
Pengantar
Doa sering disebut sebagai napas hidup orang percaya. Ungkapan reflektif ini bersauh pada nasihat Paulus (1Tes. 5:17-18) dan praktik hidupnya (1Tes. 2:13). Orang percaya harus terus menerus berdoa. Namun, Henri J. M. Nouwen mengingatkan bahwa berdoa senantiasa itu tidak berarti berdoa berkali-kali sebanyak-banyaknya, karena praktik semacam itu hanya menempatkan doa sebagai salah satu bagian dari kehidupan kita. Menurut Nouwen, dua istilah Yunani yang Paulus gunakan, yaitu pantote yang berarti “selalu” (1Tes. 5:17) dan adialeiptosyang berarti “tidak putus-putusnya” (1Tes. 2:13) itu menegaskan bahwa doa bukan hanya bagian dari kehidupan, tetapi seluruh kehidupan. Doa itu bukan hanya bagian dari pikiran, tetapi seluruh pikiran; bukan hanya bagian dari emosi dan perasaannya, tetapi seluruhnya. Jadi, seluruh keberadaan kita baik pikiran maupun tindakan kita merupakan doa.[1]
Tetapi, yang menjadi pertanyaannya adalah apa isi doa kita, dan apa sikap kita setelah berdoa? Tentu, surat-surat Paulus memiliki beragam jawaban terhadap pertanyaan itu. Namun, dalam esai ini, saya akan bergumul dengan pertanyaan itu dengan berefleksi dari doa yang diajarkan Tuhan Yesus dalam Lukas 11:1-13. Refleksi ini juga akan saya letakkan dalam bingkai eklesiologis Jemaat Emaus Liliba sebagai gereja kota (city church), yaitu jemaat misioner yang secara serius memikirkan dan terlibat aktif dalam membentuk spiritualitas Kota Kupang. Maka, doa yang diajarkan Yesus itu akan direfleksikan sebagai doa jemaat misioner. Seperti apakah doa jemaat misioner: apa yang didoakan jemaat misioner dan sikap misioner seperti apa yang mengikuti doa itu?
Doa Bapa (kami)
Sebagaimana para rabi yang lain pada saat itu mengajarkan murid-murid mereka untuk berdoa sebagai ciri khas kelompok mereka,[2] Yesus pun mengajarkan murid-murid-Nya berdoa sesuai permintaan mereka. Meskipun demikian, tujuan pengajaran Yesus itu lebih dari sekadar sebuah ciri khas. Doa itu diajarkan Yesus dalam rangka mempersiapkan murid-murid-Nya untuk melaksanakan misi Kerajaan Allah yang sedang diberitakan-Nya, khususnya di Galilea. Tujuan itulah yang mempengaruhi rumusan isi doa itu yang, menurut Dennis C. Duling dan Norman Perrin, merupakan hikmat revolusioner dan pengajaran profetik di desa-desa Galilea.[3]
Doa itu revolusioner dan profetik karena konteks sosial, ekonomi dan hukum Romawi yang tidak adil bagi orang-orang kecil Galilea pada saat. Studi mendalam dari Douglas E. Oakman menunjukkan bahwa pada saat Yesus mengajarkan doa itu, orang-orang kecil di sana sedang menderita akibat penindasan sistemis dari kekaisaran Romawi. Akses kepada makanan yang terbatas dan lilitan hutang karena sistem pajak, serta pengadilan dan hakim yang jahat adalah pengalaman keseharian orang kecil di Galilea.[4]
Sebagai catatan, terdapat perbedaan kata Yunani antara Lukas dan Matius dalam rumusan permohonan pengampunan (Luk. 11:4 dan Mat. 6:12) yang mempengaruhi makna dan implikasinya. Dalam Lukas, murid-murid diajarkan untuk memohon pengampunan atas hamartia (dosa),sedangkan dalam Matius, atas opheilema(hutang). Tetapi, dalam kalimat lanjutannya, Lukas menggunakan istilah “hutang” – seperti kami juga mengampuni orang yang berhutang [opheilo] kepada kami – seperti yang digunakan Matius secara konsisten (band. terjemahan Bahasa Inggris NRSV). Menurut Oakman, perbedaan itu sangat mungkin terjadi karena dalam Bahasa Aram yang dipakai Yesus, kata hôbâ yang berarti hutang itu bisa diterjemahkan ke dalam Bahasa Yunani Kuno dengan kata hamartiaatau opheilema.[5] Itulah sebabnya, pemahaman yang umumnya disepakati para ahli adalah bahwa dosa dan hutang itu sama-sama dimaksudkan oleh Yesus. Jika demikian, bisa juga dipahami bahwa dengan pilihan hamartiadan opheilodalam permohonan itu,Lukas hendak menekankan aspek holistik dari pengampunan.[6] Implikasi praktis dari aspek itu adalah bahwa sebagian pembaca, yang mungkin adalah pemberi hutang, harus menghapuskan hutang orang-orang kecil dalam sistem Romawi itu, sama seperti pengampunan dosa yang mereka terima dari Allah.[7]
