
Waktu adalah rahasia yang tak habis diselami. Ia bukan sekadar angka di kalender atau jam yang berdetak tanpa henti, melainkan ruang hidup di mana manusia dan Allah berjumpa. Dalam waktu, kita mengenal sejarah; dan dalam sejarah, kita mengenali penyertaan Tuhan yang tidak pernah berhenti. Gereja tidak berada di luar arus waktu, tetapi hidup di dalamnya sebagai saksi kasih Allah di antara perubahan dan pergulatan zaman. Karena itu, waktu tidak hanya harus dihitung, tetapi juga ditafsirkan. Ia bukan sekadar lintasan, melainkan ruang evaluasi iman.
Phyllis Tickle dalam bukunya The Great Emergence: How Christianity is Changing and Whymenyebut bahwa setiap lima ratus tahun, Gereja mengalami semacam “cuci gudang rohani.” Ia memakai metafora yang tajam: setiap setengah milenium, Gereja membuka lemari lamanya, mengeluarkan apa yang sudah usang, dan menata ulang keyakinannya agar tetap relevan bagi dunia yang berubah. Tahun 0 menjadi pusat sejarah dengan kedatangan Kristus; sekitar tahun 470, kekaisaran Romawi yang menindas Kekristenan runtuh dan Gereja mulai bernafas bebas; tahun 1054 pecahnya Gereja Timur dan Barat menjadi luka besar yang melahirkan wajah baru iman; tahun 1517 Reformasi Protestan mengguncang dunia dan menegaskan kebebasan hati nurani di bawah firman Allah; dan di tahun 2020, ketika pandemi Covid-19 menutup pintu-pintu gereja di seluruh dunia, Tuhan seolah memanggil umat-Nya kembali untuk beriman tanpa gedung, tanpa ritual, tanpa suara nyanyian, hanya dengan kesunyian dan doa. Di sana, Gereja diingatkan kembali: hakikatnya bukan di gedung, tetapi di hati yang berserah.
Dalam irama sejarah universal itu, GMIT membaca kisahnya sendiri. Tahun 1947 menjadi tonggak yang membedakan antara bergantung dan mandiri, antara menerima dan mengambil tanggung jawab. Lahirnya GMIT dari rahim Indische Kerkbukan tanpa air mata. Saat itu, krisis ekonomi, gaji pendeta dan guru yang terhenti, dan kekosongan sumber daya mengguncang fondasi. Namun justru di tengah keterbatasan itulah muncul iman yang murni: bahwa Gereja harus berdiri bukan di atas bantuan, melainkan di atas panggilan Tuhan. Tahun 1947 bukan sekadar peristiwa administratif pemisahan, tetapi momen kelahiran spiritual. GMIT belajar berjalan di tanahnya sendiri dengan langkah yang goyah tapi pasti dan Tuhan membuktikan kesetiaan-Nya melalui tangan-tangan kecil yang bekerja dengan kasih.
Perjalanan waktu membawa GMIT melewati banyak musim. Tahun 1965 menjadi salah satu masa paling menegangkan dalam sejarah bangsa dan gereja. Di tengah gejolak politik nasional dan ketakutan pasca G30S/PKI, di wilayah pelayanan GMIT justru muncul tanda- tanda kebangunan rohani. Di SoE, jemaat menyaksikan kisah “air berubah menjadi anggur” bukan sekadar mujizat simbolik, melainkan tanda bahwa Roh Kudus sedang membaharui gereja di tengah ketidakpastian. Sejak saat itu, semangat kemandirian GMIT tumbuh bukan hanya dalam hal spiritual, tetapi juga dalam impian sosial-ekonomi dan pendidikan. Gereja mulai bermimpi tentang yayasan pemberdayaan, universitas, rumah sakit, lembaga keuangan, dan sistem penopang masa depan para pendeta. Mimpi itu tidak berlebihan, karena iman sejati selalu melahirkan karya yang berpihak kepada kehidupan.
