“Walaupun Allah tidak menghakimi mereka yang bercerai atas alasan yang mendasar dan sesuai hukum yang berlaku, namun Allah bermaksud supaya pernikahan tidak dapat diganggu gugat.” –John Calvin[1]
Pengantar
KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Dalam makalah ini kami akan berupaya untuk merekonstruksi revolusi dalam pemahaman tentang pernikahan dan perceraian yang dihasilkan oleh Reformasi Protestan pada abad ke16, dan dilestarikan dalam ajaran dan peraturan gereja-gereja Reform. Ulasan historis ini masih relevan, terutama karena hasil dari pergumulan para reformator telah menciptakan bingkai hukum gereja yang di dalamnya kita (termasuk gereja-gereja dalam tradisi Reform di Indonesia) masih bergumul sampai sekarang.[2]
Sebelum kita masuk ke dalam pembahasan yang lebih sistematis tentang pernikahan dan perceraian dalam masa Reformasi, ada beberapa perspektif umum yang akan menolong memberi orientasi.
Yang pertama, perceraian merupakan sebuah masalah teologi pastoral yang klasik: kita harus mencari padanan di antara kebenaran dan kenyataan, apa yang semestinya dan apa yang mungkin. Misalnya, pernyataan Calvin yang dikutip di atas mengandung sebuah paradox: perceraian diperbolehkan (dalam keadaan tertentu), walaupun tidak sesuai kehendak Allah. Dalam tafsirannya terhadap Mat. 19:3-9, Calvin mengungkapkan dilema yang terus menghantui refleksi gereja tentang perceraian: kita senantiasa terjepit di antara maksud Allah yang mulia dalam pernikahan dan kekerasan hati manusia yang berdosa (Mat. 19:8). Dari satu segi perceraian mencerminkan kegagalan manusia untuk memelihara berkat yang Tuhan berikan dalam pernikahan; dari segi lain kalau perceraian sama sekali dilarang, itu sama dengan tidak mengakui kegagalan tersebut. Berdosa memang salah; menyadari dosa tapi bertahan terus dalam keadaan yang memicu dosa adalah salah juga. Dalam menghadapi perceraian, kita ditantang bukan hanya untuk menegakkan kebenaran, tapi untuk menangani hal yang tidak benar dengan cara yang bijaksana dan injili. Dengan demikian refleksi teologis tentang perceraian selalu terjadi dalam sebuah dialektika di antara berkat dan dosa, hukum dan anugerah. Dalam makalah ini kita akan masuk ke dalam sebuah hutan masalah, dan kesadaran akan dialektika ini akan menolong kita untuk mencari jalan. Tujuan dari pembahasan ini adalah untuk menemukan pola penanganan terhadap perceraian yang memadai secara teologis (sebagaimana terwujud dalam hukum gereja) dan efektif secara pastoral.
Hal kedua yang membingkai pembahasan ini adalah bahwa, baik dari segi hukum gereja maupun dari segi pastoral, tidak ada perceraian yang “umum.” Yang bercerai selalu ada seorang suami dan seorang istri tertentu, masing-masing dengan kepribadiannya, dan dengan riwayat hidup bersama yang unik. Seringkali sikap kita terhadap kemungkinan perceraian bergantung pada contoh mana yang ada di benak pikiran kita. Yang seorang mengingat kasus seorang pengusaha yang mau tukar istri “model lama” yang sabar dan setia tapi sudah setengah baya, dengan istri “model baru” yang lebih cantik dan keren. “Tidak boleh!” adalah jawaban kata hati kita (sejajar dengan tanggapan Yesus dalam Mat. 19). Yang seorang lain mengingat seorang perempuan yang berulang kali dipukul secara sadis oleh suaminya; sudah ada gigi dan tulang yang patah, dan setelah anak-anak mereka makin dewasa, kekerasan suami mulai merambat pada anak-anak juga. Ketika ibu ini minta cerai demi keselamatan diri dan anaknya, kata hati kita menjawab, “Kasihan. Mungkin itu yang kurang buruk di antara kemungkinan yang buruk.”
Para reformator menghadapi masalah ini juga. Dari satu segi mereka berupaya untuk menerapkan peraturan tentang perceraian yang berlaku umum dan memberi kepastian hukum. Dari segi lain, mereka berhadapan dengan kasus-kasus yang membuat mereka “tidak sampai hati” memberlakukannya secara ketat. Misalnya, ada seorang perempuan yang disiksa terus oleh suaminya karena dia masuk Protestan, padahal tidak ada ketentuan dalam peraturan tentang perceraian yang memungkinkan orang bercerai atas dasar kekerasan. Namun Calvin dan sesama anggota konsistori sepakat bahwa perempuan tersebut boleh meninggalkan suaminya asal dia sungguh takut akan keselamatan nyawanya.
Pembahasan para sejarawan terhadap notulen rapat konsistori, baik di Genewa maupun di daerah reformasi yang lain memberi gambaran yang baru, bahwa dalam keputusan kasus demi kasus, sering para magister gereja lebih luwes dari apa yang ditetapkan dalam peraturan formal.[3] Mengingat bahwa teologi Reformasi sangat menjunjung tinggi suara hati setiap orang, wajar saja kalau ada saat di mana suara hati diutamakan di atas hukum formal.
