Pendahuluan
Pendidikan merupakan salah satu sarana pelayanan gereja yang penting. Sejarah masa lampau telah menunjukkan bahwa dalam konteks gereja, pendidikan merupakan pintu masuk bagi pemberitaan Injil. Pendidikan dipercaya sebagai sarana yang efektif untuk meningkatkan kualitas dan kepenuhan hidup manusia. Mewujudkan pendidikan yang baik bagi generasi bangsa merupakan tugas mulia yaitu melaksanakan amanat Agung Yesus Kristus.
Pendidikan dan gereja dikatakan juga sebagai “saudara kembar”. Sifat kembar itu terlihat dalam sejarah masa lampau yang mengindikatifkan upaya penyebarluasan pendidikan Kristen bersamaan dengan penyebarluasan gereja (Injil) di berbagai tempat, bahkan menembus wilayah pelosok. Sekalipun demikian penyebarluasan pendidikan yang sedemikian masiv, tidak diikuti dengan upaya peningkatan kualitas yang selaras dengan kebutuhan dan tuntutan zaman. Pendidikan dan gereja juga tidak selamanya berkembang sejajar dalam sejarah, karena pada masa tertentu justru kedua “saudara kembar” tersebut saling “memunggungi” satu sama lain. Di mana gereja fokus pada tugas-tugas pelayanan secara internal, sementara lembaga pendidikan berjuang sendiri dari keterbatasannya.
Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) telah lama menjadikan pendidikan sarana pelayanan. Di mana keberadaan Pendidikan Kristen telah memperlihatkan sejarah yang panjang. Dimulai dari Abad 18 (1739) dari sekolah pertama di Fiulain, Thie, Rote[1]. Dipastikan sudah lebih dari dua setengah abad gereja berjuang dan bergumul dengan pelayanan di bidang pendidikan, namun sering diwarnai dengan masa pasang surut. Perjuangan[2] dan pergumulan GMIT dalam bidang pendidikan bukanlah hal yang mudah, sebab sejarah mencatat bahwa lembaga-lembaga pendidikan Kristen di bawah naungan GMIT mengalami masa sulit yang cukup panjang dengan masa keemasan yang sangat singkat pada akhir dekade 1970-an. Pada akhir dekade 1970-an sampai awal 1980-an sekolah-sekolah GMIT memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kemajuan pendidikan di wilayah NTT, tampak dari berkembangnya sekolah-sekolah Kristen di berbagai jenjang di sejumlah daerah yang menjadi basis pelayanan GMIT, seperti Kupang, So’E dan Alor.
Tiga Hambatan di Masa Lampau
Masa keemasan[3] ini tidak mampu bertahan lama, meskipun secara teknis pengelolaan pendidikan GMIT ditangani oleh lembaga yang didirikan khusus untuk menangani pelayanan gereja di sektor ini. Bila dicermati secara lebih mendalam maka ditemukan tiga faktor utama yang menghambat kemajuan lembaga-lembaga pendidikan Kristen di bawah asuhan GMIT. Pertama, pendidikan di masa kolonial menjadi bagian dari praktik diskriminasi terhadap anak-anak pribumi. Di mana, tidak semua anak-anak pribumi dapat mengakes pendidikan yang layak. Di jenjang bawah, terdapat 3 (tiga) kasta sekolah, kasta teratas yakni Europesche Lager School (ELS), hanya bisa dimasuki oleh anak-anak kulit putih dari orang Eropa. Ada Hollandsche Inlandsche School (HIS), hanya bisa dimasuki oleh anak-anak pribumi dari kalangan bangsawan (priyayi). Kemudian ada Volk school,yakni untuk anak-anak dari rakyat jelata. Praktik ini jelas mematikan imaginasi anak-anak tentang masa depan yang lebih baik. Karena selain kurikulum yang sangat terbatas juga karena tidak diajarkan oleh guru yang kompeten.
