Membela Hak Atas Tanah (1 Raja-raja 21:1-16) – Pdt. Melkisedek Sni’ut

foto: litigasi.co.id

www.sinodegmit.or.id, Tahun 2018 terjadi kasus pembunuhan di Amarasi, Kab. Kupang, NTT. Pelakunya berinisial SO sedangkan korbannya KB. Keduanya masih punya hubungan keluarga. Pembunuhan ini dipicu sengketa tanah.

Saat itu SO hendak membangun rumah di lokasi yang diklaim sebagai milik KB. Sebenarnya tanah itu belum bersertifikat. Namun di atas itu tumbuh pohon jati yang dulunya ditanam secara bersama oleh mereka berdua. Ketika SO mulai membersihkan lokasi, KB datang melarang sehingga terjadi keributan yang berujung pembunuhan.

Awalnya pelaku menganiaya korban dengan sebatang kayu, lalu membunuh korban dengan parang yang terselip di pinggangnya. Ia bahkan memutilasi kepala korban dan menunjukan kepada kepala desa dan beberapa perangkat desa. Pelaku kemudian menyerahkan diri ke polisi. Kisah tragis ini menunjukkan bahwa sengketa tanah adalah masalah serius; bisa membuat sesama anggota keluarga saling benci dan baku bunuh.

Sengketa tanah terjadi hampir di semua zaman dan tempat. Mulai dari zaman Abram dan Lot di Tanah Negeb (Kej. 13) sampai zaman modern. Selain orang per orang, sengketa tanah juga terjadi dalam konteks yang lebih luas. Ada sengketa tanah antar keluarga, suku, kabupaten, antar propinsi bahkan antar negara. Misalnya karena memperebutkan wilayah atau pulau tertentu.

Salah satu contoh sengketa tanah antar negara yaitu Pulau Pasir di Selatan Rote. Secara sosio-historis, Pulau Pasir itu milik orang Rote. Hal ini karena sebelum Samuel Ashmore dari Inggris menemukannya pada 11 Juni 1811, nelayan dari Rote telah sering mengunjunginya secara turun-temurun. Meskipun tidak ditinggali, orang Rote menjadikan Pulau Pasir sebagai tempat mengambil burung, telur burung, kerang, teripang, penyu dan telur penyu.

Tetapi hukum internasional, yang berpedoman pada konsep uti possidetis(wilayah suatu negara modern mengikuti semua wilayah kekuasaan penjajahnya), mengesahkan Pulau Pasir sebagai milik Australia. Hal ini karena Belanda yang menjajah Indonesia, tidak pernah mengklaim Pulau Pasir sebagai koloninya.

Sebaliknya, pada tahun 1878 Inggris mencaplok Pulau Pasir karena ada tambang fosfat. Inggris kemudian menyerahkan Pulau Pasir ke Australia pada tahun 1942. Mereka pun memberinya nama Ashmore Reef, untuk menghormati Samuel Ashmore. Inilah yang dirujuk oleh hukum Internasional dan diikuti pula oleh Hukum Australia dan Indonesia.

Di samping sengketa yang terjadi secara horizontal, ada pula sengketa tanah yang terjadi secara vertikal. Ini adalah sengketa tanah yang terjadi antara masyarakat dengan penguasa dan pengusaha. Di NTT ada beberapa sengketa yang terkenal. Misalnya, konflik agraria antara pemerintah dan masyarakat karena rencana operasi tambang batu gamping dan semen di desa Satar Punda, Kab. Manggarai Timur. Ada pula konflik agraria antara pemerintah dan masyarakat di Besipae, Kab. TTS. Konflik agraria serupa juga terjadi di Marapu Hau, Kab. Sumbar Timur dan berbagai wilayah lainnya.

Mengapa terjadi sengketa tanah? Ini karena tanah yang dipersengketakan dianggap punya nilai penting. Ada nilai-nilai mendasar sehingga sekalipun kurang memiliki nilai ekonomis namun tetap diperebutkan. Pihak-pihak yang memperebutkannya merasa sebagai pemilik sah.

