500 TAHUN REFORMASI GEREJA
(Sebuah Catatan Perjalanan 10 Hari di Jakarta dan Eropa)
oleh: Mery Kolimon
Hampir 10 hari saya mengunjungi Eropa. Pengurus Eukumindo, yaitu European Working Group for Ecumenical Relations with Indonesia (Kelompok Kerja Eropa untuk Hubungan Oikoumenis dengan Indonesia) mengundang saya untuk menjadi salah satu keynote speakers dalam sidang raya mereka, yang berlangsung tanggal 14 – 16 September di Bretten, Jerman. Selain itu, saya juga diundang oleh Mission 21 (M21), yaitu sebuah badan misi gereja Protestan di Swiss untuk percakapan khusus terkait perhatian GMIT terhadap masalah perdagangan orang. Selanjutnya saya bertemu dengan pimpinan Kerk in Actie, yaitu lembaga misi dari gereja Belanda, Protestantsche Kerk in Nederland (PKN), di Utrecht. Kerk in Actie bermurah hati memfasilitasi penginapan selama 3 hari di Utrecht yang memungkinkan saya bertemu juga dengan sejumlah mitra dan donor yang mendukung pelayanan Kerk in Actie yang berkaitan dengan Indonesia, dan sempat berjumpa dengan beberapa sahabat di negeri kincir angin itu.
Singgah di Jakarta: Perhadapan Pengurus Perwakilan GMIT di Jakarta dan Diskusi Pendidikan
Sebenarnya dalam perjalanan ke Eropa, saya menyempatkan diri untuk hadir dan menyampaikan suara gembala pada acara serah terima Pengurus Perwakilan GMIT di Jakarta. Periode pelayanan Bapak Dr. Yusmic Foeh sebagai ketua umum (2013-2017) telah berakhir dan digantikan oleh Bapak Thontje E. P. Samadara, ST sebagai Ketua Umum dan Pdt. Dr. Besly Messakh sebagai Ketua Pelaksana Harian (2017-2021). Acara itu berlangsung 19 September 2017 di Gedung Kebaktian GPIB Nazaret Rawamangun, Jakarta.
Hadir dalam acara itu hampir seluruh pengurus yang diperhadapkan. Juga hadir Pak Farry Francis sebagai anggota MS GMIT, Sekum GPI (Pdt. Adrian Pitoy), Direktur Jenderal Bimas Kristen Protestan Kementerian Agama RI, Prof. Dr. Thomas Pentury, M.Si, serta warga GMIT diaspora di Jakarta. Kebaktian perhadapan dipimpin bersama oleh Pdt. Haak-Rede Bire dan Pnt. John Haba. Dalam sambutannya Dirjen Bimas Protestan menegaskan pentingnya kehadiran Kekristenan di Indonesia yang menyaksikan Kristus yang tersalib. Beliau mendorong gereja-gereja di Indonesia, termasuk GMIT, untuk lebih memperhatikan kualitas sekolah-sekolah milik gereja sebagai bentuk kontribusi gereja bagi bangsa, ketimbang membangun gedung-gedung gereja yang megah.
Dalam suara gembala saya menyampaikan terima kasih kepada pengurus perwakilan GMIT di Jakarta masa bakti 2014-2017 untuk pelayanan mereka. Perwakilan GMIT di Jakarta telah menjadi pilar penting dalam mendukung pelayanan GMIT, sekaligus sebagai jembatan antara GMIT dengan gereja-gereja seasas di Jakarta, khususnya dengan GPI dan GPIB. Perwakilan GMIT di Jakarta itu menjadi wujud komitmen ekumenis GMIT untuk tidak membangun GMIT di luar wilayah pelayanan GMIT, sebagaimana kesepakatan bersama di lingkup GPI.
Kami juga mengharapkan dukungan dari pengurus dan semua warga GMIT diaspora di Jakarta untuk dua hal penting dalam pelayanan GMIT, yaitu terkait isu pekerja migran dan isu pendidikan/sekolah-sekolah GMIT. Untuk itu kami mengundang partisipasi warga diaspora GMIT dalam perayaan 70 tahun GMIT dan 500 tahun Reformasi, melalui gerakan “Mama GMIT Panggil Pulang”, yaitu gerakan untuk penyelamatan sekolah-sekolah GMIT. Calvin menyebut gereja sebagai ibu. Itu sebabnya dalam acara perayan itu ada sebuah gerakan bersama untuk memberi perhatian pada pergumulan gereja sebagai ibu. Dalam konteks 70 tahun gereja kita dan 500 tahun Reformasi, kegiatan perayaan diarahkan untuk memberi dampak pada perubahan dalam gereja, terutama dalam hal perbaikan keadaan sekolah-sekolah GMIT.
Saya menyampaikan bahwa seringkali ketika kami menahbiskan gedung kebaktian yang bagus dan megah, kami mendapat informasi dari panitia bahwa gedung-gedung itu dibangun juga oleh dukungan saudara-saudara yang berada di rantau. Kami sebagai Majelis Sinode (MS) periode ini menghimbau agar sebaiknya perhatian pada pembangunan gedung gereja kita kurangi dan kita mulai lebih serius memberi perhatian pada sekolah-sekolah yang kekurangan guru, buku pelajaran, dan fasilitas lainnya.
Setelah acara perhadapan tersebut, pengurus Perwakilan GMIT di Jakarta mengajak kami melanjutkan acara itu dengan diskusi lanjutan mengenai tanggung jawab terhadap sekolah-sekolah milik GMIT. Hadir dalam acara itu sebagian peserta kebaktian sebelumnya. Juga turut bergabung Walikota Kupang, Bapak Jefri Riwu Kore, sekeluarga, dan tokoh NTT, Bapak Eston Funay yang kebetulan sedang berada di Jakarta. Diskusi berjalan seru dan semua pihak menyatakan tekad dan komitmen untuk mendukung pemulihan sekolah-sekolah GMIT.
Setelah pertemuan itu saya meneruskan perjalanan ke Jerman dengan pesawat KLM. Dari Jakarta, saya terbang ke Frankfurt, melalui Kuala Lumpur dan Belanda. Di Jerman, saya dijemput oleh ibu Pdt. Junita Lasut, seorang pendeta asal Donggala, Sulawesi Tengah, yang melayani sebagai Tenaga Utusan Gereja, di Kota Frankfurt Jerman. Sebelum meneruskan perjalanan ke Bretten, tempat sidang nanti, saya boleh bermalam di rumah pastori mereka, yang terletak di kompleks fasilitas gereja, di tengah Kota Frankfurt. Kesempatan itu tidak saya sia-siakan. Dengan berjalan kaki, kami, saya dan suami Pdt. Yunita, Pak Gofer Rondonuwu, mengelilingi pusat kota Frankfurt yang cantik. Kami mampir di tepi sungai Rhein yang indah. Sungai itu merupakan sungai terbesar dan terpanjang di seluruh Eropa, berhulu di pegunungan Alpen di Swiss dan bermuara di Rotterdam, Belanda.
Sidang Raya Eukumindo
Eukumindo bukanlah sebuah organisasi yang besar, namun jelas mereka memiliki sumber daya dan sumbangan yang besar bagi gereja-gereja di Indonesia. Para anggota Eukumindo meliputi antara lain Mission 21, yaitu badan misi Gereja Swiss di Basel; Vereente Evangelische Mission/United Evangelical Mission (VEM/UEM) dari Jerman; Evangelis Mission in Solidarity (EMS) dari Jerman; dan Presbiterian Church of Ireland (PCI) dari Irlandia. Selain itu masih ada sejumlah badan misi yang bergabung dalam Eukumindo. Sebelumnya Kerk in Actie dari Belanda juga menjadi anggota Eukumindo namun belakangan mengundurkan diri. Eukumindo pernah membantu GMIT (dan gereja-gereja lain di Indonesia), dengan memberikan sekitar 500 juta rupiah untuk setoran dana pensiun guru-guru Yupenkris pada Lembaga Dana Pensiun PGI.
Tamu tetap yang mengikuti kegiatan sidang raya Eukumindo setiap tahun adalah pengurus PGI. Tahun ini yang hadir dalam SR Eukumindo dari PGI adalah Sekretaris Umum, Pdt. Gomar dan Wakil Bendahara, Pak Arie Moningka. Selain pengurus PGI, juga hadir Sekretaris Umum GKY, Pdt. Bambang Suharjo. Dalam Sidang Raya itu Pdt. Gomar memperesentasikan bahan tentang kondisi terkini Indonesia dan pelayanan PGI. Beliau menunjukkan kerentanan situasi politik Indonesia sekarang, oleh karena resistensi terhadap upaya good governance yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dan mantan gubernur DKI, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Menurut beliau, kelompok pebisnis kotor dan para politisi korup yang dirugikan oleh kebijakan-kebijakan pro-rakyat Jokowi memperalat isu agama dan komunis dan menggerakkan kelompok-kelompok radikalis untuk menyerang Jokowi.
Perempuan dan Reformasi Gereja
Sebuah tradisi tetap di Eukumindo adalah bahwa di setiap Sidang Raya mereka, ada agenda study day. Satu dari agenda 3 hari sidang adalah studi bersama dengan menampilkan narasumber yang mereka sebut keynote speakers. Tahun ini mereka meminta saya dan Dr. Gisela Giselbrecht dari University of Zürich. Pokok yang dibicarakan Dr. Giselbrecht adalah tentang Perempuan dan Gereja Reformasi di Eropa. Tema yang diminta kepada saya untuk dibicarakan dalam study day mereka adalah mengenai Perempuan dan Gereja Reformasi di Indonesia.
Perempuan dan Reformasi di Eropa
Ibu Giselbrecht memang menjadikan perempuan dan reformasi sebagai salah satu pokok studinya. Tahun 2016 dia menulis buku Do Not Stop to Sing – Women Witnesses of The Reformation in Switzerland. Bukunya yang terakhir adalah Reformation is Female (2017). Presentasinya sendiri didasarkan pada artikelnya yang dia tulis untuk buku yang diedit oleh Irvin (ed.) 2017: The Protestant Reformation and World Christianity: Women from Then to Now – A Commitment to Mutuality and Literacy.
Dalam presentasinya Dr. Giselbracht menegaskan bahwa sebenarnya kita harus berbicara tentang reformasi-reformasi. Sebab yang terjadi selama 500 tahun ini bukan hanya sebuah reformasi tetapi banyak reformasi di dalam gereja. Baginya reformasi juga sangat berkaitan erat dengan pendidikan dan pembentukan spiritual.
Terkait perempuan dan reformasi gereja, Giselbracht melihat bahwa ajaran Reformasi tentang imamat am orang percaya telah membuka ruang bagi partisipasi perempuan dalam gereja dan kepemimpinan gereja Protestan. Khususnya dalam konteks abad 16-17, para perempuan dalam gereja Anabaptis, seperti Margaret Hottinger, memainkan peran yang besar. Margaret Hottinger membaptis, mengajar, menjadi pemimpin jemaat. Meskipun kemudian dia ditangkap dan dipenjarakan sebab dipandang sebagai pengajar sesat.
Tantangan bagi perempuan dan reformasi gereja hari ini adalah mengenai pembentukan spiritual. Perempuan dalam gereja Protestan mestinya tidak berfokus untuk mencari kekuasaan, melainkan untuk menyatu dengan bumi, demi pembentukan spiritual.
Perempuan dan Reformasi di Indonesia
Dalam presentasi saya mengemukan bahwa ada dua hal utama dari Reformasi yang memberi dampak kepada perempuan dalam gereja Protestan di Indonesia, yaitu ajaran mengenai imamat am orang percaya dan sola scriptura.
Ajaran imamat am orang percaya memungkinkan kesetaraan dalam gereja. Perempuan menjadi pribadi otonom oleh pengakuan imannya. Mereka bukan sekedar pengikut ayah/suami dalam gereja tetapi menjadi subyek aktif dalam kehidupan bergereja. Perempuan bahkan mendapat akses bagi kepemimpinan dalam gereja. Di GMIT, perempuan pertama yang menjadi pendeta telah ditahbis pada tahun 1953.
Ajaran mengenai sola scriptura juga telah membuka akses kepada pendidikan bagi perempuan. Untuk dapat membaca Alkitab, tentu perempuan harus belajar membaca. Program literacy bagi perempuan ini telah membuka pintu bagi pendidikan dan pengembangan diri perempuan, termasuk dalam pendidikan teologi dan kepemimpinan dan gereja.
Perempuan dalam Gereja Protestan di Indonesia hari ini mesti mengklaim spirit reformasi yang telah mengemansipasi dan memberdayakan perempuan. Perempuan perlu terus menjadi daya yang membebaskan dan mentransformasi dalam gereja dan masyarakat, serta berada di garis depan untuk membela kehidupan demi perdamaian, keadilan, dan keutuhan ciptaan.
Saya juga berbagi cerita mengenai Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia (Peruati), yaitu sebuah organisasi teolog feminis di Indonesia. Organisasi ini lahir dari keprihatian bersama PGI dan Persetia di tahun 1970-1980-an mengenai terbatasnya ruang bagi partisipasi perempuan dalam gereja, masyarakat, dan lembaga pendidikan teologi. Oleh dukungan PGI dan Persetia maka pada tahun 1995 Peruati berdiri di Indonesia. Hari ini Peruati mengidentifikasikan dirinya baik sebagai wadah maupun sekaligus gerakan perempuan berpendidikan teologi di Indonesia untuk pembebasan dan transformasi. Upaya-upaya pembebasan dan transformasi itu dilakukan melalui seminar, lokakarya, pelatihan, dan penerbitan buku-buku dan material pelatihan lainnya.
Untuk presentasi itu saya mendapatkan honor berupa sejumlah uang Euro dan sebotol anggur dari Kota Bretten, dengan cap Philip Melanchton. Senang sekali nanti bisa minum anggur dari kota kelahiran Philip Melanchton di Tanah Timor. Kami juga mendapat bir dengan botol bergambar Martin Luther. Perayaan 500 tahun Reformasi memang dirayakan dengan berbagai cara di Jerman. Seakan-akan seluruh udara yang kita hirup beraroma reformasi.
Kota Kelahiran Philip Melanchton
Di Eukumindo ada tradisi untuk menyelenggarakan sidang raya setiap tahun, dan yang menjadi tuan dan nyonya rumah adalah masing-masing anggota secara bergiliran. Kali ini yang menjadi tuan dan nyonya rumah adalah EMS, Jerman.
Kota Bretten dipilih oleh EMS menjadi tempat sidang sebab di kota itu salah satu tokoh Reformasi yang penting lahir dan dibesarkan. Sebagai bagian dari kegiatan sidang, kami diajak untuk mengunjungi Museum Melanchton, atau yang disebut Melanchton Huis (Rumah Melanchton). Di sana kami mendapat penjelasan dari seorang guide, Albert de Lange yang sangat memahami sejarah Melanchton.
Philip Melanchton (1497-1560) sebenarnya adalah teolog penting dalam Gerakan Reformasi. Dia berteman baik dengan Martin Luther dan menjadi salah satu tokoh penting dengan pemikiran yang kuat. Dia adalah penulis Konfesi Augsburg yang merupakan pokok-pokok pengakuan iman Gereja Lutheran. Dia juga menulis Loci Communes, yaitu dokumen sistematis pertama mengenai teologi baru yang dikembangkan oleh Luther.
Salah pokok pikiran yang selalu ditekankan Melanchton adalah mengenai komunikasi. Menurut Melanchton, kita dilahirkan untuk berkomunikasi. Namun tidak semua pembicaraan adalah komunikasi. Talking is different than speaking: berbicara berbeda dengan bercakap. Dengan bercakap anda menggali pemahaman anda sendiri, dan membuat pemahaman itu menjadi lebih jelas. Untuk itu sekolah menjadi sangat penting. Sekolah menjadi tempat di mana orang belajar dan berlatih berkomunikasi secara efektif.
Pada hari yang sama kami juga mengunjungi Museum Waldensian di Kota Wüttemberg, yang jaraknya sekitar 30 menit perjalanan mobil dari Kota Bretten. Oleh guide yang sama, kami dijelaskan mengenai siapa Kaum Waldensian. Komunitas Waldensian dimulai pada tahun 1173. Pada waktu itu Peter Waldo mendirikan gerakan ini di Lyon, Perancis. Dia menjual hartanya dan mengajak orang Kristen untuk melayani Allah dengan sungguh-sungguh. Gerakan Waldensian dicirikan bermula dari pewartaan awam, hidup dalam kemiskinan secara sukarela, dan ketaatan ketat pada Alkitab.
Ajaran Waldensian kemudian dipandang sesat oleh gereja Katolik. Ketika Reformasi muncul pada abad ke-16, Kaum Waldensian bergabung dengan Gereja Protestan. Mereka terutama setuju dengan ajaran Reformasi mengenai imamat am orang percaya. Kelompok ini memberikan hak kepada perempuan untuk berkhotbah dan mengajar di muka umum.
Kaum Waldensian yang ada di Jerman datang dari Itali. Ketika mereka mengalami penindasan di Itali, yang merupakan negara dengan mayoritas pendudukan Katolik, mereka berimigrasi ke Jerman pada abad ke-17. Mereka adalah petani yang lebih maju dari kebanyakan petani Jerman waktu itu. Ada cerita bahwa merekalah yang memperkenalkan kentang kepada rakyat Jerman. Hingga hari ini Kaum Waldensian mengembangkan produksi sutera, termasuk dengan bertanam pohon murbei. Dari generasi ke generasi mereka berusaha mempertahankan identitas mereka sebagai orang Waldensian di dalam gereja Protestan dan masyarakat Jerman.
Tanggal 17 pagi kami mempersiapkan diri meninggalkan Jerman. Saya ingat hidangan makan di restoran Jerman selalu merupakan porsi besar. Saya hampir tak pernah menghabiskan sajian yang enak-enak di piring saya itu. Saya juga sedih akan berpisah dengan kakak sekaligus sahabat saya, Pdt. Elsy McCroskery-Niap, yang hadir dalam acara itu sebagai wakil dari Gereja Presbiterian Irlandia. Kami berdoa bersama, menangis mengingat jalan-jalan yang kami lalui bersama dalam pimpinan Tuhan, dan menyerahkan masa depan perjuangan dan pelayanan kami ke dalam tanganNya, Sang Pemilik Hidup dan Pelayanan. Saya meneruskan perjalanan ke Basel, Ibu Elsy pulang ke Belfast, di mana suami dan kedua puteri mereka menunggunya.
Semalam di Bassel, Swiss
Setelah selesai sidang raya di Jerman, Minggu pagi 17 September 2017, kami, rombongan Indonesia naik kereta api menuju Basel, Swiss. Pak Gomar, Pak Arie, dan saya dijadwalkan untuk bertemu sejumlah kawan di Basel, sedangkan Pak Bambang (GKY) langsung pulang ke Indonesia. Karena sejumlah rel kereta api di Jerman sedang diperbaiki, di titik tertentu kami harus turun dari kereta api, naik bis, dan kemudian naik kereta api lagi. Cukup ribet karena kofer-kofer besar kami harus naik turun bis dan kereta api. Namun semuanya itu terbayarkan dengan pemandangan sepanjang jalan yang asri. Beruntung pula kami ditemani Pak Christian Wagner, dari Mission 21, yang setia mengangkat koper saya yang paling besar (ha ha ha, maaf Pak Christian!!) Setiba di Basel, kami langsung menuju Kompeks Basel Mission, di mana ada Kantor M21. Di gedung besar dengan beberapa lantai di kompleks itu ada sejumlah kamar hotel yang sangat nyaman. Kami boleh menginap di sana atas biaya M21. Lantai-lantai lain dari gedung itu dipakai sebagai kantor.
Setelah menyimpan barang bawaan di kamar masing-masing, kami langsung menuju ke rumah Ibu Marie Claire-Barth. Beliau adalah seorang teolog perempuan yang dikenal baik di Indonesia. Dia mula-mula datang ke Indonesia sebagai pendeta yang melayani di GMKI. Beliau kemudian bertemu dengan Kristoph Barth di Jakarta dan menikah di Indonesia. Berkat buku-bukunya di bidang Perjanjian Lama, ibu Barth dikenal baik di Indonesia. Menantu Karl Barth ini juga banyak mendukung studi lanjut teologi dari banyak perempuan di Indonesia. Pdt. Elsy Niap dan saya termasuk yang beliau dukung dengan biaya kursus bahasa Inggris di Salatiga sebelum kami berangkat studi ke luar negeri. Dia membayar baik biaya kursus kami maupun biaya hidup selama kursus di Salatiga itu. Dia hidup sangat sederhana di Kota Basel, namun jasanya telah membesarkan banyak perempuan agar dapat berkarya bagi gereja dan masayarakat dalam konteksnya masing-masing.
Begitu kami tiba, Ibu Barth yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-90 sudah selesai memasak untuk kami. Kelelahan memikul koper yang besar naik turun bis dan kereta api terbayar oleh sayur lodeh dan ikan salmon berbumbu khas Indonesia yang disajikan Ibu Barth dan Thom, puteranya. Selesai makan, Ibu Barth menunjukkan kepada kami alat yang membantunya untuk bisa terus membaca dan menulis. Akibat kerusakan matanya, ibu Barth sekarang hanya memiliki sekitar 40% kemampuan membaca. Namun itu tak membuat dia terus belajar, melalui membaca dan menulis. Luar biasa.
Setelah makan siang dengan Ibu Barth, kami dijemput oleh Ibu Lucy Theuer-Saudale dan suaminya. Ibu muda yang ayahnya berasal dari Pulau Rote ini adalah salah satu staf di M21. Kami diajak berkeliling ke bukit-bukit yang mengelilingi Kota Basel. Kota Basel sendiri terletak di segitiga Swiss, Jerman, dan Perancis. Jadi dengan berkeliling sekitar 1 jam dengan mobil kita sudah bisa berada di 3 negara. Kami mengunjungi kebun-kebun anggur yang sangat indah di atas Kota Basel, dan menikmati anggur baru di rumah keluarga Theuer-Saudale. Sangat nikmat, masih sangat manis, dan tidak beralkohol. Malam itu kami menikmati makan malam bersama di Restoran makanan Jepang yang bumbunya dekat dengan makanan rumah di Indonesia. Hari yang sungguh indah!
Besoknya kami mengikuti agenda setengah hari yang padat di Basel. Kawan-kawan Mission 21 ingin tahu tentang apa saja yang telah GMIT lakukan untuk isu perdagangan orang. Meskipun menurut aturan badan misi itu, mereka tidak dapat mendukung program-program GMIT secara langsung sebab GMIT bukan mitra tradisional mereka, namun mereka berkomitmen mendukung PGI untuk pelayanan terkait isu buruh migran. Untuk itu tahun ini M21 mendukung PGI untuk bersama GMIT memulai shelter bagi para korban dan penyintas buruh migran. Saya senang juga mendengar dari Pdt. Ina Bara Pa di Kupang, bahwa dana dari PGI (yang asalnya dari M21) itu telah dipakai untuk mengangsur biaya sewa sebuah rumah bagi pelayanan ini. Tantangan selanjutnya adalah terkait mempersiapkan para pelayan shelter. Isu capacity building menjadi topic percakapan kami di M21. Mereka juga mengajak saya berdiskusi mengenai Peruati dan dinamikanya. Saya mengatakan Peruati merupakan sebuah organisasi feminis-progresif penting di Indonesia yang perlu didukung. Pelatihan, seminar, lokakarya, dan penerbitan-penerbitan oleh Peruati menjadi ruang dan gerakan perempuan berpendidikan teologi di Indonesia yang penting untuk wacana alternatif di Indonesia. Setelah rapat itu, saya diminta untuk memberikan sejumlah video statement yang akan dipakai untuk pelayanan M21 di Swiss.
Bertemu Kawan-Kawan Kerk In Actie
Sore itu kami langsung menuju bandara Basel untuk terbang ke Amsterdam. Di Bandara Schiphol Belanda kami dijemput oleh Ibu Corrie Van der Ven dari Kerk in Actie. Dari Schiphol kami naik kereta api ke Utrecht dan selanjutnya dengan taxi ke hotel. Tempat kami menginap, Ibis Hotel, hanya berjarak 5 menit jalan kaki dari kantor PKN.