Hal ketiga yang perlu diamati menyangkut prinsip sola scriptura. Dalam upaya untuk meninjau kembali pernikahan dan perceraian dalam terang teologi Reform, prinsip sola scriptura menjadi pilihan pertama. Namun, ternyata ada sejumlah hal di mana dasar-dasar Alkitab tidak memadai atau bertolak belakang. Misalnya, para reformator ditantang oleh sejumlah tokoh reformasi “sayap kiri” yang mau kembali pada poligami, dengan alasan bahwa poligami dibenarkan oleh Alkitab. Dari sisi lain, mereka menemukan bahwa baik Yesus maupun Rasul Paulus tidak terlalu mengutamakan pernikahan. Yesus justru lebih banyak mengeritik ideologi keluarga patriarkal pada zamannya daripada mempromisikan pernikahan.[4] Rasul Paulus menganjurkan supaya jangan menikah, kecuali tidak bisa bertahan. “Lebih baik menikah daripada hangus” (I Kor. 7:9) bukan pujian yang terlalu meyakinkan. Pandangan-pandangan yang demikian kurang menguntungkan para reformator yang sedang melawan pendirian Katolik bahwa hidup selibat adalah panggilan yang lebih tinggi daripada pernikahan.
Masalah ambiguitas Alkitab terhadap pernikahan akhirnya dihadapi langsung oleh Martin Bucer, yang berusaha mencari landasan secukupnya untuk mendukung keyakinannya bahwa pernikahan harusnya bersifat monogami dan berdasarkan cinta kasih di antara suami dan istri. Gagal menemukan pendekatan ayatiah yang cukup memadai, Bucer (mengikuti Luther sebelumnya) akhirnya memutuskan untuk mendasari peraturan pernikahan dan perceraian atas sebuah teologi pernikahan yang komprehensif dan bukan lagi atas dasar perikop-perikop tertentu.[5] Kalau kita mau menghindari “perang ayat” yang tidak berkesudahan sampai sekarang, ada baiknya kita belajar dari Bucer dan Luther dan sedikit melonggarkan prinsip sola scripturadalam hal yang memang tidak terjangkau secara sistematis oleh Alkitab.
Hal yang terakhir, dan hal yang langsung mengantar kita pada pembahasan yang sistematis tentang rekonstruksi pernikahan dan perceraian oleh para reformator adalah sebuah pertalian logis saja: makna dan peraturan perceraian adalah implikasi dan konsekwensi dari makna dan peraturan pernikahan. Tidak ada perceraian tanpa adanya pernikahan lebih dulu, dan setiap ketentuan mengenai perceraian berakar dalam sebuah ketentuan mengenai pernikahan.
Dalam pemaparan berikut, akan dibahas secara singkat status teologis pernikahan, maksud/fungsi pernikahan, dan persyaratan untuk menikah. Kemudian, berdasarkan prinsip-prinsip dasar itu, kita akan melihat implikasinya masing-masing bagi perceraian. Sumber-sumber utama untuk pokok-pokok ini adalah karya Luther, Calvin, Zwingli, dan Bucer, dengan perhatian khusus pada karya Calvin dalam Peraturan tentang Pernikahan di Genewa, 1546. Pengembangan pemahaman dan perangkat hukum tentang pernikahan dan perceraian dalam tradisi Reform adalah proses kumulatif yang berkepanjangan, sehingga kami akan memberi gambaran pada produk akhir dari proses ini tanpa terlalu melihat perkembangannya langkah demi langkah.
Pernikahan: Sakramen atau Kontrak?
Pernikahan adalah lembaga yang lebih tua dari iman Kristen, baik dalam sejarah Israel maupun di wilayah-wilayah pekabaran injil. Itu berarti bahwa kalau kita menyebut “Nikah Masehi” kita berbicara tentang sebuah hasil interaksi di antara iman Kristen dan budaya pernikahan setempat.
Interaksi tersebut telah terjalin sejak awal kekristenan. Ketika Yesus melakukan mujizat air menjadi anggur di Kana, Ia sedang menghadiri sebuah pesta nikah adat (sebagai tamu, bukan sebagai pendeta!). Yesus menyediakan anggur atas permintaan ibuNya supaya tuan pesta jangan dapat malu, bukan untuk “menjunjung tinggi pernikahan” sebagaimana biasa dikatakan dalam liturgi kita. Walaupun Yesus mengambil sikap kritis terhadap sejumlah aspek pernikahan pada zamannya, termasuk keluarga patriarkis (Mat. 10:34-36), kemudahan laki-laki untuk menceraikan istrinya (Mat. 19:8-9), dan sikap terhadap perzinahan yang tidak memihak pada perempuan (Yoh. 8:2-10); namun Yesus rupanya tidak menetapkan peraturan khusus tentang pernikahan bagi para pengikutnya. Yang penting, pernikahan dan kehidupan berkeluarga jangan menghambat penyebaran Injil: “Jikalau seorang datang kepadaKu dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, istrinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi muridKu” (Luk. 14:26).
