Pada hari Minggu, 11 November 2024, jemaat-jemaat GMIT akan berefleksi bersama tentang peran tanah dan Laut Galilea dalam karya Yesus memberi makan orang banyak dengan lima roti dan dua ikan yang berasal dari alam Galilea itu menurut Injil Markus 6:30-44. Refleksi itu dilakukan dalam konteks perayaan Bulang Lingkungan di GMIT. Untuk mendukung upaya-upaya reflektif itu, informasi tentang konteks pertanian dan perikanan di Galilea sangat dibutuhkan. Di Indonesia, literatur tentang tanah dan pertanian di Galilea sudah cukup banyak, tetapi sangat sedikit yang membahas dunia perikanannya. Oleh karena itu, tulisan ini memberikan gambaran, yang mudah-mudahan cukup, tentang dunia perikanan di Laut Galilea.
Wawasan tentang sifat eksploitatif dan menindas dari industri perikanan di Galilea akan memberikan latar belakang untuk memahami kehidupan para nelayan serta orang-orang Galilea dalam Injil, dan makna dari pelayanan Yesus di antara mereka, termasuk kisah yang dicatat Markus di atas. Wawasan itu juga akan membantu dalam memahami motif teologis di balik penyebutan “laut” (thalassa) terhadap batang air Galilea oleh Injil Matius, Markus dan Yohanis, walaupun sebenarnya itu adalah danau (limne) sebagaimana yang disebut Injil Lukas, dan yang barangkali menjadi alasan LAI menggunakan penyebutan “Danau” Galilea terjemahan “paksaan” terhadap kata Yunani thalassadi ketiga kitab Injil yang disebutkan sebelumnya.
Perlu saya sampaikan bahwa ulasan dalam tulisan ini dibuat berdasarkan riset yang pernah saya kerjakan dan kemudian publikasikan di beberapa artikel ilmiah saya. Namun, apa yang tersaji di sini mengikuti kerangka penjelasan yang terdapat dalam artikel saya yang berjudul “Blue Disciple: A Christian Call for the Sea in Peril” dan terbit di International Journal of Public Theology pada tahun 2022.[i]
Lalu, seperti apakah dunia perikanan Laut Galilea itu? Dalam artikelnya yang diterbitkan di Biblical Theology Bulletin pada tahun 1997 berjudul “The Galilean Fishing Economy and the Jesus Tradition,”[ii] Kenneth C. Hanson menguraikan bagaimana industri perikanan di Laut Galilea dikendalikan dan dieksploitasi secara besar-besaran di bawah kekuasaan Romawi. Dia berargumen bahwa meskipun industri ini penting secara ekonomi, strukturnya dirancang untuk menguntungkan Kekaisaran Romawi dan elit lokal, bukan para nelayan setempat. Herodes Antipas, seorang raja klien Romawi, mengelola industri ini sedemikian rupa untuk memaksimalkan pendapatan dari pajak dan biaya lisensi, sehingga kekayaan yang dihasilkan dari perikanan mengalir ke kelas elit dan akhirnya ke kaisar.
Menurut Hanson, nelayanlah yang paling merasakan dampak dari struktur ekonomi ini, karena mereka harus menanggung pajak yang membebani, biaya lisensi penangkapan ikan, dan regulasi ketat yang membatasi kemandirian mereka. Alih-alih dapat beroperasi dengan bebas, para nelayan dipaksa masuk ke dalam sistem di mana mereka pada dasarnya bekerja untuk keuntungan pihak-pihak yang berkuasa, dengan peluang terbatas untuk mendapatkan keuntungan dari jerih payah mereka sendiri. Analisis Hanson menempatkan ekonomi perikanan sebagai cerminan dari eksploitasi Romawi yang lebih luas, menyoroti ketidaksetaraan dan ketidakadilan sosial yang mendalam dalam dunia ekonomi Galilea.
Namun, Raimo Hakola, dalam studinya yang diterbitkan tahun 2017, berpendapat sebaliknya.[iii] Ia menyatakan bahwa nelayan Galilea justru mendapat keuntungan dari perkembangan industri perikanan di daerah itu, alih-alih dirugikan. Pertama, Hakola menolak klaim Hanson mengenai praktik lisensi penangkapan ikan di Galilea. Menurutnya, Romawi tidak mengatur lisensi atau hak penangkapan ikan di Laut Galilea. Hakola berargumen bahwa basis argumen Hanson, yaitu pandangan Michael Rostovtseff dalam buku The Social and Economic History of the Hellenistic World, tidak cukup kuat untuk diterapkan pada masa Romawi. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa aturan lisensi yang dicatat dalam dokumen papirus dari Mesir zaman Ptolemaik hanya berlaku di wilayah tersebut dan tidak dapat digeneralisasi untuk seluruh Kekaisaran Romawi. Karena tidak ada bukti bahwa Laut Galilea dimiliki negara atau pihak tertentu, Hakola menyimpulkan bahwa lisensi penangkapan ikan tidak berlaku di sana, sehingga tidak ada regulasi yang menindas nelayan lokal.