Permohonan dalam doa yang diajarkan Yesus itu terkait erat dengan kebutuhan sehari-hari pendengar-Nya. Memperoleh makanan setiap hari, hutang dihapus, dan pengadilan yang benar itulah yang dibutuhkan. Permohonan itu bukan keluar dari kemalasan orang-orang kecil untuk bekerja supaya mereka memiliki makanan dan membayar hutang. Bukan pula karena mereka suka melanggar hukum sehingga terbebas dari pengadilan yang jahat itu dibutuhkan, tetapi karena sistem Romawi itu tidak peduli dengan sistem yang membuat mereka terlilit hutang. Tetapi, sistem pajak Romawi lah yang sangat menyengsarakan masyarakat. Sumber daya alam Galilea dieksploitasi untuk keserakahan para elit Romawi.[8] Orang bisa makan kalau berhutang. Jika tak mampu membayar hutang, mereka akan dipenjarakan oleh pengadilan dan hakim yang tidak adil, sementara hutang akan semakin menumpuk dan keluarganya harus menjual harta-benda demi menebus hutang.[9] Jika harta benda termasuk tanah sudah dijual, bagaimana mereka bisa berusaha untuk mendapatkan makanan? Mereka harus berhutang lagi, dan terus menerus berada dalam lingkaran pemiskinan itu.[10]
Dalam konteks itu, doa yang Yesus ajarkan memberikan pengharapan, sambil menegaskan kemahakuasaan Allah dan penentangan-Nya terhadap sistem yang menindas. Dalam Lukas, permohonan konkret dan mendesak itu berpadu dengan tradisi besar tentang doa orang Israel yang abstrak tetapi yang memberikan pengharapan: dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu. Bagi Yesus, tanda bahwa nama Tuhan itu dikuduskan adalah ketersediaan makanan bagi orang-orang kecil; tanda bahwa Kerajaan Allah itu datang adalah terhapusnya hutang dan dosa yang membelenggu; dan tanda dari kehendak Allah yang terjadi adalah terbebasnya orang-orang kecil dari pengadilan dan hakim yang jahat.[11]
Tetapi, bagaimana doa itu dipahami sebagai yang benar-benar memberikan pengharapan? Apakah Bapa akan menjawab doa ini dan bagaimana jawaban itu diwujudkan-Nya akan meneguhkan pengharapan itu. Karena itu, Yesus memberikan pengajaran tambahan untuk meyakinkan para pendengar-Nya dalam perikop itu (ay. 5-13). Saya akan merefleksikan bagian itu untuk memahami dan mengaktualisasikan doa yang Yesus ajarkan itu sebagai doa jemaat misioner.
Doa Jemaat Misioner
Pengharapan yang digaungkan doa itu ditegaskan oleh Yesus dengan membandingkan kemanusiaan dan budaya keramahtamahan manusia yang terbatas dengan Bapa (Abba). Jika manusia saja memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan mendasar itu, apalagi Bapa. Jika kemampuan itu terbatas, sebagaimana kemampuan itu tak berdaya di hadapan sistem Romawi yang menindas, Bapa itu tidak bisa dibatasi oleh apa pun. Selain itu, permintaan yang demikian itu sejalan dengan karya Allah yang sedang nyata dalam pengajaran dan tindakan Yesus (band. Luk. 4:16-21). Roh Kudus pun akan hadir jika doa semacam itu yang dipanjatkan (Luk. 11:13), sebab dalam teologi Lukas, kehadiran Roh Kudus selalu terkait dengan karya pemulihan Allah atas segala sesuatu, untuk mendatangkan damai sejahtera bagi segenap ciptaan, kepunyaan-Nya (band. Luk. 4:18; 24:49; Kis. 1:6-8).[12]
Yesus mengajarkan doa itu juga dalam rangka mempersiapkan murid-murid-Nya itu untuk terlibat dalam misi Allah (band. Luk. 10:1-12, 17-20; 12:12). Maka, dapat dipahami bahwa misi yang akan dipercayakan oleh Yesus itu adalah untuk mewujudkan doa itu melalui keterlibatan dalam karya Allah itu, yang kemudian dikisahkan Lukas dalam buku keduanya, Kisah Para Rasul.
Dalam terang pemahaman itulah, gereja hari ini harus berdoa sesuai dengan pengajaran Yesus itu dan turut dalam pewujudan doa itu.[13] Doa Bapa (kami) adalah doa para pelaku misi Allah. Dalam bahasa visi GMIT, doa itu dapat disebut sebagai Doa Jemaat Misioner.
Jemaat Misioner adalah jemaat yang hadir dan turut dalam pergumulan dunia secara kritis, inovatif dan konstruktif. Dalam bingkai eklesiologis-misional GMIT ini, pelaku misi adalah setiap anggota GMIT yang ber-misi sesuai kapasitasnya, untuk menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah di dunia.[14]
Jemaat Emaus Liliba (JEL) mengaktualisasikan konsep misi itu ke dalam konteksnya yang spesifik, yaitu Kota Kupang, dengan mengembangkan model pelayanan city church (gereja kota). Dalam model ini, gereja berupaya mendengar, memahami dan berinteraksi dengan pergumulan kota, serta membangun refleksi iman yang mendorong keterlibatan anggota jemaat dalam menghadirkan damai sejahtera Allah yang holistik di kota ini.[15] Gereja mendampingi anggotanya untuk mengidentifikasi dan melaksanakan misi Allah sebagai panggilan mereka di Kota Kupang sesuai kapasitas setiap anggota.
Doa yang diajarkan Yesus ini memperjelas misi gereja kota itu dengan kebutuhan-kebutuhan konkret masyarakat kota, yaitu makanan, tidak perlu berhutang hanya untuk memperoleh makanan dan kebutuhan dasar lainnya, serta hukum yang adil dan berpihak kepada mereka yang lemah di Kota Kupang. Anggota jemaat yang bekerja di bidang-bidang terkait adalah murid-murid Yesus yang diajarkan-Nya berdoa “Bapa (kami)” dan yang diutus-Nya untuk mewujudkan doa itu sebagai bentuk-bentuk spiritualitas Kota Kupang.
Misi Allah yang dilakukan GMIT dalam bentuk itu menjadi pengharapan bagi orang-orang kecil di Kota Kupang. Mereka yang sehari-hari bekerja keras untuk mendapatkan makanan dan kebutuhan dasar lainnya, seperti anak-anak penjual “jagung bunga” dan “kerupuk ubi” di halaman parkiran pusat perbelanjaan, akan bersemangat ketika melihat Allah yang hadir di antara mereka melalui gereja. Tentu, misi itu dilakukan dengan pemahaman dan perlakuan terhadap orang-orang kecil bukan sebagai objek tapi subjek dalam misi Allah.
Doa yang diajarkan Yesus ini juga memperkuat aspek liturgis bagi model pelayanan gereja kota itu. Doa memang bisa dipanjatkan secara pribadi kapan saja dan di mana saja. Tetapi, doa itu juga merupakan bagian penting dalam liturgi peribadahan (ritual) di GMIT. Sering kali, doa yang diajarkan Yesus itu dipakai dalam doa syafaat baik yang dilakukan sesuai inisiatif pemimpin doa, atau yang diatur secara formal dalam liturgi, misalnya Tata Ibadah Minggu Model III. Doa syafaat sebagai sebuah persekutuan dalam ritual itu memiliki potensi yang efektif untuk membentuk, mengingatkan dan meneguhkan komitmen para pelaku misi untuk berdoa dan mewujudkan doa itu sebagai satu persekutuan,[16] atau yang Diana S. Swancutt sebut sebagai habituskolektif untuk mendatangkan kesejahteraan.[17] Dalam hal ini, ibadah ritual dan karya, atau yang lebih spesifik doa ritual dan doa karya berjalan bersama-sama (ora et labora). Maka, doa syafaat yang dijiwai atau diakhiri oleh doa yang Yesus ajarkan itu akan terus menerus menjadi pengingat bagi anggota jemaat tentang misi Allah yang harus didoakan, dan sekaligus meneguhkan mereka untuk mewujudkan doa itu.
Makna doa yang Yesus ajarkan menurut Lukas 11:1-13 memberi isi dan bentuk kepada model pelayanan gereja kota JEL sebagai implementasi dari visi GMIT untuk menjadi gereja misioner pada tahun 2031. Karena itu, JEL bergiat untuk menjadi jemaat yang berdoa bagi Kota Kupang sebagai ciri misionernya. Karena doa itu adalah misi yang juga diwujudkan, kegiatan-kegiatan pelayanan JEL harus berkontribusi untuk membuat setiap orang di kota ini mampu memenuhi semua kebutuhan dasar (makanan, pendidikan, kesehatan, dll.) tanpa terlilit hutang dan mendapatkan perlindungan hukum.