Untuk lebih memahami hal-hal yang berkaitan dengan sengketa tanah, kita dapat belajar dari 1 Raja-raja 21: 1-16. Kisah ini menceritakan sengketa tanah yang terjadi antara penguasa dengan masyarakat biasa. Sang penguasa bernama Raja Ahab dan Izebel, istrinya. Sedangkan masyarakat biasa itu Nabot.

Ahab merasa tertarik dengan tanah Nabot. Karena itu dia ingin tukar tanah Nabot dengan tanah yang lain. Kalau pun Nabot tidak mau untuk ditukar, dia bisa menjualnya. Jadi ada dua pilihan yang diberikan Ahab kepada Nabot. Tawaran ini terlihat terlihat adil. Sebab kalau Nabot mau tukar, dia bisa mendapat tanah yang lebih baik. Atau kalau pun ingin dijual, Nabot dapat menentukan sendiri harganya. Bukankah ini tawaran yang menggiurkan? Ternyata Nabot menolak dengan tegas. Nabot bilang itu tanah warisan. Milik pusaka keluarga. Karena itu tidak untuk dijual.

Penolakan ini membuat Raja Ahab kesal. Dia ro’i, kata orang Ende. Kehiu,kata orang Sabu. Palese,kata orang Kupang. Ngambek,kata orang Jawa. Tidak mau makan. Tidak mau minum. Hanya tidur matono di tempat tidur.

Untuk menyenangkan Ahab, Izebel memfitnah Nabot. Izebel juga mereyakasa pengadilan. Akibatnya Nabot dihukum mati. Tanah Nabot pun diambil oleh Ahab. Nabot menjadi korban. Dia kehilangan tanah dan nyawa sekaligus. Mengapa Nabot menolak tawaran Raja Ahab? Tentu ada alasannya. Alasan itu berkaitan dengan pemahaman orang Israel tentang tanah.

Bagi orang Israel, tanah Kanaan adalah tanah perjanjian. Itulah tanah yang diberikan Allah kepada Abraham dan keturunannya. Karena itu Kanaan adalah tanah yang kudus. Dengan demikian tanah Kanaan dijadikan pokok puji-pujian, dasar kepercayaan dan juga pengharapan kepada Allah. Jadi hilangnya tanah Kanaan berarti juga hilangnya puji-pujian, kepercayaan dan pengharapan kepada Allah. Putusnya hubungan dengan tanah berarti putusnya hubungan dengan Allah.

Dalam Perjanjian Lama, tanah dan Israel merupakan dua wujud tidak terpisahkan. Sejarah Israel terpusat di tanah Kanaan. Tanah itu selalu dirindukan. Tanah itu juga menjadi simbol hubungan yang istimewa antara umat Israel dengan Allah.

Kehilangan tanah akan menjadi ancaman serius terhadap kedudukan umat Israel di hadapan Allah. Itu sebabnya umat Israel akan mempertaruhkan nyawa mempertahankan tanahnya. Hal ini pun dijamin oleh Taurat.

Bagi setiap suku dan keluarga di Israel, tanah yang dimiliki dibagikan oleh Allah sendiri. Allah membagikan tanah melalui undi dengan perantaran imam Eleazer dan Yosua (Yos. 14:1-2; 18:1-10). Luas tanah yang dimiliki tiap keluarga tidak sama. Itu tergantung besar kecilnya keluarga (Bil. 26; 34; Yos. 13-19).

Melalui para pemimpin di zaman Yosua, Allah membagikan tanah dengan adil. Batas tanah tidak boleh digeser. Tanah yang telah dibagikan Allah tidak boleh dijual. Oleh karena Israel sendiri pun adalah pendatang di tanah Kanaan, pemiliknya adalah Allah sendiri.

Memang, dalam keadaan mendesak tanah boleh dijual. Namun tidak boleh “jual putus”. Harus ada usaha dari si penjual atau keluarganya yang mampu untuk menebusnya kembali. Bahkan tanah yang tidak dapat ditebus oleh penjual pun mesti dikembalikan ke keluarganya pada tahun Yobel (tahun kelima puluh). Semua ini karena tanah diyakini memiliki nilai yang sakral. Bagi umat Israel, tanah pertama-tama bernilai teologis.