Demikian juga dalam gereja purba, tidak terdapat sebuah liturgi atau ritus normatif untuk pemberkatan nikah (lain halnya dengan baptisan dan perjamuan). Praktek yang pada umumnya terjadi adalah bahwa gereja mengakui aturan pernikahan dari kebudayaan setempat. Dalam wilayah seperti Kekaisaran Romawi yang memiliki perangkat hukum formal, pernikahan dipandang sebagai sebuah kontrak di antara suami dan istri (atau orang tuanya), dan pandangan itu diterima sebagai norma dalam gereja.[6] Kebiasaan-kebiasaan seperti cincin, gaun putih, dan kue pengantin merupakan praktek adat perkawinan Eropa, dan bukan ketentuan gereja. Walaupun dianjurkan supaya perjanjian nikah di antara suami dan istri sebaiknya disaksikan oleh jemaat dan didoakan oleh uskop atau para presbiter, namun pemberkatan kontrak nikah oleh gereja tidak dianggap wajib selama berabad-abad. Pola seperti ini berlaku di Eropa sampai zaman Reformasi.
Langkah pertama yang membawa pernikahan di bawah payung gereja terjadi pada tahun 1184, ketika Konsili Verona menetapkan pernikahan sebagai sebuah sakramen. Pernyataan Konsili ini menanggapi sekte Kathar yang menganggap pernikahan (dan semua hubungan seks) sebagai dosa. Memang sejak zaman Paulus (band. I Kor. 7:8-9) ada sebuah pandangan umum dalam gereja bahwa hidup selibat lebih baik dan lebih suci daripada pernikahan, dan menikah merupakan pilihan kedua bagi orang yang tidak sanggup untuk hidup selibat. Tapi kelompok Kathar lebih ekstrim dalam pandangannya: mereka menganggap seks sebagai sebuah kejahatan dan nikah sebagai dosa. Menanggapi sikap itu, gereja menyatakan bahwa pernikahan adalah bagian dari tatanan penciptaan dan sebuah wadah yang menyampaikan anugerah Allah kepada manusia. Walaupun pernikahan sudah dinyatakan sebagai sakramen, namun masih tidak ditetapkan sebuah liturgi khusus atau keharusan untuk diberkati oleh seorang pastor (hal yang baru ditetapkan secara am dalam Gereja Katolik Roma pada 1908). Pernikahan adat masih berlaku sebagai norma, dan pelaksana sakramen pernikahan adalah pasangan nikah itu sendiri dalam persatuannya baik jasmani maupun rohani.
Perkembangan berikut terjadi pada zaman Reformasi. Para reformator menjadi prihatin terhadap sejumlah praktek yang dapat dikatakan penyalahgunaan pernikahan adat: terutama pernikahan anak dan pernikahan rahasia. Pernikahan anak telah berkembang menjadi sejenis perdagangan manusia, sedangkan pernikahan rahasia dilakukan untuk melangkahi keberatan orang tua atau untuk menyembunyikan poligami. Menanggapi hal ini, gerakan Reformasi mendorong supaya pernikahan bagi warga gereja dilakukan oleh seorang pendeta di depan saksi dari jemaat.
Pada saat yang sama, para reformator sedang meninjau kembali sistem sakramental yang telah berkembang dalam gereja Katolik, termasuk status pernikahan. Bagi mereka, pernikahan tidak memenuhi syarat sebagai sebuah sakramen oleh karena tidak ada perintah dari Yesus untuk menikah seperti yang ada untuk membaptiskan orang atau melakukan perjamuan sebagai peringatan akan Dia. Jelas juga, bukan semua warga gereja sempat menikah sedangkan semua anggota gereja ikut baptisan dan perjamuan. Selain itu, pernikahan tidak disertai sebuah janji dari Allah yang menyangkut keselamatan manusia.[7]
Oleh karena pertimbangan-pertimbangan seperti di atas, para reformator mengembalikan pernikahan pada status sebelumnya, sebagai sebuah kontrak atau kesepakatan adat. “Pernikahan bukan sebuah lembaga sakramental dalam Kerajaan Surgawi, melainkan sebuah lembaga sosial dalam kerajaan duniawi.”[8] Pandangan ini berdampak besar pada beberapa aspek pernikahan yang mendasar:
- Gereja mengakui bahwa pernikahan bukan lagi wilayah kedaulatan gereja saja, melainkan bahwa pemerintah sipil memiliki kepentingan yang sah dalam mengurus pernikahan: demi penertiban prilaku seks, penataan harta milik dan warisan, penetapan tanggung jawab untuk anak-anak, dsb. Gereja tetap memiliki tanggung jawab pastoral dan spiritual, tapi sekarang kewenangan untuk menata pernikahan dimiliki bersama dengan pemerintah setempat. Di Genewa, itu berarti bahwa Konsistori bekerja sama dengan Dewan Kecil (semacam pengadilan kota) sesuai ketentuan yang dimuat dalam Peraturan Pernikahan 1546, karya Calvin sendiri. Proses yang diterapkan sebagai berikut:
“Semua kasus pernikahan menyangkut relasi suami-istri (kecuali urusan harta milik) pertama-tama dibawa ke konsistori, di mana sedapat mungkin dapat diselesaikan dengan baik di hadapan Tuhan. Kalu ternyata ada aspek hukum yang perlu diadili, maka kedua bela pihak akan dirujuk pada dewan Genewa disertai pendapat konsistori supaya kasus mereka diputuskan.”[9]
Kalau di Genewa dewan kota dan bukan konsistori yang berhak memutuskan kasus-kasus perceraian, di Zurich Zwingli berhasil membentuk sebuah dewan yang bergabung pihak gereja dan pihak pemerintah untuk menangani kasus-kasus pernikahan dan perceraian secara bersama-sama.