Kedua, orientasi di masa lalu dalam membangun pendidikan adalah cenderung memperbanyak sekolah-sekolah agar dapat dijangkau oleh jemaat dan rakyat. Di masa lampau yang terpenting adalah anggota jemaat dan rakyat tidak buta huruf, mereka harus bisa membaca termasuk membaca kitab suci, mereka harus menjadi orang-orang pandai dan dapat mengisi pos-pos yang dibutuhkan saat itu, baik di bidang pemerintahan maupun pelayanan sosial. Itulah sebabnya memperbanyak sekolah-sekolah adalah suatu keniscayaan. Kecenderungan ini justru memunculkan suatu dilema baru, sebagaimana tesis[4] dari Wertheim (Sosiolog Belanda), sekitar awal 1960, yang berjudul “Betting on the strong or on the many”. Bahwa manakah yang harus dipilih Indonesia yang tertinggal dalam dunia pendidikan dan keilmuan? Ia sampai pada kesimpulan sambil memahami keputusan Indonesia yang cenderung memilih―jumlah yang banyak, bukannya ―kualitas yang tinggi. Jumlah sekolah yang banyak menimbulkan implikasi pada minimnya perhatian terhadap kualitas.
Ketiga, rendahnya kepedulian terhadap pendidikan Kristen, membuat sekolah-sekolah GMIT hanya bertumbuh secara alamiah, dan takala menghadapi tuntutan peraturan pemerintah, termasuk standarisasi pendidikan nasional, di titik itulah kebanyakan sekolah-sekolah GMIT pasrah. Sekalipun ada yang mampu bangkit, terutama saat berada di tangan orang-orang yang tepat dengan ekosistem daerah yang kondusif, menjadikan beberapa sekolah GMIT berkembang dengan baik.
Itulah sebabnya secara umum, keberadaan sekolah-sekolah GMIT selalu dipersepsikan minor oleh khalayak banyak. Walaupun keberadaan sekolah-sekolah GMIT dekat dengan gereja (jemaat-jemaat lokal), akan tetapi jauh dari perhatian gereja. Hal ini disebabkan oleh karena belum ada suatu tata kelola yang mengatur bagaimana jemaat-jemaat GMIT dapat mengambil bagian dalam pengelolaan sekolah GMIT, sehingga perlu diatur pola hubungan antarsatu lingkup dengan lingkup lainnya untuk mewujudkan tata kelola yang baik. Misalnya antara Sinode dengan Yapenkris, antara Sinode dengan Klasis, antara Sinode dengan Jemaat, dan antara Sinode dengan Sekolah. Antara Yapenkris dengan Sekolah, antara Yapenkris dengan Klasis, dan antara Yapenkris dengan Jemaat. Antar Sekolah dengan Klasis dan antara Sekolah dengan Jemaat.
Perhatian GMIT kembali memunculkan harapan, manakala di tahun 2019 melalui persidangan Sinode GMIT XXXIV di Jemaat GMIT Paulus Kupang, telah ditetapkan kebijakan revitalisasi Pendidikan Kristen GMIT, meliputi Grand Design Pendidikan Kristen GMIT 2020-2031, Tata Kelola Pendidikan Kristen GMIT, dan Roadmap Pendidikan Kristen GMIT 2020-2023. Dalam Grand design telah dirumuskan visi pendidikan Kristen GMIT, yakni “Menjadi pendidikan Kristen yang Menghasilkan Generasi Berhikmat, Pancasilais, dan Mampu Bergaul dengan Bangsa-Bangsa Tahun 2031.” Visi dimaksud dielaborasi ke dalam misi, tujuan, dan sejumlah kebijakan strategis yang diharapkan dapat menjadi acuan bagi semua pihak untuk membenahi dan mengembangkan sekolah GMIT.
Setelah ditetapkannya 3 (tiga) dokumen revitalisasi Pendidikan Kristen dimaksud, diikuti dengan revitalisasi YAPENKRIS, yakni reorganisasi kepengurusan YAPENKRIS, baik organ Pembina, Pengurus, dan Pengawas. Sekalipun demikian langkah ini belum berjalan lancar, oleh karena terdapat sejumlah kendala, mulai dengan proses reorganisasi dan restrukturisasi yang belum berjalan normal, keabsahan kepengurusan periode-periode sebelumnya, dan data pengurus, apalagi kalau ada yang telah meninggal dunia (perlu didukung dengan akta kematian). Hal-hal ini diharapkan dapat diurus dengan serius. Pengurus yang telah memperoleh keabsahan dari Kementerian Hukum dan HAM RI diharapkan sudah harus mulai bekerja melaksanakan agenda-agenda revitalisasi pendidikan Kristen GMIT. Dimulai dengan penetapan Rencana Anggaran Pendapatan, Belanja dan Program Yayasan (RAPBPY).
Salah satu program yang dapat dikrit yakni kebijakan re–branding sekolah GMIT. Kebijakan ini dibuat sebagai upaya jawab terhadap sejumlah permasalahan yang dihadapi sekolah GMIT, baik dari segi guru, sarana prasarana, dan aspek pembiayaan sekaligus membangun ulang branding sekolah-sekolah GMIT. Sebab harus diakui bahwa bila ditilik dari segi pasar maka sesungguhnya teritori-teritori GMIT merupakan pasar yang sangat potensial bagi sekolah GMIT. Ketersebaran jemaat-jemaat di seluruh wilayah GMIT mengonfirmasi keberadaan anggota jemaat yang membutuhkan pendidikan. Bahwa di masa lampau jemaat-jemaat telah menjadikan sekolah GMIT sebagai pilihan utama bagi putra-putrinya. Secara umum masih mengandalkan segmentasi geografis maupun preferensi ideologis, namun belum menciptakan brand identity dan “stand out”yangdibutuhkanmasyarakat. Oleh karena itu perlu dibangun brand identity, yaitu bagaimana YAPENKRIS mampu menciptakan citra yang tepat di benak publik. Diperlukan kebijakan untuk menaikkan loyalitas masyarakat melalui “brand loyalty”,yaknikemampuan untuk menjaga agar masyarakat terus memercayai dan memilih sekolah Kristen karena brand tersebut.
Mengapa kebijakan yang dipilih? Studi yang dilakukan oleh Leonal Lim (2016), dalam artikel berjudul Globalization, the strong state and education policy: the politics of policy in Asia,mengatakan, negara yang kuat adalah negara yang berkepentingan dan memegang kendali kebijakan termasuk kebijakan pendidikan. Singapura merupakan salah satu negara di Asia yang mampu mengintervensi permasalahan publiknya melalu kebijakan yang berkualitas. Di antaranya pemberian beasiswa besar-besaran terhadap pelajar dan mahasiswa.
Sumbangan dari artikel Leonal Lim bagi pemikiran kita bersama untuk sekolah GMIT yakni pentingnya pendekatan kebijakan untuk mendorong transformasi. Kebijakan mendapat aksentuasi dalam pembangunan pendidikan, oleh karena itu hanya kebijakan yang berkualitas yang dapat menghasilkan inovasi dalam pembangunan sumber daya manusia. Sudah tentu kebijakan yang berkualitas lahir dari proses yang berkualitas pula.
Bahwa, ruwetnya permasalahan pendidikan hanya bisa didekati dengan kebijakan yang relevan sehingga dapat meresonansi dengan pemenuhan kebutuhan sekolah GMIT. Pengarusutamaan kebijakan sebagai strategi untuk menfasilitasi beroperasinya agenda-agenda revitalisasi pendidikan Kristen GMIT merupakan yang sangat penting dan mendesak.
