Refleksi 21 Tahun Prosesi Pawai Kemenangan Paskah Pemuda Sinode GMIT
Oleh : Wanto Menda
Memasuki usia ke 21 tahun “Prosesi Pawai Kemenangan Paskah Pemuda Sinode GMIT”, sebuah perayaan tahunan yang dimotori Pengurus Pemuda Sinode GMIT tak luput dari sorotan banyak pihak terutama warga GMIT sendiri. Kendati sorotan yang dilontarkan ada benarnya – dan karena itu perlu dievaluasi – namun sumbangsih perayaan ini bagi penghayatan iman jemaat pantas diapresiasi. Lantas, apa bentuk sumbangsih itu?
Sepinya Perayaan Paskah
Tak bisa disangkali, sebelum lahirnya “Prosesi Pawai Paskah Pemuda GMIT”, perayaan paskah di seluruh jemaat-jemaat GMIT tak ubahnya dengan perayaan Kenaikan Tuhan Yesus, Pentakosta atau kebaktian lainnya yang sepi dari perhatian jemaat. Hal ini bahkan sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun sejak GMIT berdiri. Suasana yang sedikit membedakan praktik perayaan ini hanyalah waktu pelaksanaan yang biasanya digeser pada subuh atau saat fajar. Di sejumlah gereja, jemaat yang didominasi anak-anak sekolah minggu biasanya memeriahkan perayaan paskah dengan pawai obor mengelilingi kampung atau lingkungan sekitar gereja. Hanya sejauh itu.
Sementara di sisi yang lain perayaan Natal sungguh mendapat sambutan yang sangat luar biasa dalam kehidupan berjemaat. Bahkan sebelum memasuki bulan Desember gaung perayaan natal sudah terasa di mana-mana. Padahal secara teologis, pusat dari iman Kristen adalah kemenangan Kristus atas maut pada peristiwa Paskah bukan kelahiran-Nya.
Terkait sepinya perayaan Paskah oleh gereja-gereja di Indonesia khususnya di GMIT, Pdt. Prof. Dr. J.L.Ch. Abineno, yang pernah menjabat sebagai ketua sinode GMIT periode 1951-1960, dalam bukunya ”Pemberitaan Firman pada Hariraja2 Gerejani” (BPK-Jakarta 1970) menulis demikian, “Kalau dibanding dengan hari raya Jumat Agung, hari raya kebangkitan (Paskah) tidak begitu mengesankan….Bukan saja anggota-anggota jemaat, juga pendeta-pendeta tidak berdaya “menciptakan” suasana gembira dalam perayaan Paskah.”
Padahal, sebagaimana ajakan Ketua sinode GMIT, Pdt. Dr. Mery Kolimon dalam suara gembala, “Paskah adalah moment merayakan kasih Allah yang universal yang tidak membedakan manusia karena etnis, agama, ras, dan status sosial. Karena itu kami mengajak jemaat-jemaat GMIT dan semua orang kristen yang merayakan Paskah agar merayakan Paskah dengan sukacita dan keceriaan sebagai bentuk syukur kemenangan Kristus atas maut,” demikian seruan Ketua Majelis Sinode GMIT pada acara pembukaan pawai kemenangan Paskah Pemuda Sinode GMIT, Senin, 17/04-2017 bertempat di depan gereja GMIT Anugerah Eltari – Kupang.
Gerakan Pemuda GMIT
Syukur, 26 tahun setelah Abineno menulis keprihatinannya, BP Pemuda GMIT tampil dan berani “pasang badan” untuk “menciptakan” sebuah “budaya” baru dalam perayaan Paskah yang diharapkan bisa mengubah “kiblat” jemaat-jemaat GMIT yang terlanjur “jatuh cinta” pada perayaan natal. Atau setidaknya mampu menghadirkan suasana gembira pada hari Paskah seperti yang diimpikan Abineno, satu-satunya profesor teologi yang pernah dimiliki GMIT.
Itulah tujuan mula-mula BP Pemuda GMIT menggelar pawai Paskah. Dengan segala daya dan kreatifitas, mereka mengajak jemaat-jemaat GMIT memahami dan menghayati kebangkitan Tuhan Yesus secara lebih mendalam – seperti apa yang Rasul Paulus katakan, “Jika Kristus tidak dibangkitkan maka…sia-sialah kepercayaan kamu” (1 Kor. 15: 14) – melalui sebuah prosesi perayaan yang berkelanjutan. Dan, hasilnya mengejutkan. Minat peserta melonjak hingga seratusan rombongan. Diperkirakan jumlah rata-rata peserta setiap tahun menembus angka 10 ribu orang dengan penonton yang berjejal sepanjang rute yang dilalui berkisar 250 ribu orang. Sebuah angka yang fantastis.
Di titik inilah peran pemuda GMIT patut dihargai. Mereka sukses mengembalikan marwah perayaan Paskah yang dulunya adem ayem, kini menjadi ajang sukacita yang senantiasa dinanti-nantikan. Bukankah semua orang mafhum, mengubah tradisi ibarat menunggu kucing bertanduk? Namun kesulitan itu mampu di tepis. Terbukti 21 tahun berjalan perayaan ini berhasil menyedot perhatian publik bukan hanya jemaat-jemaat GMIT melainkan juga denominasi Kristen termasuk komunitas lintas agama .
Disadari atau tidak, keberhasilan pemuda GMIT mengangkat hari raya Paskah dari perayaan yang biasa-biasa menjadi perayaan yang penuh sukacita membuktikan bahwa pemuda GMIT merupakan salah satu kekuatan Gereja yang bisa diandalkan. Mereka adalah gereja masa kini dan masa depan yang mampu menciptakan terobosan-terobosan yang bahkan para pendeta sendiri gagal melakukannya.
Alhasil, perlahan namun pasti tradisi perayaan paskah di lingkungan GMIT terus tumbuh dan menunjukkan perkembangan yang menarik. Setidaknya perayaan ini mendapat porsi yang tidak kalah penting dibanding perayaan natal. Jemaat-jemaat GMIT baik di desa maupun di kota kini setiap tahun antusias berlomba mengisi perayaan ini dengan aneka kegiatan yang positif. Hal yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Tantangan ke depan
Di tahun 2017 atau 21 tahun hadirnya pawai Paskah di wilayah Kota Kupang, panitia pelaksana kegiatan tak luput dari gempuran kritik. Bahkan sejak awal, kegiatan ini dianggap oleh sebagian orang sebagai pemborosan anggaran, hura-hura, penyebab sampah, sarat kepentingan, show force dll. Terhadap kritikan tersebut BP pemuda sinode GMIT dan panitia perayaan terus berbenah.
Namun, belakangan kritik tersebut bergeser dari yang sifatnya teknis kepada hal-hal substantiv dari pawai itu sendiri. Di media sosial, banyak netizen mengkritisi peran-peran yang menurut mereka dari tahun ke tahun “itu-itu saja”. Salah satu tokoh pemuda, Dany Manu menulis komentar, “Kalau disebut pawai Paskah maka yang ditampilkan jangan cerita anak sekolah minggu. Bagi saya, formatnya harus diubah supaya tidak monoton.” Dany Manu mengusulkan, skenario peran tidak linear dari kisah Kejadian – Wahyu, melainkan dibuat dalam bentuk tematis, semisal menampilkan isu-isu strategis seperti lingkungan hidup, HAM, kekerasan, trafficking, kemiskinan, korupsi, radikalisme, narkoba, dll.
Senada dengan itu, Dani Pattinaja, staf pengajar STAKN-Kupang, bidang musik gereja menyayangkan peran-peran yang dilakonkan peserta tidak cukup memunculkan pesan-pesan teologis dari tema yang diperankan sehingga khalayak sulit menangkap pesan dari setiap adegan padahal sumber daya yang dihabiskan untuk kegiatan ini tidaklah sedikit.
Harapan
Kritik dan saran-saran tersebut pertanda bahwa Prosesi Pawai Kemenangan Paskah Pemuda Sinode GMIT telah melekat di hati jemaat. Ia kini bukan semata-mata milik GMIT. Ia telah menjadi milik publik. Bahkan ada juga suara-suara yang mengharapkan di masa mendatang prosesi pawai ini bisa menjadi ikon wisata rohani. Meski terkesan menarik, ini harapan yang saya tidak harapkan. Karena menurut saya GMIT bukan gereja yang dipanggil Tuhan untuk mengurusi wisata rohani. Jika kemudian, kekayaan budaya menjadi bagian yang terintegrasi dan menjadi daya tarik wisata dalam perayaaan tersebut, itu bukan dimaksudkan untuk dipariwisatakan oleh gereja melainkan itu adalah upaya gereja merawat (konservasi) kekayaan budaya sebagai anugerah Tuhan.
Oleh karena itu tuntutan untuk meningkatkan mutu prosesi pawai dari segi seni pertunjukan maupun pesan-pesan teologis yang mengakomodir isu-isu lokal maupun nasional tidak boleh dianggap enteng. Pawai Paskah sebagaimana pernyataan Pdt. Dr. Mery Kolimon adalah sebuah ibadah. Sebuah sarana kesaksian iman tentang kasih Allah. Karena itu, sudah saatnya ia sungguh-sungguh didukung oleh jemaat-jemaat GMIT, dikelola secara kreatif, kritis dan inovatif agar menjadi berkat bagi gereja, masyarakat dan untuk kemuliaan Tuhan. Selamat Paskah!