- Secara teologis, pernikahan beralih dari ordo salutis(tatanan keselamatan) kembali pada ordo creationis(tatanan penciptaan). Pernikahan adalah ketetapan Allah dalam penciptaan sebagai sarana reproduksi, dan karena itu menyangkut seluruh umat manusia, bukan hanya orang Kristen. Walaupun pernikahan tetap dianggap sangat penting bagi gereja sebagai wadah untuk mengendalikan hawa nafsu dan membesarkan anak dalam iman, namun status seseorang di hadapan Tuhan tidak ditentukan oleh status pernikahannya.
- Oleh karena pernikahan adalah bagian yang alami dari status kita sebagai makluk ciptaan Tuhan, maka kaum klerus juga boleh menikah (dan sangat didorong untuk menikah) tanpa dampak negatif terhadap panggilannya. Memaksa orang untuk hidup selibat dianggap berlawanan dengan rencana Tuhan dalam penciptaan (walaupun tidak disangkali ada segelintir orang yang memiliki karunia untuk hidup selibat). Singkatnya, dalam hal pernikahan tidak ada lagi perbedaan dalam status kaum klerus dengan kaum awam (prinsip ini berlaku juga dalam hal perceraian).
- Oleh karena pernikahan bukan sebuah sakramen, maka perceraian dimungkinkan. Sebuah sakramen bersifat permanen; sekali dilakukan tidak dapat ditarik kembali. Prinsip ini berarti bahwa sejak pernikahan ditetapkan sebagai sakramen, maka tidak boleh ada perceraian. Namun dalam kenyataan telah berkembang dalam Gereja Katolik sebuah praktek “menganulir” (annulment) yang menyatakan bahwa pernikahan yang sah tidak pernah terjadi. Jumlah alasan untuk annulment makin lama makin luas dan kreatif, dan sempat berkembang sebuah “pasar” di mana ada klerus yang bisa disogok untuk memberi surat impediment(hambatan) yang menjadi basis untuk menganulir sebuah pernikahan yang tidak diinginkan lagi. Hal ini dikecam oleh Luther bersamaan dengan praktek indulgensi.[10]
Lain dari sakramen, sebuah kontrak dapat dibatalkan kalau salah satu pihak tidak dapat atau tidak setia menggenapi janjinya. Peralihan status pernikahan dari sakramen pada kontrak berarti para reformator bisa menilai tepat/tidaknya kalau sebuah pernikahan diakhiri berdasarkan realitas hubungan nikah itu sendiri, bukan karena alasan teknis dalam tafsiran hukum kanonik. Perkembangan ini sangat menolong untuk membuka peluang bagi pastoral pernikahan yang sungguh-sungguh, sebagaimana terbukti dalam notulen konsistori Genewa yang memberi lebih dari 50% waktunya pada kasus seks, nikah dan keluarga.[11]
Mungkin karena kombinasi pertimbangan-pertimbangan di atas, hampir tidak ada di antara para reformator yang mau melarang perceraian secara total. Sama seperti mereka mengakui kepentingan publik dalam penataan pernikahan, mereka juga mengakui bahwa ada kepentingan publik untuk memungkinkan perceraian. Sudah disaksikan dari masa pra-reformasi bahwa status rumah tangga yang bermasalah menjadi kabur dan kacau, terjadi penelantaran, perzinahan, bigami, dsb.[12] Martin Bucer, dalam sebuah studi mendalam berjudul Tentang Pernikahan dan Perceraian Menurut Hukum Ilahi dan Romawi(1533), berargumentasi bahwa penataan perceraian adalah kebutuhan dan kewajiban pemerintah sipil demi mempertahankan martabat pernikahan itu sendiri. Kalau pernikahan yang tidak baik dibiarkan, maka penghormatan masyarakat terhadap lembaga pernikahan menurun. Perceraian memungkinkan pernikahan yang jelek diakhiri dan pernikahan yang baik bisa dijalin lagi.[13]
Kalau jelas bagi para reformator bahwa perceraian dapat diterima dalam keadaan tertentu, yang menjadi pergumulan adalah bagaimana menentukan alasan-alasan yang dapat diterima, dan dengan cara apa diputuskan. Hal itu menjadi pokok pembahasan dalam bagian berikut. Yang jelas dari segi pastoral, tidak ada peluang bagi pendampingan yang berarti kalau perceraian dilarang begitu saja. Orang sulit membuka hati dalam sebuah percakapan yang sudah diketahui akan berakhir dengan “Tidak boleh!”
Maksud, Tujuan dan Persyaratan Pernikahan dan Implikasinya bagi Perceraian
Mungkin ringkasan yang paling padat dan indah bahasanya mengenai maksud dan tujuan pernikahan dalam teologi Reform adalah rumusan Thomas Cranmer dalam liturgi pernikahan yang menjadi bagian dari Book of Common Prayer,salah satu karya agung Reformasi Anglikan. Cranmer mengembangkan teologinya dalam percakapan dengan Bucer. Berikut rumusannya, yang saya kutip dulu dalam bahasa Inggris (dengan ejaan lama) untuk menghargai seni bahasanya:
Deerely beloved frendes, we are gathered together here in the syght of God, and in the face of his congregacion, to joyne together this man and this woman in holy matrimonie …duely consideryng the causes for whiche matrimonie was ordeined. One cause was the procreacion of children, to be brought up in the feare and nurture of the Lord, and prayse of God. Secondly it was ordeined for a remedie agaynst sinne, and to avoide fornicacion, that suche persones as bee married, might live chastlie in matrimonie, and kepe themselves undefiled membres of Christes bodye. Thirdelye for the mutuall societie, helpe, and coumfort, that the one oughte to have of the other, both in prosperitie and adversitie.[14]
(Saudara-saudara yang kami kasihi, kita berhimpun bersama dihadapan Tuhan dan jemaatNya untuk mempersatukan laki-laki ini dan perempuan ini dalam pernikahan kudus…dengan memperhatikan secara seksama alasan-alasan mengapa pernikahan ditetapkan. Pertama, adalah prokreasi anak-anak yang perlu dibesarkan dalam takut akan Tuhan serta pengasuhanNya, demi kemuliaan Allah. Kedua, sebagai pengobatan terhadap dosa dan pencegahan terhadap pencabulan, supaya orang-orang yang menikah dapat hidup suci di dalam hubungan nikah dan dapat bertahan tak bernoda sebagai anggota tubuh Kristus. Yang ketiga, demi persekutuan bersama, pertolongan, dan penghiburan yang selayaknya mereka peroleh satu dari yang lain, baik dalam kemakmuran dan kemalangan.)
Rumusan Cranmer ini hampir sama dengan apa yang disepakati oleh Luther, Calvin, Bucer dan Zwingli, dan semua kembali pada pandangan Agustinus. Beda dengan Agustinus adalah tempat yang diberikan pada aspek cinta kasih atau persahabatan dalam pernikahan. Agustinus hanya mengakui hubungan seks kalau demi kepentingan prokreasi; di luar itu adalah hawa nafsu dan dosa. Para reformator memandang hubungan suami-istri yang mesra sebagai berkat Tuhan pada dirinya, yang bahkan lebih mendasar daripada prokreasi dalam membangun sebuah pernikahan. Mungkin ini juga berdasarkan pengalaman: apresiasi Luther dan Calvin terhadap kebahagiaan dalam pernikahan mengalami peningkatan signifikan setelah mereka sendiri menikah.
Selain tiga tujuan pernikahan, ada juga sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi baru sebuah pernikahan bisa dianggap sah. Hampir semuanya berakar dalam hakekat pernikahan sebagai sebuah kontrak atau perjanjian. Para reformator mengikuti hukum kanonik yang ada lebih dulu dalam satu hal: sebuah pernikahan dijadikan oleh perjanjian di antara kedua pengantin, bukan oleh berkat gereja, pencatatan sipil, ataupun kesepakatan orang tua/tua-tua adat. Orang tidak “dinikahkan”; mereka adalah pelaku atas perjanjian yang menjadikan mereka suami dan istri. Gereja menggembalakan, menyaksikan, meneguhkan dan memberkati; negara mencatat dan memberi perlindungan hukum, tapi pasangan itu sendiri mengadakan sebuah pernikahan melalui janjinya.
Persyaratan yang pertama untuk mengadakan sebuah kontrak (di mana “kontrak” berarti sebuah perjanjian dengan kekuatan hukum) adalah bahwa kedua belah pihak mengikat janjinya secara bebas dan tanpa pemaksaan. Menurut Calvin, “Walaupun semua kontrak bersifat sukarela, terlebih aspek kebebasan harus diutamakan dalam hal pernikahan, supaya tidak seorang pun menjanjikan kesetiaannya secara berlawanan dengan kehendaknya sendiri.” “Kalau suami dan istri tidak bersepakat dan tidak saling mengasihi, hal ini merupakan sebuah pelecehan terhadap pernikahan, bahkan bukan pernikahan yang sebenarnya. Karena berkehendak adalah ikatan yang utama.”[15]
Dasar kebebasan berkehendak menjadi pedoman dalam menetapkan sejumlah persyaratan yang lain. Secara singkat:
- Kedua pengantin telah mencapai usia akil balig dan memiliki kemampuan mental untuk mengambil sebuah keputusan sendiri. Penetapan usia minimal untuk menikah bervariasi, tapi prinsipnya adalah mereka sudah cukup dewasa untuk mengambil keputusan mengikat. Orang yang dianggap cacat mental atau gila tidak diizinkan menikah, apapun usianya, karena dianggap tidak mampu mengambil keputusan untuk dirinya sendiri.
- Laki-laki di bawah 24 tahun dan perempuan di bawah 20 tahun hanya boleh menikah dengan persetujuan orang tuanya. Kalau orang tua bersikeras, pasangan boleh menunggu sampai mencapai usia dewasa dan menikah tanpa persetujuan orang tua.
- Tidak ada unsur paksaan (biasanya dari orang tua atau anggota keluarga yang lain).
- Tidak ada unsur penipuan. Pada jaman sebelum jaringan komunikasi modern, sulit diketahui kalau salah satu pengantin sudah memiliki ikatan yang lain. Itulah sebabnya diterapkan tradisi banns, di mana rencana pernikahan harus diumumkan tiga minggu berturut-turut, supaya ada kesempatan untuk pihak lain mengajukan keberatan.