Pelayanan diakonia memainkan peran penting dalam mewujudkan doa itu. Memang, dari sisi penganggaran, diakonia baru mendapatkan 22% dari total anggaran program. Angka itu berada jauh di bawah alokasi bidang oikonomia yang mencapai 48%. Tetapi, 80% dari alokasi program oikonomia itu ditujukan pada kegiatan pembangunan yang mendukung diakonia reformatif dengan fasilitas UMKM. Jadi, penganggaran itu menunjukkan komitmen JEL dalam mewujudkan doa itu. Tetapi, selain itu, pewujudan doa itu melalui pelayanan diakonia model gereja kota JEL lebih besar dari angka-angka itu. Berbagai bentuk diakonia oleh anggota JEL sebagai pelaku misi Allah di berbagai bidang pemerintahan, swasta, dll. akan memperbesar daya JEL untuk mewujudkan doa yang Yesus ajarkan.
Penutup
Benarlah pandangan Nouwen bahwa doa itu mencakup seluruh keberadaan orang percaya. Tetapi, lebih jauh dari Nouwen, esai ini juga memahami doa sebagai ekspresi pengharapan dan komitmen sehari-hari untuk mewujudkan keadilan dan damai sejahtera bagi semua seperti doa yang diajarkan Yesus menurut Lukas 11:1-13. Doa yang berdimensi revolusioner dan profetik itu mengandung permohonan konkret bagi kebutuhan dasar pendengar Yesus di Galilea – makanan, pembebasan dari hutang dan keadilan – sebagai bagian dari pengharapan akan Kerajaan Allah yang nyata di dunia.
Dalam model pelayanan city church yang diterapkan JEL, doa yang diajarkan Yesus itu dihidupi sebagai panggilan misioner setiap anggota jemaat untuk terlibat secara aktif sesuai kapasitas masing-masing dalam pergumulan kehidupan masyarakat kota. Panggilan itu merupakan sebuah bentuk partisipasi jemaat dalam karya Roh Kudus, melalui doa ritual dan doa karya yang menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah, khususnya bagi mereka yang lemah. Itulah yang dimaksudkan dengan berdoa sebagai jemaat misioner!
Penulis: Vikaris GMIT di Jemaat Emaus Liliba
Notes
[1] Henri J.M. Nouwen, “Unceasing Prayer.” America180, no. 13, April 17, 1999.
[2] James R. Edwards, The Gospel According to Luke(William B. Eerdmans, 2015), e-book, bab 9.
[3] Dennis C. Duling dan Norman Perrin, The New Testament: Proclamation and Parenesis, Myth and History. 3rd ed. (Harcourt Brace College, 1994), hlm. 25.
[4] Douglas E. Oakman, Jesus, Debt, and the Lord’s Prayer: First-Century Debt and Jesus’ Intentions(Cascade Books, 2014).
[5] Ibid., hlm. 75.
[6] Lyndon Drake. “Did Jesus Oppose the Prosbul in the Forgiveness Petition of the Lord’s Prayer?” Novum Testamentum 56, no. 3 (2014), hlm. 242.
[7] Band. Diana M. Swancutt, ““Forgive Us Our Debts”: Jubilee Prays the Lord’s Prayer.” Review & Expositor 118, no. 4 (2021), hlm. 461-462.
[8] Raj Nadella, “The Two Banquets: Mark’s Vision of Anti-Imperial Economics.” Interpretation 70, no. 2 (2016): 172-183.
[9] Oakman, hlm. 71-79.
[10] Band. Swancutt, hlm. 465.
[11] Oakman, hlm. 70.
[12] Edwards, e-book, bab 9; Mikeal C. Parsons, Luke: Paideia Commentaries on the New Testament (Baker Academic, 2015), hlm. 183; dan Kyu Sam Han, seperti dikutip Mark Wilson, “The Lukan Lord’s Prayer: A Pneumatological Reading.” Journal of Pentecostal Theology 32, no. 2 (2023), 173.
[13] Swancutt, hlm. 462.
[14] Pokok-Pokok Eklesiologi GMIT dalam Tata Gereja: Gereja Masehi Injili di Timor, tahun 2010 (perubahan pertama, 2015), hlm. 29-30 dan 44.
[15] Philip Sheldrake, The Spiritual City: Theology, Spirituality and the Urban(Wiley BlackwelI, 2014).
[16] Band. Barbara Jane Davy, “A Rationale for the Study of Unconscious Motivations of Climate Change, and How Ritual Practices Can Promote Pro-Environmental Behaviour.” Worldviews: Global Religions, Culture, and Ecology 25, no. 2 (2021), hlm. 9-12.
[17] Swancutt, hlm. 462.