Kebijakan Re-branding
Berangkat dari pemikiran di atas maka perlu dibuat kebijakan re–branding Sekolah GMIT melalui tahap-tahap tertentu. Dimulai dengan pra-kebijakan dan proses kebijakan. Kebijakan re–branding bisa berkaitan dengan re–branding administrasi, re–branding kurikulum dan sistem pembelajaran, re-brandinglatar fisik sekolah (citra visual), dan re-branding, program prestasi, dan budaya positif yang mempresentasekan karakter Kristus.
Larasati (2010) dalam studinya tentang Perancangan Strategi Kreatif Re–branding Griyo Kulo Desa Nglebak- Tawangmangu, berangkat dari permasalahan yang dikaji yakni bagaimana merancang strategi kreatif re-branding Griyo Kulo serta media yang diperlukan untuk mendukung kegiatan re–branding tersebut. Oleh karena itu perlu dibuat suatu perancangan strategi kreatif sebagai upaya untuk memperkenalkan identitas visual (visual identity) yang baru dari Griyo Kulo sehingga dapat membedakannya dengan kompetitor. Perancangan strategi kreatif re–branding Griyo Kulo dengan cara menguatkan image tradisional, etnik namun tetap simple dan sederhana. Pada tahap ini diciptakan sebuah nilai tambah atas suatu produk, baik berupa keunggulan fungsional maupun citra dan makna simbolis. Perancangan logo baru, perancangan identitas visual (visual identity), perancangan signage (tampilan grafis), serta media komunikasi visual diharapkan dapat berjalan efektif serta mampu meningkatkan loyalitas konsumen.
Begitu pula dalam perbaikan dan pengelolaan sekolah-sekolah GMIT diperlukan suatu kebijakan re–branding untuk meningkatkan citra positif. Penulis tidak ingin mengatakan bahwa Pendidikan Kristen juga harus mengikuti semua cara bisnis, akan tetapi paling tidak prinsip-prinsip bisnis dan strategi marketing perlu diadopsi dalam pengelolaan pendidikan, karena bagaimanapun pendidikan membutuhkan market yang luas sehingga perlunya membangun lembaga pendidikan yang dipercaya.
Harus diakui bahwa sistem pendidikan Kristen GMIT memang memerlukan kerangka pengelolaan yang baik. Ini tidak saja menyangkut sekolah, tetapi juga pihak-pihak eksternal sebagai pemangku kepentingan. Sudah semestinya pihak Yayasan memberi perhatian dalam mengupayakan peningkatan mutu pendidikan, tidak saja sebagai manifestasi dari UU Yayasan, tetapi juga perwujudan dari nilai-nilai gereja. Kita membutuhkan pengelolaan yang dinamis, koheren, saling bergantung secara komunal, berorientasi pada pelayanan dan berpusat pada Kristus. Pengelolaan sekolah GMIT perlu memanfaatkan social capital dan semangat komunal yang dimilikinya sebagai corak utama. Itulah sebabnya memaksimalkan semangat komunal dan mengonversikannya melalui kebijakan re–branding merupakan upaya yang memang ditunggu untuk meningkatkan daya ungkit Sekolah-sekolah GMIT. Selamat mengakhiri perayaaan Bulan Pendidikan 2024, namun tetap berutang padanya. ***
Fredrik Abia Kande adalah Dosen FKIP Universitas Tribuana, Anggota Majelis Sinode GMIT Bidang Pendidikan, dan Ketua Yapenkris Pingdoling Alor.
[1] Fox, J. J. (1977). Harvest of the palm. Ecological of change in eastern Indonesia.
[2] Grand Design Revitalisasi Pendidikan Kristen GMIT 2019-2031
[3] Ibid 5
[4] Mayling Oey-Gardiner Susanto Imam Rahayu Muhammad Amin Abdullah Sofian Effendi Yudi Darma Teguh Dartanto Cyti Daniela Aruan. (2017). Era disrupsi. peluang dan tantangan pendidikan tinggi di Indonesia.