- Tidak ada unsur perdagangan. Hal ini menjadi pokok masalah karena sering sebuah kontrak nikah disertai janji-janji pemberian, entah dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan atau sebaliknya. Pertukaran mahar atau dowry tidak dilarang, tapi dijaga supaya tidak menjadi motifasi utama bagi sebuah pernikahan.
- Yang paling utama adalah adanya hubungan cinta kasih di antara kedua pengantin. Karena itu, hubungan yang baru terjalin dalam waktu terlalu singkat atau yang diatur oleh pihak lain tanpa kesempatan untuk saling mengenal tidak dianjurkan.
Setelah melihat makna, tujuan dan persyaratan untuk menikah, pada akhirnya kita ada pada posisi untuk melihat implikasi atau konsekwensinya untuk kemungkinan perceraian. Kita mencatat satu per satu:
- Prokreasi: Pada umumnya kegagalan untuk melahirkan anak tidak diterima sebagai alasan untuk bercerai, walaupun ada tekanan kuat dari budaya patriarkal. Namun ketidakmampuan atau penolakan untuk berhubungan seks cenderung diterima sebagai dasar perceraian karena dianggap berlawanan dengat hakekat pernikahan sebagai sarana prokreasi.
Kepada pasangan yang mandul, Calvin memberi nasehat yang sangat manusiawi: “Subur atau mandul adalah pemberian dalam kuasa Allah.” Mereka yang tidak melahirkan anak dianjurkan untuk mengangkat anak yatim piatu, memelihara keponakan, atau mencari jalan lain untuk mengabdi pada generasi berikut, sambil tetap saling mengasihi dan saling melindungi.[16]
- Pengendalian hawa nafsu: Tidak mampu atau tidak mau berhubungan seks juga berlawanan dengan fungsi pernikahan sebagai pagar terhadap dosa seksual, dan dapat menjadi alasan perceraian, walaupun akan didahului dengan upaya pastoral yang intensif untuk, kalau dapat, membangkitkan semangat. Sebaliknya, perzinahan adalah bukti bahwa sebuah pernikahan gagal mengendalikan nafsu seks dengan baik, dan oleh karena itu (tambah dukungan langsung dari Alkitab) hampir selalu menjadi dasar perceraian yang dapat diterima; kecuali kalau baik suami maupun istri sama-sama bersalah– dalam hal itu perceraian biasanya ditolak dan mereka berdua disuruh perbaiki diri dulu.
Masalah perzinahan menjadi kesempatan juga untuk Calvin menegaskan bahwa hak untuk perceraian berlaku secara seimbang baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan, “karena mereka punya kewajiban yang sama untuk setia dalam pernikahan [dan] dalam urusan tempat tidur, istri memiliki hak yang sama. Karena dia [suami] bukan tuan atas tubuhnya sendiri, dan karena itu, kalau dia berzinah, dia telah membubarkan pernikahannya, dan istrinya telah bebas.”[17]
Kalau orang bercerai karena perzinahan, biasanya pihak yang tidak bersalah boleh menikah kembali tanpa keberatan. Begitu besar keyakinan Calvin bahwa hidup tanpa seks adalah beban yang terlalu berat bagi banyak orang bahwa dia cenderung memberi kesempatan untuk menikah kembali pada pelaku perzinahan juga, asal setelah masa jedah.[18]
- Penelantaran atau Desersi: Dalam pandangan Luther, tidak satupun tujuan pernikahan dapat dipenuhi kalau suami atau istri meninggalkan rumah tangga secara tetap. Walaupun tidak ditemukan dasar Alkitab yang jelas, Luther menarik kesimpulan bahwa hal ini menjadi dasar untuk perceraian, asal diberi waktu menunggu suami/istri yang hilang, biasanya sekitar satu tahun.[19] Kegagalan untuk memberi nafkah juga dapat dipertimbangkan, tapi hal itu biasanya ditangani lebih dulu dengan upaya pastoral.
- Pernikahan Paksa, Penipuan, dan Perdagangan:Semua aspek ini adalah hal yang berdampak negatif pada kemampuan pengantin untuk mengambil keputusan dan membuat komitmen yang sejati. Selayaknya kasus-kasus seperti ini ditemukan pada tahap tunangan, dan menurut notulen Konsistori memang demikian. Namun ada saja kasus di mana penipuan (misalnya adanya istri dan anak yang lebih dulu di kota lain) atau pemaksaan anak perempuan oleh orang tua untuk motifasi keuangan baru ketahuan setelah pernikahan sudah diberkati. Atau perempuan yang “dijual” pada usia muda baru mampu untuk mengungkapkan kebenaran setelah dia tambah dewasa (dan tambah derita).[20] Dalam kasus-kasus seperti ini annulment atau perceraian sering disetujui.