Seiring tahun berganti, mimpi itu perlahan menjadi nyata. Berdirilah Yayasan Alfa Omega, Yayasan TLM, Universitas Kristen Artha Wacana, Klinik Abdi Kasih di SoE, dan Badan Dikonia GMIT. Semua ini menjadi tanda bahwa iman yang hidup harus menjelma dalam tindakan konkret. Gereja bukan sekadar menantikan sorga, tetapi menanam kehidupan di bumi. Namun perjalanan itu juga tidak tanpa catatan lemah. Ada masa ketika gereja terlalu sibuk mengurus struktur dan melupakan substansi; terlalu sibuk menata aturan tetapi kehilangan gairah pelayanan; terlalu berhati-hati dengan angka, tetapi abai pada kasih. Semua itu adalah bagian dari pergulatan yang manusiawi karena gereja bukan komunitas malaikat, melainkan persekutuan orang-orang yang terus belajar berjalan dalam anugerah.
Kini di usia 78 tahun, GMIT tidak bisa lagi berjalan dengan cara lama. Dunia berubah terlalu cepat, dan gereja tidak boleh diam. Waktu yang diberikan Tuhan hari ini harus menjadi ruang refleksi sekaligus ruang pembaruan. Setiap lingkup sinode, klasis, jemaat dipanggil untuk melihat lima bidang penting sebagai poros arah baru bergereja. Pertama, tata kelola pendidikan yang berakar pada nilai-nilai iman dan kualitas akademik. Kedua, tata kelola sumber daya manusia yang menyesuaikan diri dengan zaman digital, agar gereja tidak tertinggal dari realitas modern. Ketiga, pemberdayaan dan pengembangan aset yang harus dilakukan secara transparan, produktif, dan memberdayakan umat. Keempat, penguatan data, sistem informasi, dan sarana-prasarana pelayanan yang memadai untuk memperlancar misi gereja. Kelima, pengajaran dan penginjilan yang holistik bukan hanya menyelamatkan jiwa, tetapi juga memulihkan kehidupan. Lima bidang ini bukan daftar proyek, melainkan arah spiritual: tanda bahwa gereja yang hidup harus terus bertumbuh dalam iman, pengharapan, dan kasih.
Namun waktu tidak hanya berbicara tentang evaluasi; ia juga mengandung rahasia kekekalan. Gereja tidak hidup hanya dalam dimensi sejarah, melainkan juga di bawah terang yang kekal. Di balik perubahan dunia, ada dasar yang tidak pernah berubah: Yesus Kristus sendiri. Di atas batu karang inilah gereja berdiri dan tidak akan pernah roboh, kecuali bila Tuhan sendiri datang menutup sejarah. Dalam pengertian inilah waktu harus dimaknai sebagai jembatan antara yang fana dan yang kekal. Karl Barth menulis bahwa gereja adalah komunitas yang dibentuk oleh peristiwa Yesus Kristus, artinya eksistensi gereja tidak ditentukan oleh organisasi atau struktur, melainkan oleh partisipasinya dalam karya Kristus yang kekal. Hans Küng kemudian memperdalamnya dengan mengatakan bahwa gereja adalah “realitas historis sekaligus misteri ilahi” realitas manusiawi sekaligus ilahi, sementara sekaligus kekal. Karena itu, ketika gereja berbicara tentang waktu, ia sebenarnya sedang berbicara tentang kekekalan yang menyentuh dunia.
Paradigma waktu kekal ini mengubah cara gereja memandang dirinya. Gereja tidak hanya mencatat sejarah, tetapi memaknai setiap peristiwa sebagai bagian dari karya Allah yang sedang berlangsung. Dalam konteks GMIT hari ini, menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah bukan lagi sekadar tugas liturgis atau wacana teologis, tetapi tanggung jawab praksis. Gereja harus menghadirkan kasih, keadilan, dan pengharapan dalam konteks konkret: di ladang- ladang kering, di sekolah-sekolah miskin, di pasar, di rumah sakit, dan di tengah masyarakat digital yang haus makna. Gereja tidak boleh berhenti pada naskah-naskah keputusan, tetapi harus menulis Injil baru lewat tindakan-tindakan kecil yang menghidupkan.
Jürgen Moltmann mengingatkan bahwa gereja bukan tempat pelarian dari dunia, tetapi medan perjumpaan antara Allah dan manusia. Gereja dipanggil untuk membawa pengharapan di
tengah penderitaan, dan menghadirkan jejak kekekalan di tengah kefanaan. Ketika seorang pendeta membaptis anak di di lembah dan gunung terpencil, ketika seorang guru sekolah minggu mengajarkan kasih dengan sabar, ketika jemaat menanam pohon di tanah yang gersang, ketika jemaat serius mendirikan rumah belajar bagi anak-anak miskin, di situlah Kerajaan Allah menjelma. Waktu yang fana menjadi saksi bagi pekerjaan Allah yang kekal.
