewenang-wenang terhadap ciptaan lain. Bacaan di atas menempatkan Allah sebagai satu-satunya penguasa. Manusia tidak boleh menempatkan diri sebagai subjek dan alam sebagai objek untuk dikuasai dan dieksploitasi. Manusia, dan ciptaan lain adalah sama-sama subjek yang saling bergantung, saling membutuhkan, saling menopang.

Ketiga, manusia sebagai makhluk yang dikarunia akal budi, mesti mengelola alam secara bertanggung jawab demi masa depan seluruh ciptaan. Manusia tidak boleh membiarkan dirinya dikendalikan oleh keserakahan, karena hal itu hanya akan membuat manusia mengeksploitasi dan merusak alam demi kepentingannya. Manusia sebagai gambar Allah, berarti ia diberi tanggung jawab oleh Allah, yaitu memelihara ciptaan yang lain.

Penutup

Allah terbukti telah memelihara seluruh ciptaannya, baik burung di udara, bunga di padang, maupun manusia. Karena itu kita tidak perlu hidup dalam kecemasan dan kekuatiran yang berpusat pada materi. Kita membutuhkan alam semesta sebagai penyedia kebutuhan kita, maka kita bertanggung jawab untuk merawat alam dengan baik demi masa depan kita juga. Sebab apabila kita merusak alam, itu sama saja kita membunuh generasi masa depan. Namun alam semesta bukan pemelihara hidup kita, sebab Tuhanlah pemelihara sejati kita. Maka kita diajak untuk mencari Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya sebagai hal yang utama dalam hidup ini. Kita pun diajar untuk hidup dalam iman dan syukur, tidak serakah, tetapi hidup sederhana dan penuh kasih. Kita mesti belajar untuk merasa cukup atas apa yang kita miliki, dan berani tegas pada diri sendiri: jangan serakah! (gm).

(Dikutip dari: Tunas dari Tanah Kering, Edisi November-Desember 2025)