Dalam survey terhadap kebijakan keempat reformator yang kami pelajari dalam makalah ini (Luther, Calvin, Zwingli, dan Bucer) terdapat konsensus formal bahwa perzinahan dan penelantaran diterima sebagai dasar perceraian, kalau semua upaya rekonsiliasi akhirnya tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Dalam praktek ada sejumlah alasan perceraian yang lain yang juga diterima secara kasus demi kasus. Rumusan Zwingli dalam peraturan pernikahan di Zurich yang paling terbuka mengenai kenyataan ini: Perceraian dapat disetujui “atas alasan-alasan yang lebih berat dari perzinahan, seperti pembunuhan, membahayakan nyawa [anggota keluarga], gila atau tidak waras, prilaku yang tak senonoh, … tinggal menetap di luar negeri, sakit kusta, atau untuk alasan-alasan lain yang tidak bisa disebut satu-per-satu karena terlalu bervariasi.”[21]Dalam kata lain, pada akhirnya masalah perceraian tidak bisa ditangani hanya oleh penerapan rumusan-rumusan hukum tertentu; peran pastoral, hikmat para pejabat di konsistori atau dewan, dan patokan “tidak sampai hati” yang lebih menentukan.
- Dasar Kasih:Aspek ini kami tinggalkan sebagai pokok terakhir, karena dalam banyak hal faktor kasih menjadi paling penting, sekaligus paling rumit. Cinta kasih di antara suami dan istri senantiasa dijunjung tinggi, mungkin sejak Adam dan Hawa. Namun kasih sering dilihat sebagai sebuah keberuntungan kalau terdapat dalam sebuah hubungan nikah yang telah ditetapkan lebih atas dasar ekonomis, politis, status sosial atau kekerabatan. Peralihan dalam dasar pernikahan dari pertimbangan praktis dan strategis pada dasar kasih dan persahabatan merupakan sebuah evolusi dalam budaya Eropa yang kompleks dan panjang, dan mendalami apa sebabnya di luar jangkauan pembahasan kami di sini. Yang jelas, Reformasi memberi dorongan pada penetapan persekutuan kasih di antara suami dan istri sebagai dasar pernikahan yang utama. Luther memberi nasehat: “Mengambil istri itu gampang. Yang susah adalah untuk tinggal tetap dalam kasih. Itulah tantangannya. Mohon pada Tuhan supaya memberi seorang istri yang mampu bertahan dalam hubungan saling mengasihi seumur hidup. Seks saja tidak cukup dalam hal ini; harus ada keserasihan dalam nilai-nilai dan kepribadian.” Bagi Luther, pernikahan semestinya menjadi sumber “kebahagiaan, kasih, dan sukacita.”[22] Calvin menyatakan hal yang sama dari sisi negatif: “Di mana tidak ada cinta kasih yang murni dan sejati, tinggal kekacauan saja [dalam hubungan pernikahan], dan orang tidak bisa mengharapkan anugerah dari Allah” atas relasi yang demikian.[23]
Pernyataan Luther dan Calvin di atas diberi dalam rangkah nasehat sebelum orang memilih untuk menikah. Yang menjadi masalah adalah, bagaimana kalau dalam perjalanan hubungan pernikahan, ternyata dasar kasih itu sudah tidak ada lagi? Untuk mengikuti argumentasi yang berikut, perlu diperhatikan bahwa ikatan kasih dipandang sebagai sejenis persetujuan. Posisi Gereja Katolik cukup jelas. Dalam hukum kanonik ditetapkan bahwa keabsahan sebuah pernikahan terletak bukan pada berkat gereja, melainkan pada persetujuan dan janji kedua mempelai. Namun karena pernikahan itu sebuah sakramen, maka persetujuan sekali diberikan tidak dapat ditarik kembali, sebab sebuah sakramen bersifat permanen.
Tapi Reformasi mengembalikan pernikahan pada status kontrak, dan sebuah kontrak hanya berlaku selama kedua belah fihak tetap memelihara persetujuan dan janjinya. Sebuah kontrak bisa dibatalkan kalau satu pihak melanggar ketentuannya dan pihak lain menggugat; atau kalau kedua belah pihak bersepakat untuk mengakhirinya. Pada titik ini, jalan pikiran para reformator bercabang. Luther dan Calvin menerima perceraian kalau ada pelanggaran yang berat oleh salah satu pihak dan pihak yang tak bersalah menggugat untuk cerai. Tapi mereka tidak menerima kalau suami dan istri sepakat saja untuk berpisah. Bucer agaknya lebih konsekwen, dengan memberi argumentasi bahwa kalau cinta kasih sebagai dasar utama pernikahan sudah tidak ada, maka persetujuan pernikahan juga tidak ada, dan sebaiknya, demi menghargai hakekat dan martabat pernikahan itu sendiri, pasangan yang demikian dapat diceraikan.
Dua pendekatan yang berbeda terhadap perceraian ini dilestarikan sampai sekarang dalam dua jenis perangkat hukum perceraian: fault-based dan no-fault. Fault-based (berdasarkan pelanggaran) berarti perceraian hanya diberikan kalau ada pelanggaran yang berat oleh satu pihak yang digugat oleh pihak yang lain. Jenis pelanggaran yang dianggap berat biasanya dikodifikasi, disertai dengan rambu-rambu tentang upaya rekonsiliasi dan konsekwensi hukum dan finansial bagi kedua belah pihak andaikata perceraian disetujui. Pola ini yang paling lazim berlaku di Eropa dan Amerika Serikat sampai pertengahan abad ke 20.
Perceraian tanpa ada pihak yang dipersalahkan (no-fault)boleh diprakarsai oleh suami atau istri, atau atas kesepakatan bersama, dengan ketentuan bahwa tidak ada pihak yang dapat dipaksakan untuk bertahan dalam pernikahan oleh ketidakrelaan pasangannya. Pembagian harta milik dan tanggung jawab atas anak-anak biasanya disepakati melalui sebuah proses negosiasi. Sebagai pengganti daftar pelanggaran dalam sistem fault-based, sebuah patokan yang lebih sederhana diterapkan, misalnya: “kalau sudah dibuktikan secara meyakinkan di depan pengadilan, bahwa kedua belah pihak tidak sanggup hidup bersama dengan damai dan bahagia, dan demi kesejahteraan mereka sendiri, mereka harus dipisahkan.”[24]
Penutup
Siapapun yang berpengalaman dengan perdebatan di sekitar perceraian di kalangan Protestan masa kini akan menemukan banyak hal dalam pergumulan para reformator yang kita masih gumuli sampai sekarang. Seperti kita, mereka tidak suka perceraian itu terjadi. Seperti kita juga, mereka mengutamakan upaya pastoral yang sungguh-sungguh, dan hanya tiba pada perceraian sebagai pilihan terakhir. Hasil pergumulan mereka telah menjadi warisan gereja-gereja turunan Reform di mana-mana, termasuk di Indonesia. Tradisi bukan nasib, dan kita tidak wajib mengikuti apa yang mereka hasilkan pada zaman mereka. Tapi paling sedikit, kita bisa belajar dari upaya mereka untuk melandasi kebijakan mengenai pernikahan dan perceraian pada sebuah kajian teologis yang mendalam dan sebuah keprihatinan pastoral yang sejati.
Lampiran: Sebuah Contoh Peraturan Perceraian Kontemporer
Bahan berikut adalah bagian penutup dari draf Peraturan Pastoral tentang Pernikahan yang diajukan pada Sidang Sinode Gereja Masehi Injili di Timor pada tahun 2015. Rumusan ini diterima oleh komisi persidangan, namun dalam proses penerapannya dirombak oleh Majelis Sinode dalam persidangan 2017 karena masih ada sejumlah pejabat yang menolak perceraian dalam keadaan apapun. Versi ini kami tetap lampirkan di sini sebagai contoh peraturan yang menurut kami sesuai dengan tradisi Reform, sekaligus cukup manusiawi.
Perceraian: GMIT tidak menginginkan, tidak mengizinkan, dan tidak mengurus perceraian. Upaya pertama dari gereja berhadapan dengan perselisihan dalam rumah tangga adalah pendampingan supaya pasangan yang bersangkutan dapat rukun kembali. Namun perlu diakui bahwa perceraian adalah juga hak sipil bagi setiap warga negara yang tidak boleh dihalangi oleh gereja. Bagi mereka yang menempuh jalur hukum, gereja tetap memberi pendampingan pastoral.
Pada dasarnya, perceraian merupakan sebuah pengakuan dosa bahwa pasangan yang hendak cerai telah sia-siakan berkat yang Tuhan berikan, dan mereka tidak sanggup memperbaiki rumah tangga mereka lagi. Oleh karena itu, kalau ada tindakan disiplin gereja yang dikenakan, hal itu berdasarkan prilaku yang melatarbelakangi perceraian (perselingkuhan, kekerasan, penelantaran) dan bukan pada akta perceraian itu sendiri.
Dalam keadaan tertentu, terutama berhadapan dengan kekerasan dalam rumah tangga, bisa terjadi bahwa perceraian adalah jalan keluar yang kurang buruk daripada mengalami siksaan dan penderitaan terus-menerus. Berkat nikah jangan dibiarkan menjadi kutuk. Karena larangan perceraian cukup mendarah-daging dalam umat GMIT, bisa saja para pelayan yang mendampingi korban kekerasan perlu memberi penguatan pada mereka bahwa Tuhan tidak menghendaki supaya mereka hidup terus dalam penyiksaan. Mungkin juga diperlukan langkah diakonal supaya korban kekerasan mendapat pemondokan dan sumber nafkah kalau mereka memilih untuk bercerai.
Oleh karena pertimbangan-pertimbangan di atas, gereja tidak menghakimi mereka yang bercerai setelah melalui pendampingan pastoral yang sungguh-sungguh. Kalau di kemudian hari ada yang hendak menikah lagi, gereja tetap mendampingi dan dapat melayani pemberkatan mereka setelah pertimbangan pastoral yang matang.
Hal ini berlaku sama, baik bagi anggota maupun pejabat/pelayan gereja. Kalau ada presbiter yang bercerai, bisa saja terjadi bahwa mereka perlu diberi waktu bebas tugas untuk menenangkan jiwa dan menata kembali kehidupan mereka. Hal itu sebaiknya diberikan atas permintaan mereka sendiri, bukan sebagai hukuman tapi sebagai wujud keprihatinan gereja. Khusus bagi pendeta yang bergantung pada gaji sebagai tunjangan hidup, mereka tetap diberi gaji pokok. Kalau ada tindakan disiplin, itu semata-mata bukan karena perceraian itu sendiri, melainkan karena prilaku yang terbukti melatarbelakangi perceraian: perselingkuhan, kekerasan, penelantaran, dsb. ***