Selama tujuh puluh delapan tahun, GMIT telah berjalan di antara lembah dan gunung, selat dan ombak, di antara air mata dan pengharapan. Gereja ini tidak sempurna, tetapi selalu berani bangkit. Ia pernah dicaci karena lemahnya tata kelola, tetapi tetap dicintai karena ketulusan pelayanannya. Ia pernah kehilangan arah, tetapi tidak pernah kehilangan iman. Setiap krisis menjadi kesempatan bagi Tuhan untuk memperbaharui wajahnya. Di sinilah kita belajar bahwa waktu adalah guru yang keras sekaligus penyembuh yang setia. Ia menunjukkan kelemahan, tetapi juga membuka jalan menuju pertobatan dan pembaruan.
Waktu mengajarkan kepada GMIT bahwa kemandirian sejati bukan berarti berjalan sendirian, tetapi berjalan bersama Tuhan dan sesama. Gereja yang mandiri adalah gereja yang tahu dari mana sumber kekuatannya berasal. Ia tahu bahwa uang, struktur, dan jabatan tidak bisa menopang kekekalan, hanya kasih dan iman yang bisa. Karena itu, segala pencapaian yayasan, universitas, rumah sakit, lembaga keuangan adalah sarana, bukan tujuan. Semuanya hanyalah alat yang dipakai Tuhan untuk melayani manusia. Gereja tidak boleh jatuh pada godaan untuk memuja hasil karya, sebab di atas segala hal yang bisa diukur, ada satu hal yang tidak tergantikan: Kristus sendiri.
Refleksi pada usia ke-78 ini bukan perayaan angka, melainkan panggilan untuk memperbaharui arah. Gereja harus berani bertanya dengan rendah hati: apakah pelayanan kita masih menuju kepada Kristus atau kepada diri sendiri? Apakah struktur kita mendukung misi, atau justru menghambatnya? Apakah kita masih mendengar suara Roh Kudus yang berbisik dari pinggiran, atau kita sudah terlalu sibuk dengan rapat dan laporan? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini tidak melemahkan gereja; justru membuatnya lebih hidup, karena di dalam pertanyaan ada kesediaan untuk dikoreksi.
Sejarah GMIT menunjukkan bahwa Tuhan selalu bekerja melalui waktu bahkan melalui kegagalan. Ia menumbuhkan ketaatan di tengah kelaparan, menyalakan harapan di tengah krisis, dan menumbuhkan iman di tengah keletihan. Karena itu, waktu tidak pernah menjadi musuh iman. Ia adalah rahim tempat Allah melahirkan pembaruan. Di tangan Tuhan, waktu berubah menjadi anugerah: ruang bagi gereja untuk terus direformasi, diperbaharui, dan disempurnakan. Seperti yang dikatakan oleh Moltmann, “Gereja yang hidup adalah gereja yang selalu siap berubah demi kasih yang lebih besar.”
Sejarah yang panjang, di usia ke-78, GMIT berdiri di antara dua waktu: masa lalu yang mengajarkan kesetiaan, dan masa depan yang menuntut keberanian. Gereja ini harus berjalan di tengah dunia modern tanpa kehilangan jiwanya. Di era digital, ketika algoritma menggantikan perjumpaan dan media sosial menenggelamkan kesunyian, gereja harus kembali menjadi ruang yang manusiawi, tempat orang merasa diterima, didengar, dan diampuni. Itulah tanda Kerajaan Allah yang kekal: bukan megahnya gedung, tetapi hangatnya hati yang membuka diri bagi sesama.
Dalam bahasa spiritual, waktu akan berhenti, tetapi kasih tidak. Gereja mungkin berubah bentuk, struktur, atau nama, tetapi Kristus tetap sama semenjak dulu, sekarang, dan selamanya. Itulah penghiburan dan panggilan bagi GMIT: berjalan terus dalam waktu, namun berakar dalam kekekalan. Tujuh puluh delapan tahun bukan akhir perjalanan, melainkan awal kesadaran baru: bahwa Tuhan masih menulis sejarahnya melalui kita. Maka biarlah waktu ini menjadi ruang syukur dan tekad baru. Gereja ini berdiri bukan karena kuat dan hebat, tetapi karena kasih karunia yang bekerja tanpa henti. Dan selama kasih itu masih bernyala, GMIT akan terus hidup menjadi tanda bahwa waktu yang fana pun bisa memantulkan cahaya kekekalan Allah.
