DISKUSI PUBLIK PASCA KEPUTUSAN PENGADILAN RAKYAT DI BELANDA TERKAIT TRAGEDI ’65 dan PERAN GEREJA

Kupang, www.sinodegmit.or.id Masih ingat peristiwa yang menghebohkan publik Indonesia pada pertengahan November 2015? Waktu itu media-media nasional gencar memberitakan tentang sebuah pengadilan internasional terkait pembataian massal yang  terjadi pada tahun 1965 atau umum disebut G30S/PKI. Sejumlah tokoh politik dibuat berang dengan sejumlah aktivis yang membentuk diri dalam sebuah lembaga bernama IPT ’65 (International People Tribunal 1965) yang menggelar pengadilan rakyat terkait peristiwa ’65 di Den Haag, Belanda.

International People’s Tribunal sendiri adalah bentuk pengadilan yang digelar oleh kelompok-kelompok masyarakat dan bersifat internasional untuk membahas kasus-kasus pelanggaran HAM berat, genosida dan dampaknya. Mekanisme ini berada di luar negara dan lembaga formal seperti PBB. Kekuatannya berasal dari suara para korban serta masyarakat sipil nasional dan internasional.

IPT’65 memilih Peristiwa 1965-1966 dan dampaknya karena kejadian pembantaian massal tersebut dan seluruh rangkaian dampaknya merupakan bencana kemanusiaan terbesar dalam sejarah Indonesia yang selama ini diabaikan oleh pengadilan negara hingga membawa dampak besar bagi generasi mendatang bangsa Indonesia.

Terkait peristiwa bulan November itu, JPIT (Jaringan Perempuan Indonesia Timur) yang berbasis di Kupang mengirim dua orang saksi untuk mengikuti proses pengadilan berskala Internasional tersebut. Mereka adalah Pdt. Paoina Ngefak-Bara Pa (pendeta GMIT) sebagai salah satu saksi ahli (peneliti tragedi ‘65 di NTT) dan oma Migelina Markus sebagai salah satu saksi korban yang selamat dari peristiwa pembantaian tersebut.

Pada Senin, 17/04-2017 yang lalu di tengah suasana perayaan Paskah, digelar sebuah diskusi publik untuk mendengar laporan dari panitia IPT ’65, bertempat di Biara OCD Karmel, Penfui-Kupang. Diskusi dipandu oleh Matheos Messakh, seorang aktivis, jurnalis, peneliti dan sejarawan NTT. Ada juga Liliya Wetangterah, M.Th, Direktris sekaligus peneliti JPIT.  Hadir dalam diskusi ini, panitia IPT’ 65 yakni Sri Lestari Wahyuningroem dan Harry Wibowo serta utusan JPIT ke Den Haag, Pdt. Paoina Ngefak-Bara Pa dan oma Migelina Markus. Diskusi ini juga mengundang para narasumber (penyintas/korban) ’65 yang rata-rata sudah uzur, LSM, mahasiswa, akademisi dan media.

Sri Lestari Wahyuningroem yang akrab di sapa Mbak Ayu menjelaskan mengapa tragedi ’65 dibawa ke pengadilan rakyat internasional. Hal itu dilakukan oleh karena  menurutnya, laporan Komnas HAM terkait peristiwa itu tidak ada tanda-tanda ditindaklanjuti oleh pemerintah Indonesia melalui Kejaksaan Agung untuk di proses di pengadilan. Kerena itu IPT ’65 menempuh bentuk advokasi yang lebih luas baik secara nasional maupun internasional. Meski diakui bahwa pengadilan ini tidak mengikat pemerintah yang bersangkutan, namun pengadilan ini bisa menjadi kekuatan untuk menekan pemerintah.

Terdapat 9 dakwaan yang menjadi tuntutan jaksa yang diketuai Todung Mulia Lubis yakni: Pembunuhan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, perbudakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, penahanan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, penyiksaan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, kekerasan seksual sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, penindasan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, penculikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, penindasan lewat propaganda kebencian, dan keterlibatan negara-negara lain dalam pelaksanaan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Hal yang cukup mengejutkan dalam pengadilan tersebut kata Sri Lestari Wahyuningroem, ke-9 dakwaan jaksa diterima oleh hakim pengadilan, bahkan muncul  dakwaan baru  yakni terdapat bukti-bukti genosida di beberapa daerah Aceh, Sumatra Utara dan NTB. Pengadilan merekomendasikan untuk diadakan riset lanjutan tentang genosida di daerah-daerah lain di Indonesia.

Pdt. Paoina Ngefak-Bara Pa saat dimintai komentar terkait kehadirannya sebagai saksi ahli untuk wilayah NTT mengatakan 3 hari mengikuti proses pengadilan rakyat di Den Haag-Belanda, merupakan peristiwa yang sungguh-sungguh menggugahnya. “Mendengar kesaksian-kesaksian dari para korban dari berbagai wilayah di Indonesia tentang pembantaian yang terjadi ditahun-tahun tersebut sungguh memilukan. Sebagai saksi ahli dari NTT, kami diberi waktu sekitar 20 menit untuk bersaksi tentang apa yang terjadi. Saya bersaksi secara singkat dari riset yang kami sudah kami bukukan dalam buku “Memori-Memori Terlarang,” ujarnya.

Ia berharap pengakuan dunia internasional terkait tragedi ’65  di Indonesia menjadi kekuatan bagi Gereja terutama GMIT untuk berani membuka kebenaran ini dan melakukan rekonsiliasi bersama para korban.

Dalam diskusi ini setidaknya terdapat 3 hal yang menjadi Pekerjaan Rumah (PR) bersama yakni: Pertama, mengajak pemerintah, gereja dan masyarakat untuk melakukan  nisanisasi di lokasi-lokasi kuburan massal. Setidaknya, dengan melakukan hal ini, keluarga korban mengetahui keberadaan keluarga mereka yang dibunuh untuk bisa melakukan ziarah. Kedua, bila pengungkapan kebenaran peristiwa ’65 melalui jalur kurikulum pendidikan formal di sekolah-sekolah menemui jalan buntu, maka gereja, melalui kurikulum Pendidikan Anggota Gereja (PAG) dapat melakukannya . Dan ketiga, Pengumpulan dokumen-dokumen resmi yang mungkin masih tersebar di berbagai tempat di wilayah NTT.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *