Sumber : detik.com
Dalam tradisi GMIT dan gereja yang lain, minggu ketiga Adven dirayakan sebagai minggu sukacita. Orang percaya bersukacita dalam menantikan kedatangan Tuhan Yesus kembali karena pada saat kedatangan itu, Ia akan menyempurnakan karya keselamatan-Nya bagi dunia. Sukacita itu sungguh bermakna bagi semua kepunyaan-Nya, sebab seluruh kepunyaan-Nya sedang berada di dalam berbagai tantangan kehidupan sebagai dampak dari dosa. Dalam bahasa rasul Paulus, “segala ciptaan sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin” (Rm. 8:22). Orang percaya bersukacita karena kedatangan Kristus itu akan melenyapkan segala keluhan dan penderitaan. Dalam sukacita Adven, seluruh ciptaan yang sedang menanti dapat mengecap sukacita kedatangan-Nya itu. Maka, sukacita Adven adalah sebuah keyakinan dan proklamasi iman atas kedatangan-Nya yang pasti itu.
Lalu, seperti apakah sukacita Adven itu? Bagaimana kita hidup dalam sukacita itu dan memancarkannya sebagai gereja? Dalam esai ini, saya akan menggumuli pertanyaan-pertanyaan itu dengan merefleksikan sukacita itu dengan pendekatan city churchmisioner GMIT yang sedang dikembangkan oleh Jemaat Emaus Liliba. Untuk itu, saya akan berefleksi tentang sukacita Adven pada tiga kota, yaitu Betlehem dalam teks Mikha 5, Yerusalem Baru dalam Wahyu 21-22, dan Kota Kupang. Yang hendak dibahas di sini adalah bagaimana sukacita di kedua kota yang pertama itu menjadi sukacita di Kota Kupang yang berada di masa antara kedua kota itu. Model city church misioner GMIT akan diperkenalkan dan diajukan sebagai sebuah pendekatan untuk membuat sukacita Adven mengalir dan meresap di Kota Kupang.
Sukacita Betlehem
Salah satu ayat yang paling terkenal dalam perayaan natal Kristiani adalah Mikha 5:1. Ayat ini menubuatkan kedatangan sang Mesias di Betlehem, kota Daud. Umat Kristen meyakini bahwa Yesus yang lahir di Betlehem 700an tahun setelah nubuat itulah sang Kristus yang dijanjikan.[1] Namun, sering kali fokus kepada natal menghalaukan perhatian banyak orang dari realitas kehidupan pada zaman Mikha yang membutuhkan kehadiran sang Mesias. Padahal, dalam kitab-kitab Injil, keyakinan bahwa Yesus Kristus adalah Mesias yang dinubuatkan itu tidak hanya dibuktikan dengan tempat kelahiran-Nya (Matius dan Lukas), tetapi juga dengan karya-Nya.
Karya Kristus memberikan keutuhan makna kedatangan-Nya yang membawa sukacita seperti yang didambakan umat Allah pada masa Mikha. Ketidakadilan sosial, kemerosotan moral dan penyembahan berhala adalah kejahatan yang dilakukan para pemimpin politik dan agama serta umat (bnd. Mikha 2:1-2; 3:9-12). Mereka tega menindas dan menyengsarakan orang-orang kecil yang adalah sesama mereka. Kejahatan itu membuat TUHAN murka dan menghukum mereka. Ia membiarkan mereka terancam dan akan menderita oleh Kerajaan Asyur dan Babel. Samaria akan jatuh. Demikian juga Yerusalem yang adalah simbol kejayaan politik dan agama akan hancur.
Tetapi, Mikha juga menubuatkan keselamatan dari Allah bagi umat-Nya itu melalui kehadiran dan karya sang Mesias, sang pemimpin ilahi dan insani.[2] Ia membela umat-Nya yang tertindas. Ia akan melepaskan mereka dari penderitaan. Ia akan memulihkan keadaan mereka. Sang Mesias itu akan menggembalakan mereka dan Ia akan “menjadi damai sejahtera” bagi mereka.