Sekarang, ketika kita berbicara tentang waktu kekal, kita juga harus berbicara tentang strategi baru gereja untuk melangkah di masa depan. Kekekalan tidak berarti diam, melainkan bergerak dengan arah yang pasti. Di sinilah Gereja perlu membaca kembali karya fenomenal Martin Luther yang menandai Reformasi: Sola Fide, Sola Gratia, Sola Scriptura, Solus Christus, dan Soli Deo Gloria. Dalam terang waktu kekal, kelima prinsip ini bukan doktrin masa lalu, tetapi strategi hidup bagi gereja masa kini. Sola Fide, hanya karena iman mengajarkan bahwa perjalanan gereja harus berakar pada kepercayaan total kepada Allah, bukan pada keberhasilan duniawi. Sola Gratia, hanya oleh kasih karunia mengingatkan bahwa semua capaian GMIT selama ini bukan hasil kekuatan manusia, tetapi buah anugerah Tuhan yang terus bekerja dalam sejarah. Sola Scriptura, hanya oleh Firman menjadi dasar bahwa arah dan keputusan gereja harus dituntun oleh kebenaran Alkitab, bukan oleh suara mayoritas atau tekanan sosial. Solus Christushanya Kristus menegaskan bahwa pusat gereja bukan lembaga, melainkan pribadi Yesus sendiri yang adalah Alfa dan Omega. Dan Soli Deo Gloriahanya bagi kemuliaan Allah menjadi bingkai kekekalan: segala sesuatu yang dilakukan gereja harus bermuara pada kemuliaan Tuhan, bukan kebanggaan manusia.
Perlu lebih jauh bagi GMIT yang hidup di konteks kepulauan dengan keberagaman budaya dan bahasa, ada satu “sola” tambahan yang harus terus dihidupi: Sola Lokus, hanya dari tempat di mana Allah menanam kita. Artinya, iman harus berakar pada tanah di mana kaki berpijak. Tuhan tidak menanam GMIT di Jerman atau Roma dan Belanda tetapi di Timor, Rote, Sabu, Alor, Flores, Belu, Malaka, Sumbawa, Surabaya, Batam, bahkan hingga Malaysia. Di sinilah kekekalan bertemu dengan lokalitas; di sinilah Injil menjadi daging dalam budaya. Sola Lokusmengajarkan bahwa pelayanan tidak boleh melupakan konteks: bahasa, adat, musik, dan kearifan lokal adalah bahan baku misi yang hidup. Gereja yang kekal bukan gereja yang meniru dunia, tetapi yang menafsirkan kasih Allah dalam logat, tanah, dan airnya sendiri.
Maka, waktu kekal menuntun GMIT untuk menatap ke depan dengan langkah yang baru: gereja yang beriman kuat dalam Sola Fide, berjiwa rendah dalam Sola Gratia, berpijak kokoh dalam Sola Scriptura, berfokus hanya pada Kristus dalam Solus Christus, hidup untuk kemuliaan Allah dalam Soli Deo Gloria, dan berakar pada tanah pelayanan dalam Sola Lokus. Inilah strategi spiritual dan kontekstual GMIT ke depan: menjadi gereja yang mandiri, missioner, dan mewujudkan kehadrian Kristus yang nyata. Gereja yang tidak sekadar mencatat waktu, tetapi mengubahnya menjadi tanda kekekalan. Gereja yang tidak hanya mengingat masa lalu, tetapi melangkah dengan keyakinan bahwa kasih karunia Allah selalu baru setiap pagi.
Karena itu, biarlah di usia ke-78 ini GMIT berdiri di persimpangan waktu dengan kesadaran baru: bahwa sejarah bukan beban, melainkan rahim dari harapan. Gereja ini masih dipanggil untuk menulis bab berikutnya dari kisah penyertaan Tuhan di Nusa Tenggara Timur dan di mana pun umat-Nya melayani. Dan selama waktu masih berdetak, selama kasih Allah masih bekerja, selama nama Kristus masih diberitakan, GMIT akan terus hidup menjadi tanda bahwa waktu yang fana pun bisa memantulkan cahaya kekekalan Allah yang tidak pernah padam. ***











