KUPANG,www.sinodegmit.or.id, 25 tahun menggelar Prosesi Kemenangan Paskah di Kota Kupang, sejumlah pihak mendesak Pemuda GMIT untuk melakukan redesain skenario karena dinilai kurang inovatif dan monoton.
“Dari sisi konten skenario, nyaris tidak ada perubahan. Perubahannya malah peserta semakin berkurang dari tahun ke tahun,” ujar Ferdy Frans, salah satu penonton yang hadir pada acara pembukaan Pawai Kemenangan Paskah Pemuda GMIT, Senin, (22/4).
Komentar serupa juga disampaikan Pdt. Ishak Hendrik. Mahasiswa yang sedang menjalani studi doktor teologi di Universitas Kristen Duta Wacana-Jogjakarta ini menilai peran-peran historis cerita Alkitab masih mendominasi skenario ketimbang narasi-narasi yang bersentuhan dengan realitas sosial.
Seminggu sebelum pelaksanaan kegiatan ini dua teolog Protestan yakni Pdt. Dr. Andreas Yewangoe dan Pdt. Dr. Mery Kolimon, juga turut menyerukan agar peragaan atau dramatisasi kekerasan yang diadopsi dari kisah-kisah kesengsaraan Yesus dalam perayaan Paskah sebisa mungkin dihindari dan diberi makna yang lebih kontektual.
“Umat Kristen Indonesia makin “kreatip” saja. Penyaliban Yesus diragakan dengan cara sangat polos. Ada yang rela disalibkan, bahkan di dalam ruang kebaktian. Kemarin saya lihat di medsos, bahkan ada anak-anak tanggung juga disalibkan.
Saya kira kita perlu merenungkan secara mendalam, apakah peragaan macam itu memang dibutuhkan? Apakah “solidaritas” dengan Tuhan sungguh-sungguh dibutuhkan? Bukankah solidaritas dengan sesama jauh lebih penting? Tulis Pdt. Yewangoe melalui akun facebooknya.
Menanggapi sejumlah kritik tersebut, Ketua Pengurus Pemuda Sinode GMIT menyatakan kesediaan untuk berbenah.
“Pada prinsipnya kami terbuka terhadap kritik positif maupun pikiran-pikiran teologis dari publik. Kami siap benahi,” ujar David Natun, Ketua Pengurus Pemuda Sinode GMIT.
Bahkan, usulan agar pawai ini menampilkan atraksi budaya, menurut David hal itu tidak ada masalah.
“Menyangkut usulan agar pawai ini bernuansa etnis, sebenarnya sudah kami tampilkan setiap tahun kendati belum seluruh peserta memakai pakaian etnis dan menampilkan tarian daerah. Tapi bagi kami hal ini bisa direalisasikan mengingat GMIT sudah punya tradisi itu, melalui penetapan bulan Mei sebagai bulan bahasa dan budaya,” ungkapnya.
Belajar dari berbagai kekurangan di masa lalu, kata David, pada tahun 2020 atau diusia ke 26 nanti, pihaknya bersedia melakukan pembaharuan dan siap menerima tawaran pemerintah Kota Kupang maupun Provinsi NTT yang berencana menjadikan momentum ini sebagai salah satu event wisata rohani.
Namun, David menegaskan niat pemerintah daerah tersebut perlu disepakati bersama mana peran pemerintah dan mana yang tidak boleh.
Kegiatan ini dibuka oleh Wakil Sekretaris MS GMIT, Pdt. Marselintje Ay-Touselak dan pelepasan barisan oleh Wakil Gubernur NTT, Yosef Nae Soi.
Tahun ini jumlah peserta yang mengikuti pawai sebanyak 67 barisan, berasal dari klasis-klasis di Kupang daratan dan Kuanfatu. Peserta memulai titik star dari depan Gereja GMIT Anugerah Eltari dan finis di Jemaat GMIT Talitakumi Pasir Panjang. ***