Sangat penting dan menarik untuk diperhatikan bahwa pemulihan itu akan datang dari sebuah kota kecil di Yehuda, yaitu Betlehem. Jika dibandingkan dengan kaum Yehuda, Betlehem ini bukanlah apa-apa khususnya dari sisi jumlah populasi.[3] Meskipun demikian, pemulihan Yerusalem itu berasal dari kota kecil ini. Betlehem adalah kota Daud, dan itu sesuai dengan janji Tuhan Allah kepada Daud, bahwa keturunannya akan mewarisi takhtanya yang kokoh untuk selama-lamanya (2 Sam. 7:15-16). Dari kota kecil itulah pemulihan akan datang, dan itulah sukacita Betlehem bagi Yerusalem.
Dalam iman Kristen, Yesus Kristus adalah sang Mesias yang akan datang itu. Kitab-kitab Injil mencatat bahwa sukacita Betlehem oleh karena kehadiran Kristus itu sungguh nyata. Ia menentang berbagai ketidakadilan, dan sekaligus menunjukkan jalan yang adil. Ia mengecam kemerosotan moral para pemimpin dan umat, dan sekaligus menunjukkan moralitas kemanusiaan baru.[4] Ia menentang penyembahan kepada ilah lain, dan sekaligus mengajarkan penyembahan kepada Allah yang benar, yaitu dalam roh dan kebenaran, dan nyata melalui kasih kepada Allah dan sesama. Dia membela dan membebaskan mereka yang tertindas. Ia tidak menaklukkan Asyur atau Babel secara politis, tetapi Ia menaklukkan kuasa dosa yang adalah akar segala kejahatan terjadi, termasuk peperangan dan penindasan. Dengan jalan damai itu, Ia memutuskan mata rantai kejahatan. Karya-Nya itu memberikan kehidupan penuh damai sejahtera untuk dialami umat-Nya untuk selama-lamanya.
Itulah sukacita Betlehem yang diwujudkan Yesus Kristus. Tetapi, kesempurnaan sukacita itu baru akan dialami di Yerusalem yang baru.
Sukacita Yerusalem Baru
Wahyu 21-22 menunjukkan visi Yohanis tentang Yerusalem yang baru sebagai tempat, komunitas umat Allah dan kehadiran Allah yang penuh sukacita.[5] Sebagai tempat, Yerusalem yang baru adalah kota yang turun dari langit. Kota itu penuh dengan kemuliaan Allah dan bercahaya seperti semua benda perhiasan yang paling indah yang pernah dilihat orang pada saat itu. Demikian juga arsitekturnya megah dan mewah seperti yang gambarannya mirip arsitektur Romawi.[6] Kota itu juga memiliki keindahan alam yang menakjubkan. Semua gambaran itu berbicara tentang ciptaan yang baru. Lalu, Yerusalem yang baru sebagai sebuah komunitas umat Allah. Semua orang dari segala bangsa yang bertobat mengambil bagian dalam relasi persekutuan dengan Allah yang hidup dan sesama mereka.[7] Pintu gerbang kota Yerusalem yang baru itu selalu terbuka bagi segala bangsa untuk memasukinya. Tetapi, sukacita Yerusalem yang baru itu bukan hanya terletak pada kota yang indah dengan relasi orang-orang yang mendiaminya. Sukacita itu menjadi sempurna karena kehadiran Allah di kota itu, di antara ciptaan-Nya. Kehadiran-Nya membuat kota itu kudus. Demikian juga air mata dan segala penderitaan ciptaan-Nya lenyap, karena Allah sendiri yang memerintah dan pemerintahan-Nya itu penuh dengan damai sejahtera. Di kota itu, karya Yesus Kristus yang lahir di Betlehem itu menjadi nyata secara sempurna.
Yerusalem yang baru itulah yang sedang kita nantikan. Sukacita itu yang sedang kita renungkan dan bayangkan dalam minggu ketiga perayaan Adven ini sebagai harapan dan motivasi untuk terus berjaga-jaga dalam penantian. Meskipun demikian, sukacita kota Yerusalem yang baru itu bukanlah sesuatu yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan masa sekarang dan tempat di mana kita sedang menantikannya. Jika kebaruan itu meliputi kemanusiaan kita yang baru, maka kita dapat mengantisipasi sukacita Yerusalem yang baru itu dengan menjalani hidup sebagai manusia baru. Paulus menekankan itu dalam 2 Korintus 5:17. Jadi, kita bisa mengecap sukacita itu sekarang dan di sini karena karya Yesus Kristus itu sudah berdampak bagi kita dengan menjadikan kita sebagai manusia baru.