Kedua, Hakola melihat adanya tanda-tanda peningkatan ekonomi di Galilea yang menguntungkan para nelayan. Bukti adanya rumah bea cukai di Kapernaum dan pasar ikan yang berkembang di Magdala menunjukkan kemajuan ekonomi bagi nelayan setempat. Bahkan, Hakola mencatat keberadaan pejabat pasar (agoranomoi) yang bertugas menetapkan harga ikan agar terjangkau, termasuk bagi konsumen dengan kemampuan terbatas. Menurut Hakola, stabilitas harga ini menciptakan pasar yang sehat bagi pemasok maupun pembeli. Meski ia mengakui adanya pajak yang ditetapkan Romawi, Hakola menegaskan bahwa nelayan di Galilea bukanlah pihak yang dieksploitasi, melainkan mereka juga menikmati manfaat dari industri tersebut.
Namun, penelitian yang lebih baru justru mendukung pandangan Hanson. Mengenai lisensi penangkapan ikan, John S. Kloppenborg dalam studinya tahun 2018[iv] membantah pendapat Hakola. Ia menilai Danau Galilea lebih mirip dengan perairan pedalaman yang diatur oleh lisensi, seperti Danau Moeris di Mesir. Kloppenborg berpendapat bahwa Herodes Antipas atau pemilik tanah mungkin memiliki lisensi yang disewakan kepada nelayan. Bahkan Hakola sendiri mengakui adanya kemungkinan bahwa negara ikut campur dalam kegiatan nelayan Galilea.
Dalam hal eksploitasi dan penindasan, Kloppenborg dan Hakola sependapat bahwa nelayan Galilea tidak tergolong sangat miskin. Menurut Hakola, beberapa nelayan di desa seperti Kapernaum hidup dengan standar yang layak. Kloppenborg menambahkan bahwa nelayan ini berada di “tingkat di atas subsistensi,” meski jelas bukan kelas atas. Namun, menurut studi terbaru mereka yang terbit pada 2019,[v] Robert J. Myles dan Michael Kok mengajukan pertanyaan, kelas menengah ini relatif terhadap apa? Meski mungkin mereka hidup lebih baik dibanding budak atau tenaga kerja kasar, dalam masyarakat agraris yang mayoritasnya hidup pada atau di bawah tingkat subsistensi, klaim tersebut kurang berarti.[vi]
Bahkan, Hakola mengakui adanya ketimpangan besar antara penduduk desa biasa dan orang-orang kaya di Magdala, yang menunjukkan bahwa sebagian orang menikmati hidup mewah, sementara yang lain tetap harus tunduk pada kontrol Romawi. Josephus, yang menjadi rujukan Hanson, melaporkan bahwa kaisar Augustus menerima upeti besar (1000 talenta, yang setara dengan enam juta dinar) dari wilayah Herodes, dan pendapatan Herodes Antipas sendiri sangat tinggi (200 talenta, yang setara dengan 1,2 juta dinar).[vii] Sedangkan, pendapatan harian rata-rata hanya sekitar setengah hingga satu dinar.[viii] Kesenjangan besar ini mencerminkan sistem yang eksploitatif dalam industri perikanan Romawi. Seperti yang juga diungkapkan oleh Alicia Batten, “meskipun nelayan yang kita temui dalam Injil mungkin tidak semuanya kelaparan, cukup beralasan untuk berpikir bahwa mereka dibebani dengan regulasi yang ketat, pajak, dan tol, hanya untuk melihat banyak keuntungan jatuh ke tangan pemungut pajak dan penguasa.”[ix]
Selain itu, berdasarkan hubungan pedesaan-kota antara polis dan chôra, Myles dan Kok menegaskan bahwa nelayan Galilea berada dalam posisi yang dieksploitasi. Mereka, sebagai penduduk wilayah pedesaan, dimanfaatkan untuk melayani kebutuhan kota. Bukti tekstual dari kelompok elit kota jarang mencerminkan rasa hormat terhadap kehidupan nelayan yang dianggap lebih rendah.[x] Seperti ditunjukkan Alicia Batten, penulis kuno seperti Plautus dan Ovid menggambarkan kehidupan nelayan sebagai yang miskin dan menyedihkan, serta kerap dianggap tidak maskulin karena pekerjaannya.[xi]
Demikian lah eksploitasi dan penindasan yang terjadi pada Laut Galilea dan para nelayannya. Sistem Romawi memaksa para nelayan untuk menangkap sebanyak mungkin ikan dari Laut Galilea demi memenuhi kebutuhan mewah segelintir elit. Para nelayan tentu mendapatkan makanan dan keuntungan, tetapi mereka tetap berada jauh dari kesejahteraan. Keuntungan terbesar dinikmati orang-orang kaya, sementara masyarakat biasa dan para nelayan yang bekerja di sana justru mengalami penderitaan. Selain itu, sistem ini juga memperlihatkan wujud dari klaim Kaisar Romawi sebagai pemilik dan tuhan atas laut, sungai, danau, dan seluruh perairan lainnya. Ini menjadi bukti betapa Kekaisaran Romawi mengendalikan dan menguasai sumber daya laut (dan tanah) sepenuhnya.
Lalu, bagaimana pemahaman ini membantu kita dalam melihat pengajaran dan pelayanan Yesus yang berkaitan dengan tanah dan Laut Galilea?
Meski bukan fokus utama tulisan ini, baiklah saya sedikit menjelaskan pemahaman saya terhadap Markus 6:30-44 menurut wawasan tentang dunia perikanan Laut Galilea di atas. Dalam pandangan saya, tindakan Yesus memberi makan orang banyak dengan dua ikan dari Laut Galilea adalah bentuk perlawanan Yesus terhadap sistem Romawi yang eksploitatif dan menindas itu—baik kepada Laut Galilea, para nelayan, maupun orang-orang kecil di Galilea. Yesus mengajarkan bahwa ke-tuhan-an yang benar atas laut diwujudkan dengan membagikan ikan segar (bukan ikan kering atau asin) kepada orang banyak, makanan yang biasanya hanya dinikmati orang kaya pada saat itu.[xii] Seperti yang ditegaskan oleh Raj Nadella, tindakan Yesus ini adalah protes terhadap cara penguasaan sumber daya yang hanya menguntungkan kaum elit. Yesus menawarkan pendekatan yang berbeda, yaitu berbagi sumber daya secara merata (economy of sharing).[xiii] Sebab, Laut Galilea juga diberkati Tuhan untuk mendukung kehidupan semua makhluk (band. Kej. 1:20-22), terutama orang-orang kecil.[xiv]
Melalui peristiwa ini, orang banyak di desa-desa Galilea menjadi penerima makanan yang membawa kehidupan, yang disediakan oleh laut. Artinya, pekerjaan para nelayan Galilea seharusnya memberi manfaat bagi semua orang, termasuk mereka sendiri, karena mereka bekerja bukan untuk Kekaisaran Romawi, melainkan untuk Kerajaan Allah. Para nelayan ini bukan bekerja untuk memperkaya segelintir orang berkuasa, melainkan untuk menjamin kesejahteraan hidup mereka sendiri dan orang banyak melalui hasil laut. Nelayan menjadi perpanjangan tangan laut dalam mewujudkan perannya untuk kehidupan.
Jadi, bagaimana pesan ini berbicara tentang peran tanah dan laut di tengah krisis ekologis yang kita hadapi saat ini di tempat kita masing-masing? Selamat berefleksi!
[i] Elia Maggang, “Blue disciple: A Christian Call for the Sea in Peril,” International Journal of Public Theology 16, no. 3 (2022): 320-336.
[ii] Kenneth C. Hanson, “The Galilean fishing economy and the Jesus tradition,” Biblical Theology Bulletin 27, no. 3 (1997): 99-111.
[iii] Raimo Hakola, “The Production and Trade of Fish as Source of Economic Growth in the First Century CE Galilee: Galilean Economy Reexamined,” Novum Testamentum 59. no. 2 (2017): 111-130.
[iv] John S. Kloppenborg, “Jesus, Fishermen and Tax Collectors: Papyrology and the Construction of the Ancient Economy of Roman Palestine,” Ephemerides Theologicae Lovanienses 94, no. 4 (2018): 571-599.
[v] Robert J. Myles dan Michael Kok. “On the implausibility of identifying the disciple in John 18: 15–16 as a Galilean Fisherman,” Novum Testamentum61, no. 4 (2019): 367-385.
[vi] Ibid., 381-382.
[vii] Hanson, 102.
[viii] Kloppenborg, 597 (footnote 94).
[ix] Alicia J. Batten, “Fish tales,” Biblical Theology Bulletin 47, no. 1 (2017), 10.
[x] Myles dan Kok, 82.
[xi] Ibid., 9.
[xii] Ibid., 5-12.
[xiii] Raj Nadella, ‘The Two Banquets: Mark’s Vision of Anti-Imperial Economics’, Interpretation, 70:2 (2016), 172-174.
[xiv] Band. Elia Maggang, “Blue diakonia: the mission of Indonesian churches for and with the sea.” Practical Theology 16, no. 1 (2023): 43-54.