Inilah yang menjadi alasan Nabot ketika menolak tawaran Raja Ahab. Saat itu Nabot tidak dalam kondisi mendesak secara ekonomi. Biar pun dia hanya warga biasa, namun tanahnya masih dapat mencukupi kebutuhannya.

Nabot juga beranggapan bahwa sebagai raja Israel, Ahab pasti memahami hal itu dengan baik. Dan memang demikian. Itu sebabnya sekalipun diliputi rasa kesal ketika Nabot menolak tawarannya, Ahab tidak berbuat apa-apa. Dia hanya membiarkan istrinya yang berasal dari Sidon dan tidak banyak tahu tentang Taurat yang mengurus perampasan tanah Nabot.

Apa yang Ahab dan Izebel lakukan kepada Nabot terjadi karena mereka tidak menganggap penting nilai teologis dari tanah. Yang mereka pentingkan dan pedulikan hanyalah nilai-nilai yang lain. Apa itu?

Pertama,nilai ekonomis. Letak tanahnya strategis karena berada di samping istana raja. Selain itu tanahnya pun subur. Karena itu Ahab ingin melakukan tukar guling atau jual beli. Ini menunjukkan bahwa Ahab memandang tanah Nabot dari nilai ekonomis yang dimilikinya.

Kedua,nilai sosial kemasyarakatan. Izebellah yang memberikan nilai ini pada tanah Nabot. Dia merasa dirinya dan Ahab berada di kelas sosial yang berbeda dari Nabot. Diri dan keluarganya lebih tinggi karena mereka adalah kelas raja dan bangsawan. Sedangkan Nabot dianggap kelas rendah karena hanya rakyat jelata. Akibatnya Izebel merasa berhak memperlakukan Nabot sesuka hatinya. Nabot difitnah dan dibunuh. Tanah Nabot pun dirampas dan diserahkan kepada Ahab.

Jadi bagi Izebel, bernilai atau tidaknya tanah diukur dari siapa pemiliknya. Karena dimiliki oleh Nabot, tanahnya dianggap tidak bernilai. Tetapi ketika diambil alih oleh Ahab, tanahnya menjadi bernilai tinggi secara sosial kemasyarakatan.

Ketiga,nilai politis. Di dalam kisah ini, batas antara politik dan hukum dibuat kabur untuk merekayasa fitnah kepada Nabot. Kepemilikannya atas tanah yang menjadi incaran raja membuat Nabot pun mati. Dia menjadi korban konspirasi politik dan rekayasa hukum. Nabot, seorang rakyat jelata mati di tangan Ahab, sang penguasa.

Hal ini pun menunjukkan bahwa tanah dapat pula bernilai politis. Dalam konteks bernegara, kita biasa mendengar istilah daulat. Atas nama kedaulatan, tanah sejengkal pun akan dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Inilah keempat nilai tanah yang terlihat dalam kisah Kebun Anggur Nabot. Apa yang bisa kita pelajari dari kisah ini? Ada empat hal.

Pertama,kita mesti sadar bahwa tanah bukanlah buatan manusia. Karena itu tanah bukanlah milik manusia secara mutlak. Tanah itu ciptaan Tuhan. Dengan demikian hanya Tuhan sajalah pemilik tanah yang sejati. Semua orang yang mendiami tanah hanyalah pendatang.

Kepemilikan seseorang atau suatu pihak pada tanah di wilayah tertentu sebenarnya hanyalah klaim. Selalu ada orang, suku atau pihak tertentu yang pertama kali mengklaim suatu wilayah sebagai miliknya. Mereka tidak membeli atau memintanya dari siapapun.

Klaim itu kemudian dilegitimasi dengan berbagai cara untuk mendapatkan pengakuan bahwa tanah itu memang miliknya. Secara tradisional, legitimasi itu dalam bentuk hak ulayat masyarakat suku. Sedangkan secara hukum ada legitimasi legal formal melalui sertifikat kepemilikan yang diterbitkan oleh pemerintah.