Sukacita Kota Kupang
Jika demikian sukacita Yerusalem yang baru sebagai sukacita yang sempurna sebagaimana nubuat Mikha yang digenapi Yesus Kristus, bagaimana sukacita itu dapat kita kecap sekarang di Kota Kupang?
Sebagai kota yang berada di masa antara Betlehem dan Yerusalem yang baru, Kota Kupang menghadirkan tantangan dan peluang unik untuk mengalami dan memancarkan sukacita Adven. Kota ini, dengan segala dinamika sosial, ekonomi, budaya, dan politiknya, menjadi ruang hidup di mana umat Allah dipanggil untuk menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah yang membawa damai sejahtera (bnd. Yer. 29:7). Dalam konteks itu, misi gereja perlu dipahami sebagai keterlibatan dalam karya Allah untuk membuat sukacita yang dipancarkan Betlehem dan yang akan digenapi secara sempurna di Yerusalem yang baru itu mengalir di Kota Kupang hari ini.
Dalam artikel mereka, “Joy Flows Through the City,” Mary Glenn dan Jude Tiersma Watson merangkum makna sukacita dalam konteks kota dengan sangat baik. Menurut mereka, sukacita merupakan inti dari Injil, bahkan bisa disebut sebagai esensinya. Yesus memulihkan hubungan dan membawa sukacita ke dalam kehidupan manusia. Kita diciptakan untuk menjalin hubungan dengan Allah dan sesama. Ketika hubungan dipulihkan, sukacita menjadi sesuatu yang dapat kita bagikan. Kita merasakan dan membagikan sukacita itu melalui kehadiran Yesus yang selalu menyertai, serta saat kita menyadari pentingnya peran satu sama lain dan saling mendukung dalam kehidupan di kota.[8]
Sukacita adalah tanda nyata kehadiran Kerajaan Allah yang bekerja di tengah dinamika kota. Meskipun sering diidentikkan dengan tantangan seperti ketidakadilan dan kemiskinan, kota juga menyimpan potensi besar untuk menjadi ruang transformasi melalui sukacita Adven. Sukacita ini melampaui batasan emosional semata, menjadi kekuatan spiritual yang membawa harapan dan ketahanan bagi komunitas kota dalam menghadapi realitas kehidupan yang sulit.[9] Selain itu, karena peran kota sebagai pusat pelayanan publik dan jasa termasuk bagi wilayah pedesaan,[10] sukacita kota yang meresapi tata kelola kota dan kebijakan publik akan berdampak kepada kehidupan di desa.
Sukacita itu bersifat holistik. Ia tidak hanya menyentuh dimensi spiritual, tetapi juga kebutuhan fisik, mental, sosial, dan ekonomi, yang merupakan pergumulan holistik kehidupan perkotaan. Melalui tindakan nyata, seperti menolong kelompok-kelompok marginal, memperjuangkan kesetaraan, dan memulihkan lingkungan, sukacita menjadi kekuatan transformasi kota. Dengan demikian, sukacita tidak hanya menjadi ide teologis tetapi sebuah praktik yang memperlihatkan kasih Allah dalam kehidupan sehari-hari di Kota Kupang.
Pendekatan City Church (Gereja Kota) yang Misioner GMIT
Gereja memiliki peran signifikan dalam membuat sukacita ini mengalir dan meresap di Kota Kupang. Dalam sejarah kota yang dicatat Joel Kotkin, keberadaan gereja sebagai tempat/ruang sakral di kota telah dipandang sebagai salah satu dari tiga aspek yang membentuk keberhasilan atau kesejahteraan sebuah kota.[11] Gereja dipanggil untuk menciptakan keramahtamahan, ruang inklusi dan solidaritas serta pembebasan bagi mereka yang mengalami penderitaan dengan berpusat pada Injil di kota.[12] Ketika komunitas Kristen berperan aktif dalam menegakkan keadilan sosial, memperjuangkan hak-hak mereka yang tertindas, dan melayani dengan kasih, sukacita Adventus itu menjadi nyata. Sukacita yang lahir dari kasih ini tidak hanya membangun satu orang saja, tetapi juga memperbarui hubungan sosial-ekologis di tengah kota yang juga berdampak pada kesejahteraan desa.