Besok paginya, Senin 19 September saya telah memiliki janji untuk rapat dengan Prof. Leo Kofemann di kantor PKN. Profesor emeritus di bidang Tata Gereja pada Protestant Theological University (PThU) Belanda itu berencana akan menjadi pengajar tamu di Fakultas Teologi UKAW Kupang pada Bulan Oktober nanti, dan kami bertemu untuk berbicara mengenai konteks Kupang agar dia dapat menyediakan bahan ajarnya sesuai kebutuhan. Pagi hari sebelum pertemuan itu saya menyewa sepeda di hotel seharga 10 euro sehari dan bersepeda mengelilingi pinggiran kota Urecht yang indah, dengan sungai-sungai kecil dan rumah-rumah yang tertata rapi. Eropa sedang memasuki musim gugur. Pohon-pohon sedang menguning dan memerah daunnya, sangat memukau. Sore harinya setelah rapat dengan Prof. Kofemann dan Ibu Corrie van der Ven, saya mengunjungi sahabat saya dan keluarganya di Kota Zwolle. Saya mengajak seorang alumni Fakultas Teologi UKAW, Yuliana Benu, yang sedang menjalani program Bidging Gap di Free University Amsterdam untuk bersama saya ke sana. Sehabis makan kami kembali ke Utrecht.
Keesokan harinya menjadi hari yang padat. Kerk in Actie meminta saya bertemu dengan 2 sponsor mereka yang tertarik untuk mendukung program PGI dan GMIT terkait buruh migran. Rupanya selain memanfaatkan kolekte dari jemaat-jemaat (yang makin sedikit karena semakin kurangnya orang yang pergi ke gereja sekarang di Eropa), badan-badan misi juga mendapatkan dukungan dari yayasan-yayasan dan pengusaha-penguasaha yang memberikan sumbangan mereka. Saya bertemu dengan seorang pengusaha mineral yang mempertimbangkan untuk menyumbang bagi shelter di Timor dan di Sumba, dan seorang direktur yayasan yang selama ini mendukung program-program JPIT di Indonesia Timur. Saya terkesan bahwa meskipun mereka sangat kaya, gaya mereka sangat sederhana.
Pagi terakhir di Belanda saya isi dengan mencari ole-ole di Kota Utrecht dan bertemu dengan sejumlah kawan yang menitip ole-ole untuk anak-anak saya. Saya juga senang sempat berjumpa dengan Ibu Reenders, yang dulu bersama suami dan anak-anaknya menjadi penghuni pertama kompleks UKAW. Sebagai utusan gereja Belanda waktu itu, Pak Hommo Reenders termasuk dosen pertama di AThK. Saya cukup menyesal sebab tidak sempat bertemu dengan Ibu Cornelia Middelkoop, padahal kami sudah berjanji sebelumnya. Beliau mengalami gangguan denyut jantung sehingga harus diopname dan dipasang pace maker. Syukur keadaannya membaik dan sebelum pulang kami sempat saling menelpon lewat WhatsApp.
Sebelum harus berlari ke bandara, pertemuan terakhir saya adalah dengan Ibu Rommie Nauta, pimpinan Kerk in Actie, Belanda. Kami berbicara banyak hal, terutama tentang komitmen mereka untuk mendukung pelayanan terkait isu perdagangan orang di Timor. Dengan dukungan para sponsor, Kerk in Actie berharap dapat melakukan dukungan sepenuhnya melalui PGI untuk memastikan GMIT bisa memberikan pelayanan yang berdampak terkait isu perdagangan orang ini.
Kini saya dalam penerbangan pulang. Seorang kawan pernah menulis: “Seberapa jauhpun aku pergi, Timor adalah rumahku”. Dan pulang ke rumah, pulang ke Timor, adalah kebahagiaan terbesar dalam hidup. Pulang ke tempat orang-orang yang kita kasihi, yang membuka tangannya lebar-lebar memeluk kita, tempat kita melepas lelah, lahir dan batin, untuk berjalan lagi, dan berjalan lagi sepanjang ziarah hidup, memberi diri terlibat dalam karya keselamatan Allah di pentas dunia yang Ia kasihi.