Namun semua klaim kepemilikan tersebut tidak dapat menggeser Tuhan sebagai pemilik tanah yang sesungguhnya. Oleh karena itu, siapapun yang memiliki tanah dan apapun bentuk legitimasinya, mereka mesti mempergunakan tanah tersebut sesuai kehendak Tuhan. Karena itu tanah mesti digunakan untuk melayani Tuhan dan sesama dengan bertanggung jawab. Artinya, selain dimanfaatkan, tanah juga mesti dijaga dan dirawat agar terhindar dari berbagai macam polusi dan eksploitasi sehingga tidak menjadi bencana bagi manusia dan makluk lainnya.

Kedua,setiap orang atau pihak yang memiliki tanah secara sah, berhak untuk memanfaatkan, mengusahakan, menyewakan, menghibahkan, mewariskan atau pun menjualnya. Dia tidak boleh dipaksa untuk dipindahtangankan. Entah dengan cara menjual, tukar guling, ganti rugi, ganti untung dan sebagainya, seseorang tidak boleh dipaksa. Sebab pemaksaan dapat melahirkan konflik dan bahkan pertumpahan darah seperti yang terjadi pada Nabot.

Ketiga,apabila terjadi sengketa tanah, pihak-pihak yang bertikai mesti menyelesaikannya melalui jalur resmi yang diakui bersama. Dalam hal ini pengadilan. Sengketa tanah mesti diselesaikan di pengadilan. Ini untuk menghindari klaim sepihak atau tindakan main hakim sendiri.

Memang, proses di pengadilan akan memakan biaya yang mahal maupun waktu yang lama. Proses hukum juga membuat energi terkuras. Sekalipun demikian, itu lebih baik. Dari pada memilih jalan main hakim sendiri yang justru akan mengakibatkan hilangnya kasih, perdamaian bahkan nyawa serta membawa kesengsaraan.

Keempat,setiap pemilik tanah wajib mengolah atau mengusahakan tanah yang dimilikinya. Tanah tidak boleh dibiarkan kosong tanpa diolah atau diusahakan. Kita melihat bahwa tanah yang diambil dari Nabot bukanlah tanah kosong. Tanah itu telah dijadikan kebun anggur. Itu artinya tanah tersebut memberi manfaat, baik bagi pemiliknya maupun orang lain.

Setiap pemilik tanah pada masa kini pun mesti mengolah dan mengusahakan tanah yang dimilikinya dengan bertanggungjawab. Sebab tanah yang dimiliki tanpa diolah dan dirawat membuat pemiliknya berdosa. Berdosa kepada Tuhan yang adalah pemilik mutlak. Selain itu berdosa pula kepada sesama yang sebenarnya ingin mengolah tanah tetapi tidak memilikinya.

Sampai di sini saya ingin bertanya kepada semua pemilik tanah pertanian. Di bulan Nopember ini kita sudah memasuki musim hujan. Sudahkah semua lahan, baik pekarangan, kebun, ladang maupun sawah, dipersiapkan untuk menyambut musim tanam? Jika sudah maka saya berdoa agar semua yang ditanam pada waktunya menghasilkan panen yang berlimpah-limpah.

Tetapi jika belum, segeralah mempersiapkannya. Ingat, orang yang punya lahan tetapi tidak mengolahnya, malahan merantau sebagai buruh atau pekerja kasar di kota atau luar negeri, apalagi yang bermalas-malasan, sebenarnya berbuat dosa. Mereka berdosa terhadap Tuhan Allah yang sudah memberikan tanah. Mereka juga berdosa terhadap nenek moyang yang sudah mewariskannya. Dosa ini, apabila dipertahankan, akan membawa kesusahan dan malapetaka.

Karena itu segeralah bertobat! Olah dan usahakanlah tanah yang ada. Sebab mengolah dan mengusahakan tanah merupakan salah satu cara kita membela hak atas tanah yang dimiliki. Dengan demikian masa depan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan semesta akan terjaga. Tuhan memberkati kita semua. Amin. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *