Perjuangan Untuk Menjadi Doktor Teologi (6)

Pdt. Dr. Andreas Yewangoe

www.sinodegmit.or.id, Jadi pada tahun 1984 saya kembali lagi ke Belanda. Kali ini kami berempat karena putri kami yang lahir di Kupang tentu ikut-serta juga. Saya kurang ingat bulan berapa persisnya. Tetapi waktu itu masih dingin di Belanda. Jadi mungkin sekitar Februari juga. Kali ini kami tidak merasa terlalu berat dari segi bahasa. Juga pengenalan akan Negeri Belanda.

Sementara itu Pdt van Berge sudah digantikan oleh Pdt Wim van Halsema sebagai Sekretaris Seksi Oostelijk Indonesie. Dialah yang akan mengurus dan membantu kami selanjutnya nanti. Wim van Halsema ini hebat. Dia tidak pernah bekerja di Indonesia tetapi mampu berbahasa Indonesia dengan baik. Sebelumnya ia memang Ketua Sectie Oostelijk Indonesie tetapi tetap bekerja di jemaat. Ketika terpilih menjadi Sekretaris Seksi ini ia harus mempelajari bahasa Indonesia di UKSW Salatiga. Berbekal ini ia kemudian langsung mempraktekkannya dan lancar.

Kami diberi tempat tinggal di Buitenveldert, sebenarnya masih bahagian dari Amstelveen namun dekat dengan VU. VU sendiri adalah bahagian dari Amsterdam. Tempat itu sangat strategis hanya 20-25 menit bersepeda ke Kampus. Tempat kami adalah perkampungan mahasiswa. Namun Hospitsium tempat kami tinggal didesign begitu rupa sehingga pas untuk mahasiswa luar negeri yang berkeluarga. Di dalamnya juga ada mall khusus utk mahasiswa.

Kami dibantu oleh Pdt Auke Hofman, pendeta yang memang ditugaskan gereja membantu mahasiswa luar negeri tanpa memandang agama dan kebangsaan. Putri kami yang waktu itu berusia sekitar 4 tahun dimasukkan ke Kleuterschool, sedangkan putra kami yang berusia 12 tahun (jadi berbeda 8 tahun) yang sebenarnya sudah tamat SD di Indonesia dianjurkan lagi untuk mengulang di kelas 6 basis school. Ini berguna agar nanti tidak kesulitan memasuki Bruugklas semacam peralihan ke SMP. Untung dia masih faham dan lancar bahasa Belanda sehingga tidak terlalu sulit mengikutinya.

Putri kami juga dengan cepat berbahasa Belanda karena pergaulan dengan anak-anak di Kleuterschool. Pada waktu kami datang Sumarthana sudah berada duluan. Ia sudah menyelesaikan Drsnya dan mulai menulis disertasi. Belakangan datang Pdt. Sutarman tanpa keluarga dan lalu menjadi tetangga kami. Ia sudah Master di Amerika tetapi harus mengikuti kursus penyesuaian untuk memperoleh Drs. Baru dari situ bisa menulis disertasi. Ia kemudian menulis tentang Kyai Sadrach. Selanjutnya datang pula Parakitri Simbolon yang mengambil doktor di bidang ilmu sosial VU. Ia juga menjadi tetangga kami.

Saya, karena sudah Drs bisa langsung menulis disertasi. Saya menemui Promotor, Prof. Jan Veenhof. Karena saya sudah menulis tentang Chakkarai waktu skripsi dulu, maka saya bermaksud meneruskan dan memperluasnya. Saya diminta membuat proposal. Proposal ini dibahas berkali-kali juga bersama guru besar yang lain. Bahkan asisten-asisten mereka juga ikut-serta. Ada semacam skeptisisme apakah pantas disertasi itu nanti termasuk pada Theologia Sistimatika. Malah ada seorang asisten mengatakan di Asia tidak ada teologi. Yang ada, katanya renungan-renungan dan refleksi saja. Ini dikatakan kendati buku-buku Kitamori, Koyama sudah beredar luas waktu itu.

Saya tetap ingin membuktikan bahwa bukan Eropa saja yang berteologi melainkan Asia juga. Saya diminta membuat laporan dari buku-buku yang ditulis oleh teolog Asia. Setelah diskusi-diskusi yang lama dan tidak jarang membuat frustrasi akhirnya diterima. Promotornya menjadi dua orang. Jadi bukan Promotor dan Co-promotor tetapi dua-duanya promotor. Mereka adalah Prof. Dr. J. Veenhof dan Prof. Anton Wessels. Wessels pernah menjadi dosen di Beirut, Libanon. Ia menguasai Islam. Disertasinya mengenai biografi Muhammad menurut penulis-penulis mutakhir di dunia Arab. Dia juga adalah mantan dosennya Pdt. Tresna Purnama (Pdt GKP) ketika memperdalam Islamologi di Beirut.

Tetapi apakah fokus kajian disertasi?

Asia begitu luas sedangkan persoalan yang dihadapi juga sangat kompleks. Pada waktu itu marak di Amerika Latin teologi-teologi pembebasan. Salah satu tokohnya adalah Gustavo Gutierrez. Ini adalah reaksi terhadap hegemoni sistem kapitalisme di mana gereja juga ikut-serta di dalamnya. Hegemoni yang menimbulkan kemiskinan dan kemelaratan di kalangan rakyat itu tidak mampu direspons oleh gereja. Malah gereja terkesan ikut-serta dalam berbagai “dosa” yang dilakukan kaum pemilik modal.

