Rudolf Mulle, Penumpang Kapal Express Cantika 77 Selamat Berbekal Pengalaman Belajar Mitigasi

Rudolf Philip Mulle, korban selamat kapal express Cantika 77 memegang tiketnya yang masih basah.

KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Posturnya tegap, namun wajahnya tampak menyisakan kelelahan. Bekas luka terbakar di area hidungnya masih memerah ketika kami bertemu di kantor Majelis Sinode GMIT.

Dua hari sebelumnya, pria bernama lengkap Rudolf Philip Mulle ini adalah penumpang Kapal Express Cantika 77 yang terbakar dalam perjalanan Kupang-Alor, Senin, (24/10), pukul 13.00 wita.

Rudolf adalah manejer projek Indonesia Covid-19 Surge Response (ICSR) di Kabupaten Alor. Ini merupakan program tanggap Covid-19 kerja sama Wahana Visi Indonesia (WVI) dan Majelis Sinode GMIT.

“Ini beta pung tiket,” ujar Rodolf dalam bahasa Kupang, sambil mengeluarkan selembar kertas dengan hati-hati dari dalam dompetnya.

Tiket itu masih basah. Tulisan namanya yang tertera di tiket pun, sudah terhapus tintanya. Mungkin lantaran terendam berjam-jam di dalam laut.

Kapal naas itu berangkat pukul 11 siang. Rudolf mendapat tempat duduk di ruang C seat 38. Seiring perjalanan, ia berkomunikasi via whatsapp dengan teman-teman sekerjanya di Alor, untuk memastikan kesiapan kegiatan mereka pada hari esok. Sesudah itu ia makan siang dan tertidur. Sekitar pukul 13.00, penumpang di sebelahnya membangunkan dan memberitahunya bahwa ada asap dalam kapal.

“Tiba-tiba penumpang di sebelah kiri, kasi bangun bilang ada asap. Lalu saya lari tanya salah satu ABK. Ini kenapa, tidak apa-apa ko? Tapi dorang juga tidak respon karena mungkin dorangsibuk kasi padam api. Atau barangkali dorang belum paham menejemen risiko. Kita tidak tahu. Jadi karena sudah panik, kita penumpang sendiri yang saling bantu bagi-bagi pelampung. Tidak ada instruksi dan tidak ada satu ABK pun yang kasitau cara pakai pelampung atau kasitau jalur evakuasi lewat mana. Tidak ada,” ungkap pria 40 tahun ini.

Di ruang C, lanjut Rudolf, asap dan api makin besar sehingga pintu di sisi kiri dan kanan mereka buka agar asap bisa keluar. Namun, sesaat kemudian api merambat melalui pintu kiri sehingga ia berupaya untuk menutupnya.

“Api masuk lewat pintu sebelah kiri. Saya berusaha untuk tutup jadi hidung terbakar karena panas. Setelah itu saya bilang di penumpang, kita sudah pakai pelampung jadi lompat saja, kita tidak tenggelam.”

Rudolf melihat para penumpang berdesakan di pintu akibat sebagian tidak berani melompat dan menghalangi penumpang lain yang hendak keluar. Ia sendiri termasuk barisan terakhir yang melompat keluar dari dalam kapal.  

Saat sudah berada di dalam laut, ia berusaha berenang menjauh karena khawatir terhisap arus di sekitar kapal atau kapal meledak.

Mengaku berbekal pengalaman mengikuti pelatihan mitigasi bencana, Rudolf berusaha tetap tenang, tidak panik, dan yakin akan datang pertolongan. Termasuk membiarkan tubuhnya terbawa arus dengan tujuan untuk menghemat tenaga, kendati ia bisa berenang.

“Arus laut lebih kuat dari kita punya tenaga, jadi daripada habis tenaga, lebih baik ikut arus saja. Itu yang pernah saya belajar.”

Selama penantian akan datangnya tim penyelamat, pria kelahiran Alor ini tetap menjaga sebuah tas kecil berisi dompet, handphone dan tas berisi laptop.  

“Hanya ini tas dengan HP yang saya selamatkan. Juga laptop. Saya sudah lepas di dalam laut, tapi dia [tas berisi laptop] terapung-apung di sekitar saya terus. Mungkin di dalamnya ada lapisan kedap air, jadi saya pikir ini laptop mungkin tidak mau terpisah dari saya.”

Setelah kurang lebih empat jam terapung-apung terseret gelombang dan arus, sebuah speed boat yang ia lihat beberapa kali bolak-balik mengevakuasi para korban, menuju ke arahnya.

“Puji Tuhan, akhirnya tim penyelamat datang jemput saya. Kalau bukan Tuhan Yesus, saya sudah tidak ada lagi. Tapi saya berdoa kalau pun harus mati, saya minta Tuhan supaya saya jangan mati di laut.” ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *