
Filsuf Romawi, Lucius Annaeus Seneca (4SM-65M) memperkenalkan pandangan dasar humanisme homo homini socius (manusia menjadi sahabat bagi sesamanya) kontra dengan homo homini lupus (manusia sebagai serigala bagi sesamanya). Pandangan ini dipakai oleh Nicolaus Driyarkara sebagai titik tolak pemahaman tentang kemanusiaan, sebab manusia itu berharga dan bernilai. Manusia dalam konteks kebangsaan menurut Driyarkara ada dalam nilai-nilai ideologi Pancasila. Namun dalam kenyataan, nilai itu mengalami pergeseran karena kepentingan dan kuasa jabatan. Kepentingan tersebut meliputi kepentingan bisnis dan kepentingan politik. Dalam politik ada istilah “tidak ada kawan tetap dan tidak ada lawan tetap, yang tetap hanya kepentingan.” Si miskin dan orang yang tidak memiliki jabatan, tak dipedulikan dalam masyarakat. Bahkan, mungkin dalam persekutuan di gereja.
Kita berada di minggu kedua Bulan Kebangsaan, tema dalam minggu ini adalah Manusia Berharga dan Mulia di Mata Tuhan.
Bacaan kita berbicara tentang pemahaman umat Israel sebagai umat yang dijamin, diberkati, dan dilindungi Allah. Pemahaman ini telah berurat akar dalam kehidupan umat. Hal ini bermula dari keterpilihan para bapa-bapa leluhur dan pembebasan umat dari perbudakan di tanah Mesir. Di mana Allah memberikan janji-janji-Nya berupa sumpah. Janji itu berorientasi di masa kini dan masa depan.
Para penafsir PL memberikan nama yang berbeda-beda untuk masing-masing bagian dari kitab Yesaya pasal 1-66. Seorang penafsir dari Jerman, Bernard Duhm membaginya menjadi tiga bagian besar. Pasal 1-39 (Proto-Yesaya) diperkirakan berasal dari masa pra pembuangan, pasal 40-55 (Deutero-Yesaya) yang diasalkan pada masa pembuangan, sedangkan pasal 56-66 (Trito-Yesaya) yang diperkirakan berasal dari pasca pembuangan di Babel. Peringatan, nubuatan, bahkan harapan yang disampaikan oleh Yesaya kepada umat Israel dalam pembuangan di Babel, disampaikan juga oleh Yeremia. Dalam Yeremia 7: 1-7 dengan tegas menegur Israel karena mereka tidak lagi memerhatikan Taurat dan cara hidupnya di hadapan Allah.
Pasal 43:1-7, LAI memberi judul Allah adalah Satu-satunya Penebus.
Pada ayat 1, penyebutan nama “Israel” dan “dengan namamu Aku memanggilmu”, mengingatkan kisah Yakub-Israel, yang berarti bergumul dan menang. Bisa juga diartikan dengan berkat Tuhan, jadi tidak hanya sekedar memanggil.
“Janganlah takut Aku menebusmu”. Kata “jangan” di sini menggunakan kata al yang bisa dimaknai sebagai larangan sementara. Sedangkan kata menebus (ga’al) juga bisa dilihat di Yes. 44: 22, kata tersebut tidak hanya bermakna sebagai penebus, namun membebaskan, melepaskan dari segala bahaya, dan memberi harapan kepada bangsa Israel.
Pada ayat 2, kata ki (ketika) menunjukkan sesuatu, “ketika” yang berarti jikalau, namun pasti, pada saat bagaimanapun, pada waktu kapan pun, pada keadaan apa pun. Jadi sekarang atau di masa depan pun dan dalam kondisi yang bagaimanapun, jika kamu melewati bahaya, Aku denganmu, Aku bersamamu, Aku besertamu”. Sebuah jaminan, suatu garansi berkat Tuhan. Api dan air sering kali menjadi gambaran malapetaka di dalam pemahaman Israel kuno.
Dalam Mazmur 83:14 dikatakan bahwa api membakar hutan dan menghanguskan gunung. Mengenai air, yang tidak bisa dilupakan umat manusia adalah kisah air bah, di mana melalui air bah Tuhan meluluhlantakkan seluruh alam semesta. Meskipun kisah air bah bisa dipandang sebagai kisah yang positif, bahwa dengan kejadian tersebut terjadinya pemulihan dan penciptaan kembali. Namun secara umum, ada juga pemahaman umat tentang api dan air secara negatif yakni datangnya malapetaka. Kepada umat Israel, garansi bahwa Tuhan menyertai umat-Nya sampai selamanya, dalam keadaan apa pun, umat-Nya jangan takut dan gentar, terkhususnya terhadap keadaan carut-marut yang saat itu sedang mereka hadapi.
Ayat 3 menarik, jika kita melihat kata Maha Kudus (qedowos). Kata tersebut banyak terdapat di dalam PL, paling banyak di kitab Yesaya, dan hanya beberapa di kitab lainnya, seperti; Mazmur 106:16, 2 Raja-raja 19:22, dan Yeremia 50:29, muncul dalam konteks yang berbeda. Namun tetap pada penekanan bahwa Allah itu “Kudus”. Ia juga adalah “satu-satunya” “penebusan”, menegaskan tentang diri-Nya, membedakan diri-Nya dengan patung-patung atau berhala yang ada pada waktu itu. Allah adalah satu-satunya, tiada yang lain, Dia adalah satu-satunya penyelamat Israel.
Pada ayat 4 terdapat kata tahteka. Dalam konteks Yesaya 43 tersebut bisa diartikan sebagai bangsa-bangsa, karena Israel pada waktu itu berada di antara kekuatan bangsa-bangsa yang besar sehingga Allah menjamin keselamatan Israel, yakni karena kasih-Nya. Umat itu berharga karena telah dipilih dan ditebus dari Mesir. Penebusan bukan karena kebaikan orang Israel melainkan karena belas kasih Allah. Allah menebus dengan harga yang mahal yakni dengan pengorbanan. Oleh karena itu, mereka hidup di tengah-tengah bangsa lain namun ada jaminan Allah. Nampak dalam permulaan ayat 5 dengan berkata “jangan takut” (al tira) yang menunjuk kepada keadaan Israel ketika itu, yang memang sedang ketakutan dalam pembuangan.
Kemudian dilanjutkan dengan alasan kenapa umat tidak perlu takut, sebab “Aku bersama engkau” (qabbaseka) yang dapat diartikan dengan memanggil untuk berkumpul. Aqabbaseka juga muncul kembali di Yes. 54:7, namun maknanya agaknya berbeda, tidak hanya sekedar “berkumpul”, tetapi juga “mengambil” dalam arti mengumpulkan, memberi suatu kepastian, jaminan, yang berarti “yakin”, benar-benar berkumpul dari Timur (mimmizrah) dan Barat (umimmaara).
Ayat 5 merupakan seruan nabi, tidak hanya seruan terhadap pemulangan orang-orang yang dalam pembuangan, namun juga kepada orang-orang diaspora di mana pun mereka berada, di setiap arah mata angin, untuk kembali ke Israel. Seruan itu kembali ditegaskan pada ayat 6.
Ayat 7 mengingatkan dan menegaskan kembali ayat 1 bahwa Israel adalah umat Allah, yang dijadikan dan secara khusus dipanggil oleh-Nya demi suatu tujuan. “Dengan nama-Ku, dengan kemasyhuran-Ku, yaitu dengan kehendak-Ku”, Aku memanggil, (hanniqra). Hanniqra tidak hanya bisa dipahami dengan memanggil, namun juga sebagai sebuah ungkapan ataupun ekspresi dengan maksud tertentu, mengumumkan, ataupun menyatakan.
Kata “Kuciptakan” (bara) pada ayat 7 ini memiliki akar kata yang sama dengan “menciptakan engkau”. Allah sebagai Pencipta, sebagai subyek. Demikian juga dengan kata “kujadikan dan kubentuk” memiliki akar kata yang sama dengan “membentuk engkau” (yasar) pada ayat 1, yang bisa juga diterjemahkan menjadi, “mengatur, membuat terjadi secara lebih estetis, ataupun mempersiapkan” dengan tujuan tertentu.
Allah sebagai pencipta, penjamin Israel. Secara keseluruhan ayat 1-7 teruntai dengan baik, yang hendak menunjukkan bahwa Israel terjamin, terlindungi dalam keadaan seperti apa pun.
POKOK-POKOK RENUNGAN
Pertama, Tuhan menjamin menyertai Bangsa Indonesia. Alinea ketiga pembukaan UUD 1945 mengatakan bahwa “atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Pengakuan ini mau menegaskan bahwa kemerdekaan bukan hanya karena perjuangan rakyat semata melainkan karena rahmat Tuhan. Tuhan Allah yang telah menebus dan memberikan kemerdekaan kepada bangsa ini. Tuhan Allah yang telah memerdekakan kita, maka Dia juga akan terus menyertai dan melindungi kita sebagai warga negara. Di tahun 2023, Tuhan bersama bangsa kita melewati berbagai bencana, baik itu bencana alam maupun non alam. Tuhan itu juga akan menyertai kita melewati berbagai tantangan dan masalah di depan kita (gambaran air dana api baca: ay. 2).
Kedua, manusia berharga. Kita telah merdeka, setiap anak bangsa memiliki hak dan nilai yang sama. Orang Indonesia bagian timur dan bagian barat sama di republik ini. Kita hanya beda kulit dan rambut. Kami rambut keriting dan kulit hitam, kamu rambut air dan kulit putih namun kita memiliki hak yang sama. Di mata Tuhan, kita semua sama berharganya. Kita semua ciptaan Tuhan. Ketika kita saling menghargai dan menghormati maka kita menghargai dan menghormati Sang Pencipta yang gambar-Nya ada dalam diri manusia. Namun ketika kita saling menghina dan meniadakan maka kita merusak gambar Allah di dalam diri manusia.
Ketiga, Tuhan telah menjadikan Anda dan saya bernilai dan berharga, maka janganlah nilai-nilai dalam diri Anda dan saya dirusak. Hidup ini mahal karena ditebus dengan darah Kristus. Juga kemerdekaan bangsa ini mahal, karena kemerdekaan diperoleh dengan pengorbanan. Jadikan hidup Anda dan saya berguna bagi bangsa dan negara, masyarakat, gereja dan keluarga. Bagaimana menjaganya? Menjaga kekudusan hidup di hadapan Tuhan. Isilah kemerdekaan dengan hal-hal yang berguna dan bermanfaat bagi masyarakat dan gereja. Belajarlah dan melayani dengan sungguh-sungguh, dst.
Keempat, ke-Tuhanan di tengah-tengah dunia modern dan tuan-tuan dalam masyarakat yang primordialisme dan paternalistik. Kita hidup di dunia modern dengan kecanggihan teknologi dan kecerdasan artifisial (AI). Robot menggantikan manusia dalam pekerjaan tertentu. Mungkin kita berpikir hal itu masih sangat jauh untuk ada di sekitar kita. Ada di negara-negara di Eropa dan Amerika. Namun tanpa kita sadari bahwa alat-alat seperti Hp android kita jadikan tuhan baru, bahkan menggeser nilai kemanusiaan.
Atau mungkin seperti yang dikatan oleh Yoval Noah Harari, tuhan di planet bumi ini bernama manusia, karena manusia bisa rekayasa biologis, rekayasa cyborgdan rekayasa benda-benda non-organik. Tetapi sekali lagi, hal itu masih jauh di sana, kami di Amanuban Timur tidak mengenal hal-hal itu, namun yang ada ialah tuhan-tuhan dalam gereja, tuhan-tuhan yang ada dalam masyarakat. Di tengah-tengah situasi dan tantangan yang demikian, apakah kita tetap menguduskan Tuhan dalam kehidupan berbangsa dan keluarga? (baca: ay. 3). ***
(Pdt. Fransiskus S. Nahak adalah Pendeta GMIT Paulus Taebone, Klasis Amanuban Timur)