Kolana-Alor, www.sinodegmit.or.id, Konon, sebelum Wright bersaudara menciptakan pesawat terbang, orang Alor sudah bisa terbang. Mereka terbang layaknya burung. Saya bahkan dengar ada juga pendeta yang punya ilmu terbang itu. Karena keahlian itulah, hingga hari ini orang Alor dijuluki sebagai manusia terbang.
Saya sangat beruntung diundang oleh Unit Bahasa dan Budaya (UBB) GMIT, mengunjungi salah satu kampung “manusia terbang” ini dalam rangka peluncuran Injil Markus dalam bahasa Wersing, bahasa penduduk kampung Kolana.
Kolana terletak di ujung Timur pulau Alor. Dulu, Kolana merupakan salah satu kerajaan di Alor. Untuk mencapai kampung ini, kami menempuh perjalanan sejauh 111 kilometer. Atau sekitar 3,5 jam perjalanan dengan mobil dari ibukota kabupaten Alor, Kalabahi. Satu abad yang lalu tepatnya tahun 1911, misionaris William Back membaptis banyak orang Alor menjadi Kristen. Lalu tahun 1919, datanglah N. Binkhuijzen bekerja di wilayah ini dan menyebut kampung Kolana dalam kisah-kisah yang ditulisnya di majalah zending bernama Timor Bode yang terbit di Belanda.
Dalam sebuah kisah tentang pentahbisan gedung gereja dan sekolah pertama di Pureman tahun 1919 – kampung yang sekecamatan dengan Kolana – Binkhuijzen meminta beberapa warga untuk membeli aneka keperluan di Kalabahi dan ia bertanya kepada warga, berapa waktu yang dibutuhkan untuk mereka pergi pulang? Dan warga menjawab, sedikitnya butuh 8 hari jalan kaki atau berkuda. Karena letak Kolana di ujung Timur, saya memperkirakan sekurang-kurangnya butuh 10 hari.
Kondisi geografis pulau Alor hampir seluruhnya berbukit-bukit. Di beberapa tempat saya lihat bukit-bukit dibelah agar bisa ada jalan tembus. Beruntung ruas jalan menuju Kolana sudah beraspal hotmix sehingga empat mobil yang mengantar kami meluncur dengan mulus.
Dengan kontur wilayah perbukitan tersebut, di seantero pulau Alor hanya sedikit tersedia dataran di pinggiran pantai yang dijadikan permukiman penduduk. Ada juga dataran di wilayah seperti Mainang dan Padang Panjang tapi tidak cukup luas. Saya memperkirakan rata-rata lebar dataran hanya 500 meter dari garis pantai dan setelah itu berdiri kokoh perbukitan yang berbaris menjulang. Itulah sebabnya orang Alor terkenal dengan kalimat khas yang selalu diucapkan, “Yoolah, kita turun baru kita naik”. Mengapa? Karena setiap kali keluar dari rumah, hanya ada dua pilihan: menurun atau mendaki.
Sabtu siang, 9/12-2017, kami berangkat dari Kalabahi menuju Kolana. Sepanjang perjalanan kami menikmati pemandangan pantai yang bersih dan indah. Dari dalam mobil kami bisa lihat tembus aneka warna bebatuan yang berkilauan di bawah air laut sepanjang pesisir pantai. Hal yang saya tidak pernah temukan di pantai-pantai di Kupang. Saya sungguh terpesona memandang panorama Pulau Alor. Puncak-puncak bukitnya seolah bersatu dengan langit.
Ketika berbelok arah dari pesisir pantai Maukari menuju Kolana, hati saya dag dig dug. Stir mobil yang sejak berangkat hanya bergerak dari 0 hingga 45 derajat berubah zig-zag ke 90 derajat bagai menari lego-lego mengikuti ruas jalanan yang berkelok-kelok. Kami melintasi hutan belukar pegunungan terjal yang menegangkan sekaligus menyenangkan karena semakin tinggi menuju puncak, pemandangan di bawahnya semakin memukau. Saking terpesonanya, saya berdiri dan mengeluarkan kepala melalui jendela mobil, memotret panorama alam yang tak bisa saya abaikan begitu saja.
Saat kami hampir mencapai puncak perbukitan Asirpat yang jalannya berliku-liku seperti ular raksasa, mobil yang saya tumpangi bersama Pdt. Emile Hauteas mengalami ban pecah dan selang radiator bocor. Kami terpaksa berhenti sekitar 1 jam. Sambil menunggu perbaikan, tak disangka kami bertemu Vicaris Elia Foekh yang dalam perjalanan menuju tempat tugasnya di Lantoka. Kata Elfo, sapaan akrabnya, untuk mendaki bukit itu jauhnya 11 kilometer, padahal menurut Pak Mike Brooks, salah satu kru dari UBB GMIT yang juga mantan pilot Angkatan Udara Amerika Serikat, posisi kami sekitar 400 meter di atas permukaan laut. Saya geleng-geleng kepala. Bayangkan, untuk mendaki bukit setinggi 400 meter ditempuh dengan jalan berliku sepanjang 11 kilometer.
Karena dikejar waktu kami pindah mobil. Sementara mobil naas itu terpaksa putar haluan kembali ke Kalabahi. Sepanjang perjalanan sisanya kami naik turun perbukitan. Bau karet kampas rem mobil menusuk hidung lantaran gesekan pengereman selama berkilo-kilo meter.
Memasuki desa Padang Panjang yang masih dalam wilayah kecamatan Alor Timur, hati saya trenyuh. Barisan bukit-bukit indah ini kondisinya memprihatinkan lantaran pembukaan ladang dan kebun oleh penduduk di punggung-punggung perbukitan itu. Bahkan di satu atau dua tempat terlihat jelas penggundulan hutan untuk berkebun justru terjadi tepat di bukit di belakang gedung gereja.
Pemandangan demikian juga saya alami di pedalaman pulau Timor. Akhir bulan November lalu, bersama Ketua Majelis Sinode GMIT, Pdt. Dr. Mery Kolimon, dalam perjalanan dari Kupang menuju Klasis Amanatun Timur kabupaten Timor Tengah Selatan, kami mendapati kondisi yang sama parahnya. Budaya tebas bakar membuat wajah alam menjadi penuh luka bopeng di sana sini. Sungguh memprihatinkan.
Rupanya pulau-pulau di seluruh wilayah pelayanan Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) sudah dan sedang mengalami krisis ekologis yang serius dalam rentang waktu yang lama. Mungkin sampai Kristus datang kedua kali pun situasi ini belum banyak berubah kalau terus dibiarkan.
Saya tersadar ketika mobil kami berhenti. Terdengar bunyi ombak memecah di bibir pantai yang hanya berjarak belasan meter. Di depan kami berdiri gapura bertuliskan, “SELAMAT DATANG DI KAMPUNG KOLANA”. Baju kaos oblong yang saya kenakan basah. Saya melirik ke termometer mobil. 38ºC. Pukul 16:28.
Tiba di depan pintu halaman Gereja Pniel Kolana, suasana tampak ramai. Ratusan jemaat sudah berkumpul. Umbul-umbul terpasang memenuhi seluruh lingkungan gedung gereja yang cukup luas. Di sisi kanan berdiri gedung SD GMIT 50 Kolana. Gereja dan sekolah yang berdiri berdampingan ini bukan sebuah kebetulan, melainkan memberi kesaksian bahwa pendidikan dan pemberitaan tentang Injil Yesus Kristus berjalan berdampingan dalam sejarah tumbuh kembangnya kekristenan di kampung ini seabad yang lalu.
Murid-murid sekolah dasar berbusana adat menyambut kami dengan musik gong dan tarian menuju tenda yang tersedia. Satu per satu rombongan dikalungi selendang adat sebagai simbol persaudaraan. Kami juga disuguhi sirih pinang. Saya lihat Pak John Muller utusan dari Seed Company, sebuah lembaga penerjemaahan Alkitab yang berpusat di Amerika Serikat tak henti-henti meludah akibat efek sepat dari sirih pinang yang seumur hidupnya baru pertama kali nongkrong di dalam mulutnya.
Penatua Elisa Sirituka (70) didaulat menyampaikan ucapan selamat bagi kami. Saya sempat dengar bisik-bisik orang tua-tua bahwa pendeta yang bertugas di jemaat ini sudah dimutasikan 5 bulan lalu dan belum ada penggantinya. Tahu bahwa saya dan Pdt. Emil berasal dari kantor sinode, mereka mengeluhkan kondisi ini pada kami. “Kami kira ibu ketua sinode datang. Kami mau kasitahu bahwa kami sangat kesulitan dalam pelayanan karena tidak ada pendeta. Kalau ada pelayanan yang butuh pendeta kami harus pinjam pendeta dari jemaat lain padahal kami ini jemaat tunggal,” ujar opa Sirituka.
Pembawa acara memberi kesempatan bagi kami rombongan dari Kupang untuk menyampaikan sekapur sirih. Om Ben Grimes, koordinator pelayanan di UBB, yang sangat fasih bahasa Kupang meski ia berasal dari Australia, mewakili kami semua menyampaikan terima kasih dan apresiasi yang tinggi atas penerimaan jemaat dan semua jerih lelah tim penerjemah sehingga bahasa Wersing yang sejak dulu merupakan bahasa lisan akhirnya menjadi bahasa tulis, bahasa Alkitab.
“Saya kira ini tempat yang cocok untuk kita mulai proses untuk terima Injil Markus dalam bahasa Wersing. Di sini kita lihat Tuhan Yesus sudah jadi orang Wersing. Hari ini karena pekerjaan tim penerjemaah dan semua yang mendukung, bukan hanya Tuhan Yesus jadi orang Wersing tapi Ia juga berbicara pakai bahasa Wersing. Tuhan Yesus sudah masuk kampung. Dia bukan orang asing. Dia bukan Tuhan yang jauh-jauh tetapi Tuhan yang hadir persis di tengah-tengah kita,” kata Om Ben disambut tepuk tangan.
Kata Om Ben di seluruh dunia ada sekitar 7000 bahasa. Dari semua bahasa itu kurang dari 40% yang sudah ada satu kitab saja. Sementara untuk Alkitab Perjanjian Baru, terjemahan yang tersedia baru ada sekitar 1000 bahasa. Jadi dengan peluncuran Injil Markus dalam bahasa Wersing, bahasa orang Kolana ini menjadi salah satu minoritas bahasa di dunia yang masuk satu kitab dalam Alkitab.
Usai acara penyambutan kami beristirahat menikmati teh dan ubi rebus yang enak. Sambil menyeruput teh panas, saya tertegun pada sosok patung Yesus setinggi 4 meter yang berdiri tepat di samping gedung gereja. Patung ini terbilang unik karena Tuhan Yesus digambarkan dengan wajah Eropa namun berbusana adat Kolana. Tangan kiri-Nya menggendong seorang anak perempuan dan tangan kanan-Nya memegang obor api. Patung ini dibuat dalam rangka perayaan 100 tahun Injil masuk Kolana pada 2011 lalu. Begitu pula dengan sebuah lukisan yang terpampang tepat di atas mimbar gereja. Lukisan Yesus mengenakan pakian adat Kolana yang sangat indah sedang memberkati anak-anak dilatari panorama alam pantai dan pegunungan yang memesona. Luar biasa, meski jemaat ini sangat terpencil tapi mereka tidak kalah dalam membangun teologi kontekstual. Peristiwa yang lagi-lagi belum saya temukan di gereja-gereja GMIT di Kota Kupang. (Bersambung…)