Untuk mewujudkan misi itu, GMIT memiliki framework eklesiologis-misional yang khas, yaitu gereja misioner.[13] Kerangka ini mendorong setiap anggota jemaat hadir dan turut dalam pergumulan dunia secara kritis, inovatif dan konstruktif. Anggota GMIT dipanggil untuk bermisi sesuai kapasitasnya, menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah di dunia. Jemaat Emaus Liliba (JEL) menerjemahkan ke-misioner-an itu ke dalam konteksnya yang spesifik, yaitu Kota Kupang, dengan mengembangkan model pelayanan city church (gereja kota). Dalam model ini, gereja membuka diri terhadap pergumulan kota, berinteraksi dengan berbagai tantangan perkotaan, dan mendorong refleksi iman yang relevan. Sebagai city church yang misioner, yang dilakukan JEL pada intinya adalah membantu anggotanya mengidentifikasi misi Allah sebagai panggilan mereka dalam menghadirkan sukacita Adven di Kota Kupang sesuai kapasitas masing-masing, sekaligus memfasilitasi dan mendampingi mereka dalam mewujudkannya.
Dengan mengembangkan dan mempraktikkan model city church misioner seperti itu, sukacita Betlehem dan Yerusalem Baru dapat mengalir seperti sungai (Why. 22:1-2) dan meresapi setiap sudut kehidupan Kota Kupang. Sukacita ini bukan hanya proklamasi iman, tetapi juga panggilan untuk hidup sebagai manusia baru di dalam Kristus. Dengan memancarkan kasih, keadilan, dan damai sejahtera, kita tidak hanya menantikan kedatangan-Nya kembali, tetapi juga berpartisipasi dalam karya-Nya untuk memperbarui dunia. Kota Kupang, dengan segala tantangannya, dapat menjadi tempat di mana sukacita Adven terasa nyata dan menginspirasi pembaruan yang sejati.
Penulis: Vikaris GMIT di Jemaat Emaus Liliba
Notes
[1] Riemer Roukema. Micah in Ancient Christianity(Berlin: Walter de Gruyter, 2019), hlm. 5-7.
[2] Kenneth H. Cuffey. The Literary Coherence of The Book of Micah: Remnant, Restoration, and Promise (London: Bloomsbury Publishing, 2015), hlm, 239-240.
[3] Roukema. Micah in Ancient Christianity.
[4] Daniel Migliore. Faith Seeking Understanding, 3rd edition(Grand Rapids, MI: Eerdmans, 2014), hlm. 163-164.
[5] Selain Yerusalem yang baru itu digambarkan sebagai tempat dan kehadiran Allah, Richard Bauckham memahami kota itu sebagai orang-orang yang berada dalam relasi indah dengan Allah dan sesama. Bagi saya, istilah “komunitas” lebih menolong pembaca Indonesia untuk memahaminya. Richard Bauckham. The Theology of the Book of Revelation (Cambridge: Cambridge University Press, 1993), hlm. 132-143.
[6] Candida R. Moss dan Liane M. Feldman. “The New Jerusalem: Wealth, Ancient Building Projects and Revelation 21–22.” New Testament Studies 66, no. 3 (2020), hlm. 351-366.
[7] Christopher T. Holmes. Unspoiled Endings: Reclaiming the Book of Revelation from Misuse and Neglect (New York: Augsburg Fortress Publishers, 2024), hlm. 153.
[8] Mary Glenn and Jude Tiersma Watson. “Joy Flows through the City.” Missiology 48, no. 3 (2020), hlm. 293.
[9] Ibid., hlm. 289-298.
[10] Pengertian dan sejarah perkembangan kota selengkapnya bisa dilihat di Adon Nasrullah Jamaludin. Sosiologi Perkotaan: Memahami Masyarakat Kota dan Problematikanya (Bandung: Pustaka Setia, 2015), hlm. 33-43.
[11] Joel Kotkin. The City: A Global History (Ney York: The Modern Library, 2006).
[12] Philip Sheldrake. The Spiritual City: Theology, Spirituality and the Urban(Chicester: Wiley BlackwelI, 2014). Lihat juga Timothy Keller. Loving the City: Doing Balanced, Gospel-Centered Ministry in Your City (Grand Rapids, MI: Zondervan, 2016), e-book, bab 8.
[13] Pokok-Pokok Eklesiologi GMIT dalam Tata Gereja: Gereja Masehi Injili di Timor, tahun 2010 (perubahan pertama, 2015), hlm. 29-30 dan 44.