Gereja sangat eliter dan jauh dari rakyat yang sekaligus juga adalah anggota jemaat. Ini menimbulkan kegelisahan di kalangan imam-imam muda. Mereka hidup solider dengan orang-orang miskin di tempat-tempat kumuh (slum). Tetapi mereka tidak hanya hidup. Mereka juga melakukan refleksi teologis.

Dengan menggunakan analisis sosial Karl Marx mereka membedah persoalan riil masyarakat di sana. Injil mestinya merupakan Kabar Baik bagi mereka. Orang miskin mestinya menjadi subyek dalam sejarah. Tidak hanya ditawan oleh perjalanan sejarah yang terus-menerus meletakkan kuk perhambaan di atas pundak mereka. Injil harus menjadi berita pembebasan. Bahkan praksis pembebasan. Lingkaran hermeneutis yang pernah dicetuskan oleh Bultmann mendapat realisasinya di sini. Ada perenungan menuju ke aksi dan kembali lagi ke perenungan. Begitu seterusnya. Tidak habis-habisnya.

Maka terjadilah polarisasi di dalam gereja. Mereka yang sangat memihak pembebasan rakyat versus kaum elit gereja yang tidak jarang secara tanpa hati-hati juga dikenakan kepada kaum struktur gereja (hierarchi). Pada pihak lain, salah faham itu juga muncul terhadap kaum teolog pembebasan yang dianggap terpengaruh oleh Marxisme hanya karena mereka mempergunakan analisis sosial Marx sebagai pisau bedah. Ttp memang sampai sekarang belum ada yang mampu mengungguli analisis sosial Karl Marx ini.

Resonansi pemikiran ini juga terasa di Asia. Kemiskinan juga melanda Asia pada umumnya. Namun berbeda dengan Amerika Latin yang hampir 90 persen penduduknya beragama Kristen/Katolik, persentasi umat Kristen di Asia hanyalah 2 persen. Teologi pembebasan macam apakah yang mestinya berkembang atau diperkembangkan di Asia? Haruskah teologi pembebasan di Amerika Latin itu di copypaste di Asia? Atau Asia mempunyai tipenya sendiri?

Kawan-kawan saya di Indonesia mendorong saya untuk menulis tentang kemiskinan. Inilah persoalan konkrit yang dihadapi di Indonesia pada waktu itu. Gejala yang menonjol di era Orde Baru itu bukan saja kemiskinan tetapi juga pemiskinan. Semua persoalan itu dapat difahami. Tetapi bagaimanakah hal-hal itu dituangkan dalam sebuah kajian yang bersifat teologi sistimatika? Tentu harus dicari payungnya. Dan payungnya adalah “penderitaan” (suffering, lijden, Leiden).

Kabar Baik mestinya membebaskan orang dari penderitaan. Hanya saja sudah sangat lama penderitaan dianggap sebagai kebajikan. Atau sebagai akibat dosa. Dosa dan penderitaan dikaitkan secara erat. Ketimbang menghadapi penderitaan secara konkrit, orang terkesan mengabstraksikannya. Penderitaan malah dilihat sebagai cara pendamaian guna pengampunan dosa. Kebetulan di Belanda pada tahun-tahun itu ramai sekali orang berbicara tentang disertasi H. Wiersinga yang membahas pendamaian sebagai persoalan teologis (Verzoening als theologische probleem). Dia menthesiskan bahwa penderitaan Yesus yang selama ini dianggap membawa pendamaian dan pengampunan dosa tidak dengan sendirinya berlaku bagi kita. Heboh kan?

Ya, heboh tetapi bagaimana dengan fokus kajian saya tentang penderitaan yang secara riil menampakkan diri dalam kemiskinan dan pemiskinan? Dalam upaya berpikir intens menghadapi hutan persoalan teologis ini saya diberi pencerahan oleh Aloysius Pieris. Dia adalah seorang imam Katolik dari Sri Lanka, sangat ahli dalam teologi Thomas Aquinos ttp sekaligus juga sangat memahami Budhisme. Bahkan gelar doktornya diperoleh dari Universitas Budha di Sri Lanka. Ia tidak menulis buku tebal-tebal. Hanya artikel-artikel di jurnal-jurnal. Kendati demikian tidak mudah membacanya. Kita harus membacanya berulang-ulang agar bisa menangkap makna terdalam dari formulasinya yang ditulis sangat kompak dalam bahasa Inggris yang apik.

Saya membaca salah satu artikelnya berjudul, “Towards an Asian Theology of Liberation: Some Religio-Cultural Guidelines” yang dimuat dalam Virginia Fabella, Asia Struggle for Full Humanity. Dia menegaskan bahwa kalau kita mau berbicara tentang Asia, sesungguhnya kita menghadapi dua kenyataan besar di sana: “Overwhelming Poverty” (Kemiskinan yang meliputi semuanya) dan “Multifaceted Religiosity” (Keberagamaan Yang Multi Wajah). Kedua kenyataan ini saling pengaruh-mempengaruhi. Tidak ada teologi yang tulen (genuine) di Asia kalau kita mengabaikan dua kenyataan besar ini, kata beliau.

Tiba-tiba seperti ada sinar terang dalam otak saya. Seakan-akan jalan di depan dibukakan ke arah mana nanti kajian disertasi saya menuju. (bersambung).

*Artikel ini dikutip dan diedit seperlunya dari akun Facebook Andreas Anangguru Yewangoe, atas ijin penulis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *