Teologi Keutuhan Ciptaan Dalam Sejarah Kekristenan (Tulisan Sederhana Bulan Lingkungan Hidup GMIT) – Pdt. Melky J. Ulu

A. Pendahuluan

Bulan November dirayakan oleh Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) sebagai Bulan Lingkungan Hidup. Komunitas gereja dipanggil untuk memahami lingkungan hidup sebagai tempat menikmati kehidupan yang harus dirawat untuk mendatangkan kebaikan bagi semua makhluk. Hal inilah yang memberi inspirasi bagi saya dalam menulis tulisan sederhana ini

Tidak jarang sekarang ini kita melihat kondisi lingkungan hidup banyak yang sakit, seperti limbah nuklir, sampah, hilangnya hutan dan pemanasan yang terjadi secara global. Apabila ditelaah pokok persoalan lingkungan hidup adalah terletak pada adanya ketidakseimbangan dalam lingkungan hidup yang merupakan hal yang pokok bagi perikehidupan manusia. Dalam menghadapi krisis ekologi dewasa ini, kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan juga kekuatan ekonomi dan politik, tidak lagi memadai untuk memampukan manusia membendung kerusakan alam.[1] Manusia harus kembali ke kedalaman dirinya, yaitu hati nurani, nilai-nilai kemanusiaan dan Penciptanya. Di sanalah manusia akan menemukan kekuatannya untuk membangun kehidupan baru secara bersama dengan lingkungan hidupnya dalam kehidupan yang harmonis dan nyaman.

         Jadi, judul tulisan ini membahas bagaimana pemahaman sejarah kekristenan di dalam menghadapi fenomena tentang lingkungan hidup. Pemahaman Kristen berbicara tentang refleksi hubungan manusia dengan alam atau lingkungan hidupnya yang tidak dapat dipisahkan dari hubungan manusia dengan Allah dan sesamanya. Hubungan inilah yang menjadi titik tolak untuk berbicara tentang teologi keutuhan ciptaan dalam sejarah kekristenan. Persoalan kita untuk memahami suatu teologi keutuhan ciptaan adalah bagaimana membaca kisah-kisah penciptaan di dalam Alkitab dalam konteks keprihatinan ekologi dewasa ini.

B. Pengertian Teologi Keutuhan Ciptaan

Keutuhan ciptaan adalah ungkapan populer beberapa dekade terakhir ini; di kalangan anggota DewanGereja-gereja se-Dunia (DGD) keutuhan ciptaan mulai populer sejak Sidang Raya VI DGD di Vancouver, tahun 1983. Keutuhan ciptaan lebih dari pada masalah ekologis. Keutuhan ciptaan tidak terpisahkan dari unsur keadilan dan perdamaian, ada keterkaitan satu sama lain.[2] Keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan saling terkait dan mengacu pada realitas yang sama, yaitu kebaikan (baca: keutuhan) kehidupan yang dikehendaki oleh Allah sang Pencipta. Keutuhan ciptaan adalah dasar bagi perdamaian dan keadilan karena hanya dalam keutuhan ciptaanlah terjadi keadilan dan perdamaian yang sungguh-sungguh. Dengan kata lain, adanya hubungan yang harmonis dan benar dengan Allah, kehidupan dalam hubungan yang memuaskan di antara umat manusia dan di antara persekutuan manusia, serta kehidupan dalam hubungan yang serasi dengan ciptaan. Karena itu, pengertian keutuhan ciptaan juga menunjukkan adanya saling ketergantungan antara umat manusia dengan lingkungannya. Kebersamaan seluruh ciptaan, yang di dalamnya manusia dan alam saling berhubungan. Keutuhan ciptaan memperhitungkan hubungan antara manusia dan ekologi.[3]

Terkait dengan itu, maka teologi keutuhan ciptaan menekankan penghargaan terhadap semua ciptaan di dunia sebagaimana adanya dalam rencana Allah. Teologi keutuhan ciptaan memberikan inspirasi bahwa kesetiaan manusia untuk memelihara hubungan dengan sesama makhluk lainnya, mestilah tampak dalam tindakan yang bermakna di antara sesama ciptaan Allah. Manusia menerima “anugerah” kehidupan dari Allah, dan kepada Allah pula manusia bertanggung jawab. Manusia mendapat tugas memelihara kehidupan, bukan merusak kehidupan.[4] Jadi, teologi keutuhan ciptaan menyadarkan kita bahwa memelihara lingkungan hidup sangat sesuai dengan keyakinan/iman kristiani. Bahkan, dalam perspektif teologi keutuhan ciptaan, memelihara lingkungan hidup berarti memelihara kehidupan kita sendiri dan sesama ciptaan sesuai kehendak Allah. 

C. Realitas Lingkungan Hidup Saat Ini

Kerusakan lingkungan merupakan salah satu realitas yang dihadapi oleh gereja. Masalah krisis ekologi merupakan salah satu masalah terbesar dunia masa kini. Akan tetapi, penanggulangan yang konkret masih jauh dari yang dibutuhkan. Memang, dalam tataran wacana boleh dikatakan agak memadai dengan munculnya berbagai seminar dari tingkat nasional hingga internasional, berkaitan dengan masalah krisis ekologi dan upaya penanggulangannya.[5] Fakta-fakta krisis ekologi dewasa ini sangat kasat mata. Sebagaimana ditulis oleh Victor Tinambunan bahwa hutan Indonesia mengalami kerusakan sekitar 2,8 – 3 juta hektare setiap tahun. Negara Korea mengalami kerusakan hutan seluas ¾ setiap tahun. Negara India mengalami kerusakan seluas 85 % dari hutan-hutannya yang semula.[6] Akibatnya amat kentara dengan terjadinya berbagai peristiwa banjir, tanah longsor dan sebagainya. Jadi, krisis ekologis bukan lagi sekedar wacana, tetapi ia sudah persis di depan mata kita.

D. Penyebab Utama Krisis Ekologi

Krisis ekologi telah mengancam kenyamanan manusia. Ini termasuk salah satu dampak ulah manusia. Menurut Victor Tinambunan, ada beberapa penyebab utama krisis ekologi, yaitu:[7]

a. Sejak masa pencerahan, manusia memandang alam ini sebagai objek semata. Apa yang terjadi sekarang tidak dapat dilihat secara terpisah dari pandangan pada masa lampau, dalam kaitannya dengan hubungan antara manusia dan alam. Dalam abad pencerahan (baca: abad pertengahan), ilmu pengetahuan menguasai pemikiran manusia. Manusia harus menguasai alam melalui ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia harus menjadi penguasa dan pemilik alam.[8] Hal ini mendorong manusia untuk mengeksplotasi alam, untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.

b. Masalah ketamakan manusia. Bumi ini cukup menyediakan kebutuhan semua orang, tetapi tidak cukup menyediakan untuk ketamakan setiap orang. Konsumerisme dan pola hidup serba instant memberi andil besar terhadap kerusakan alam.[9] Seperti, maraknya makanan dan minuman dengan kemasan disposal(sekali pakai), padahal teknologi daur ulang kita belum mampu mengatasinya. Manusia saat ini tidak merasa puas dengan aneka barang yang telah dimilikinya, sehingga ia berusaha untuk mengkonsumsi aneka barang lainnya. Hal ini mengarah pada penggunaan sumber alam dan bahan mentah secara maksimal.[10]

c. Titik berat pembangunan yang keliru. Salah satu contoh nampak melalui alokasi dana negara-negara di dunia dalam jumlah yang sangat besar untuk membiayai militer dan persenjataan yang mematikan, ketimbang sarana dan prasarana yang menopang kehidupan,  seperti penghijauan, penanganan sampah dan lain-lain.[11] Selain itu, pembangunan sangat tidak jelas batas tujuannya. Kalau kemakmuran adalah tujuannya, maka tujuan itu menjadisangat relatif. Manusia dengan teknologi malahan menciptakan kebutuhan yang semakin lama semakin panjang daftarnya; sandang, pangan dan papan yang tidak pernah ada hentinya. Tidak heran kalau umat manusia menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai maskot pembangunan. Sebab itu, pembangunan ternyata berdampak sangat hebat terhadap lingkungan, di mana kata ajaib “pertumbuhan ekonomi” diartikan sebagai   pengeksploitasikan optimal atas sumber daya alam.[12]

E. Apakah Teologi Kristen ikut Bersalah?: Menelusuri Sejarah Kekristenan

Apakah ada kesalahan yang dibuat di dalam sistem ajaran Kristen mengenai manusia dan dunia, sehingga menyebabkan “terangsangnya” orang Kristen di masa lalu untuk mengeksploitasi dunia ini? Kritikan terhadap teologi Alkitab dikemukakan oleh Lynn White, seorang sejarawan Amerika Serikat, pada tahun 1967. Menurutnya, kesalahan itu terdapat dalam ajaran penciptaan yang membedakan dengan sangat tajam antara manusia sebagai gambar Allah (Imago Dei) dan dunia sebagai ciptaan yang bukan gambar Allah. Penghayatan terhadap ajaran ini menghasilkan pada manusia rasa superioritas terhadap alam, sehingga manusia dilihat sebagai penguasa alam, sedangkan alam hanya menjadi objek untuk kepentingan manusia. Dengan demikian, kekristenan tidak hanya membedakan dualisme antara manusia dan alam, tetapi juga menekankan bahwa adalah kehendak Allah supaya manusia mengeksploitasi alam.[13]

        Kritikan White ini, terutama ditujukan kepada kekristenan Barat. Baginya kekristenan Barat yang dilandasi kebudayaan Barat memiliki sikap arogansi manusia yang telah mengutamakan keunggulan atau superioritas, dimana manusia adalah tuan atau penguasa atas alam. Kekristenan Barat sangat antroposentrik[14] yaitu segala sesuatu, termasuk alam berpusat pada kepentingan manusia. Di lain pihak, ia juga mengakui bahwa pendekatan teologi Kristen tentang hubungan manusia dan alam tidak hanya seperti kekristenan Barat. Karena dalam kekristenan Timur memandang alam menurut cara Timur yang menghargai alam.[15]

         Selain White, Tim Cooper, juga berpendapat bahwa dari sejarah kekristenan, paling sedikit terdapat empat pandangan negatif yang diyakini sementara orang sebagai penyebab kerusakan lingkungan, yaitu sebagai berikut:[16]

  1. Manusia adalah pusat ciptaan

Banyak orang Kristen di negara Barat (dan banyak bagian lain di dunia) berasumsi bahwa manusia adalah pusat dari tujuan dan maksud penciptaan jagad raya oleh Allah. Pandangan ini dikenal sebagai prinsip “antroposentrik”. Pandangan ini diikuti oleh pemikiran bahwa dunia diciptakan hanya untuk dan bagi kepentingan manusia. Hasilnya adalah kebanggaan manusia atau rasa percaya diri yang berlebihan dan menilai rendah ciptaan lain, dan akhirnya sikap itu tercermin dari tindakan eksploitasi terhadap ciptaan lain tanpa pertimbangan bahwa Allah menciptakan setiap ciptaan dengan tugas dan fungsinya masing-masing dan tidak melulu untuk kepentingan manusia.

b. Allah kita adalah Allah yang jauh

Banyak orang Kristen melihat Allah sebagai Tuhan yang jauh (transenden) dari dunia dan tidak berinteraksi secara akrab dengan ciptaan-Nya. Allah dilihat sebagai sesuatu yang jauh, tidak berubah dan tidak berespon. Pandangan ini menggangap bahwa masa depan alam tidak bernilai, karena manusia tidak melihat penampakan nilai ilahi di dalamnya. Itu sebabnya, eksploitasi terhadap alam sering dilakukan tanpa “rasa takut” atau “peduli”.

  • Kita hanya numpang lewat di dunia ini

Kekristenan sering digambarkan hanya berfokus pada nilai positif bahwa “kehidupan adalah jauh dari dunia ini”, di gereja atau di surga. Lagu rohani populer yang menyatakan: “Dunia ini bukan rumahku; aku hanya numpang lewat”, kadang diartikan secara harafiah. Tragedi ini bersumber dari penekanan ayat-ayat tertentu dalam Alkitab, tanpa mengerti pesan dan konteksnya secara keseluruhan.

  • Tidak mengerti politik

Harus diakui bahwa sebagian besar orang Kristen menarik diri dari berbagai minat atau partisipasi politik di Indonesia, karena mereka percaya bahwa ketidakterlibatannya merupakan sikap netral dalam politik. Dalam kenyataannya, sikap ini mewakili pandangan konservatif yang secara implisit mengakui status quo. Isu lingkungan sendiri memiliki dimensi politik dan dampak kegiatan manusia terhadap lingkungan yang dipengaruhi oleh cara kita mengatur dan mengontrol diri sendiri. Bukankah itu juga politik hidup?

F. Pemahaman Kristen Mengenai Ekologi: Upaya Memahami Teologi  Keutuhan Ciptaan

Pertanyaan yang dapat diajukan adalah apakah benar bahwa ajaran Alkitab dan teologi Kristen “perangsang” utama krisis ekologi? Apakah alam hanya untuk kepentingan manusia semata? Pertanyaan-pertanyaan ini, akan dijawab menurut pemahaman Kristen mengenai ekologi.

Pandangan Kristen percaya bahwa Allah menciptakan dunia dan segala isinya. Karena itu, pandangan Kristen mengenai lingkungan timbul dari ajaran penciptaan.

F.1. Teologi Penciptaan

Kedua pasal pertama kitab Kejadian menyajikan cara penciptaan Allah melalui firman-Nya.[17] Kejadian 1 dan 2 menyebutkan sepuluh karya penciptaan, yaitu alam semesta, terang, cakrawala, daratan, tumbuh-tumbuhan, benda-benda penerang, binatang-binatang di dalam air, burung-burung, binatang-binatang di darat dan manusia. Berdasarkan hubungan dengan Allah, seluruh ciptaan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu manusia dan ciptaan lainnya.[18]

         Setelah Allah menciptakan samudera raya dan suatu pemukiman yang indah untuk semua yang hidup, maka sekali lagi diulang apa yang diucapkan-Nya pada tiap akhir penciptaan: “Maka Allah melihat segala yang dijadikan itu, sungguh amat baik” (Kej. 1:31a). Sejarah penciptaan dalam kitab Kejadian menunjukkan bahwa bumi, cakrawala dan semua yang hidup terjadi karena firman Allah yang menciptakan. Dunia bukanlah sesuatu yang ada secara kebetulan dan terjadi begitu saja, tetapi karena kehendak Allah secara sadar.[19] Sehingga, ajaran tentang penciptaan dalam Kejadian 1 dan 2, menunjukkan bahwa langit, bumi dan segala isinya diciptakan oleh Allah. Dialah satu-satunya Allah yang benar dan menciptakan segala yang ada.

         Manusia diciptakan segambar dengan Allah (Kej. 1:26) dan manusia mempunyai suatu hubungan khusus dengan Allah, karena Allah membentuknya dari tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya (Kej. 2:7). Karena diciptakan segambar dengan Allah, maka manusia berbeda dengan ciptaan lainnya. Manusia ditempatkan Allah di taman Eden dengan tugas dan tanggung jawab khusus, yaitu untuk melayani dan melindungi ciptaan lainnya.[20] Selain menceriterakan tentang penciptaan, Kejadian 1 dan 2 juga menggambarkan beberapa peristiwa yang perlu digarisbawahi sebagai prinsip dasar iman Kristen dalam memandang ciptaan Allah, yaitu sebagai berikut:

a. Allah menciptakan alam semesta dari tidak ada menjadi ada (creation ex nihilo); Allah menciptakan ciptaan yang baik (Kej. 1:3-25); dan Allah menciptakan manusia segambar dengan-Nya (Kej. 1:26-27).

b. Allah memberkati manusia dan memberikan mandat kepada manusia untuk berkuasa atas ciptaan lainnya (Kej. 1:28-30); setelah menciptakan, Allah melihat bahwa “semuanya itu baik” (Kej. 1:10,12,18,21,25). Dan setelah menciptakan manusia, Allah melihat segala yang  dijadikan itu, “sungguh amat baik” (Kej. 1:31).

c. Allah mempercayai manusia untuk turut mengambil bagian dalam “penciptaan” dengan memberi nama kepada segala ternak, burung-burung di udara dan segala binatang di hutan (Kej. 2:20).

d. Allah menciptakan perempuan menjadi penolong yang sepadan bagi laki-laki (Kej. 2:21-24); Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dengan hubungan yang baik (Kej. 2:25).[21]

Inilah pemikiran yang sangat dasariah dalam hubungannya dengan krisis ekologi. Seluruh kenyataan merupakan ciptaan Allah, yang dikehendaki Allah sebagai “sekutu yang lain”. Allah dan ciptaan-Nya tidak selalu berada dalam keselarasan, tetapi saling berhubungan. Hal ini tidak saja meniadakan cara berpikir panteistik,[22] tetapi juga menghindari terjadinya garis pemisah yang terlalu tajam antara Allah pada satu pihak, yang nampaknya hanya berada untuk diri-Nya sendiri dan pada pihak lain penciptaan-Nya yang dipercayakan pada tindakan manusia atas kehendak manusia itu sendiri.

F.2. Dunia ini Milik Allah

Gambaran bahwa dunia ini adalah milik Allah, akan dapat memberikan pemahaman mendalam mengenai peran yang dipercayakan Allah kepada manusia terhadap lingkungan hidupnya. Mazmur 24:1 menguraikan bahwa: “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya”. Melalui ayat tersebut, Ghillean Prance, menyimpulkan bahwa pemazmur kelihatannya ingin menggarisbawahi bahwa segala sesuatu di bumi ini, tanpa pengecualian adalah milik Allah.[23]

Melalui Kolose 1:16, Paulus menekankan kembali secara gambling bahwa: “Segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia”. Penekanan ini senada dengan isi ayat permulaan dari Injil Yohanes, seperti ditegaskan dalam Yohanes 1:3 “Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada satupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan.”[24] Prinsip kepemilikan Allah ini sungguh-sungguh mendasar dan keyakinan akan kebenaran prinsip ini akan sangat mempengaruhi sikap kita terhadap ciptaan lainnya.

F.3. Apa Arti Kepemilikan Atas Bumi?: Dalam Perspektif Teologi Keutuhan Ciptaan

Penciptaan manusia sebagai gambar Allah dirangkaikan dengan tugas yang diberikan kepada manusia. Kejadian 1:28 “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: Beranak cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”. Perikop ini seringkali dipahami seolah-olah sebagai mandat dari Allah yang memberikan kewenangan dan kekuasaan kepada manusia untuk mengeksploitasi alam serta semua makhluk yang hidup di dalamnya. A.A. Yewangoe menilai pemahaman Kej. 1:28 seperti itu, merupakan pemahaman yang dangkal disebabkan oleh penafsiran yang keliru terhadap perkataan “taklukkanlah dan berkuasalah”. Karena dalam Kej. 1:28 tentu tidak mengizinkan manusia bersikap sewenang-wenang terhadap alam.[25]  Jelaslah kiranya bahwa kedudukan manusia, menurut Kej. 1:28, tidak diciptakan untuk menjadi penguasa mutlak atas ciptaan yang lain, melainkan untuk menjalankan perintah Allah atas ciptaan-Nya dengan memelihara.

         “Kepemilikan” manusia atas bumi hanya bersifat “kontrak” dan bukan kepemilikan bebas, apalagi mutlak. Manusia hanya penyewa dan pengelola. Tidak lebih dari itu. Allah sendiri adalah pemilik bumi. Kuasa yang manusia terapkan untuk mengelola bumi bukanlah milik kita sendiri, tetapi hanya karena Allah memilih untuk mempercayakan pekerjaan itu kepada manusia. Manusia menerima kekuasaan itu sebagai kepercayaan dan mandat dari Allah, maka manusia harus  mengelolanya dengan tanggung jawab dan produktif bagi kepentingan manusia dan bagi kelangsungan alam itu sendiri.

Penguasaan terhadap alam bukannya tanpa batas dan tanggung jawab atasnya. Sebagai gambar Allah manusia diberi wewenang fungsional yaitu menjalankan kekuasaan Allah di bumi. Manusia tidak mempunyai hak mutlak untuk memperlakukan alam sekehendak hatinya. Manusia boleh mengetahui dan memanfaatkan alam, tetapi tidak berkuasa memperlakukannya sebagai miliknya. Alam adalah milik Allah. Oleh sebab itu, hubungan manusia dengan alam bukan hubungan penguasaan, melainkan hubungan solidaritas. Solidaritas berarti bahwa manusia mengembangkan sikap menghargai alam dalam konteks sebagai sesama ciptaan. Dalam hubungan solidaritas manusia bertanggung jawab untuk sungguh-sungguh hidup dalam keharmonisan dan keserasian dengan alam.

G. Penutup

Berdasarkan apa yang telah diuraikan mengenai krisis ekologi dan pemahaman sejarah kekristenan (baca: teologi Kristen), maka saya membuat beberapa kesimpulan, sebagai berikut:

a. Penyebab utama dari krisis ekologi adalah ulah manusia. Dimana, manusia memandang alam ini sebagai objek semata, masalah ketamakan manusia dan titik berat pembangunan yang keliru.

b. Krisis ekologi menimbulkan berbagai kritik terhadap sikap manusia, bahkan muncul dalam sejarah kekristenan kritik terhadap teologi Alkitab (baca: Kristen). Kritikan terhadap teologi Alkitab terutama dikemukakan oleh Lynn White dan Tim Cooper.

c. Pemahaman Kristen tentang ekologi timbul dari ajaran penciptaan, sebagaimana dikisahkan dalam kitab Kejadian 1 dan 2. Ajaran penciptaan memiliki dua aspek penting untuk ekologi, yaitu aspek kepemilikan Allah dan kepelayanan manusia, dalam semangat pembelaan keutuhan ciptaan.

d. Manusia yang hidup dibumi ini tidak hidup sendirian, melainkan hidup bersama makhluk lain. Kebersamaan itu bukanlah sekedar teman hidup secara netral atau pasif terhadap  manusia, melainkan hidup itu terkait sangat erat dengan yang lainnya. Alam adalah sahabat dan mitra manusia. Baik alam maupun manusia adalah sama-sama ciptaan Allah. Allah menempatkan manusia di tengah-tengah alam, supaya kita hidup bersama dengan alam. Sebab itu, manusia sebagai makhluk yang paling berkuasa adalah suatu anggapan yang kurang tepat, sehingga sepantasnya manusia bersikap lebih merendahkan diri dan dalam hal pengelolaan alam ini dilakukan dengan cara yang lebih bertanggung jawab.

DAFTAR PUSTAKA

Abineno, J.L.Ch., Manusia dan Sesamanya di Dalam Dunia,Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2003.

Borrong, Robert P., Etika Bumi Baru,Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2003.

Chang, William, Moral Lingkungan Hidup,Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Cooper, Tim, Sustainable The Earth: A Christian Approach to Caring for The Environment,Nottingham: St. John’s Extension Studies, 1997.

Drummond,- Celia Deane, Teologi dan Ekologi,Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2001.

Geisler, Norman L., Etika Kristen Pilihan dan Isu,Malang: Seminari Alkitab Asia  Tenggara, 2003.

Granberg-Michaelson, Wesley, Menembus Ciptaan,Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1997.

Hadiwijono, Harun, Iman Kristen,Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2001.

Mangumban, Yusuf G., “Pengelolaan Lingkungan Hidup: Peranan Teologi dan Etika Kristen”, dalam Markus Rani (peny.), Teologi Kehidupan: Melestarikan Lingkungan Hidup,Rantepao: Sulo, 2006.

____________________, Teologi Kehidupan: Suatu Pemahaman Teologis yang Menekankan Pentingnya Manusia Memelihara Kehidupan dengan Titik Tolak Lingkungan Hidup,Makalah: Orasi Ilmiah Dies Natalis ke-58, Wisuda Sarjana & Magister Theologia STT INTIM Makassar, 18 September, 2006.

______________________, “Keutuhan Ciptaan dalam Isu Pluralitas”, dalam Pluralitas dan Kekerasan: Perjuangan Mencipta Harmoni,Jurnal STT INTIM Makassar, Edisi No. 9-Semester Genap 2007.

Singgih, Emanuel Gerrit, Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja Menyongsong Abad ke-21,Yogyakarta: Kanisius, 1997.

Sinode Am Gereja Hervormd Belanda, Taman Eden Itu Semakin Tandus,Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1994.

Soemarwoto, Otto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan,Jakarta: Djambatan, 1997.

Stott, John, Isu-isu Global,Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2000.

Tinambunan, Victor, Gereja & Orang Percaya: Oleh Rahmat Menjadi Berkat di Tengah Krisis Multi Wajah,Pematangsiantar: Lembaga Studi Agama, Pembangunan dan Kebudayaan STT HKBP, 2006.

Widianarko, Budi, Ekologi dan Keadilan Sosial,Yogyakarta: Kanisius, 1998.


[1] Memang harus diakui bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai alat menjadi suatu kekuatan yang telah mempersembahkan kehidupan yang lebih baik bagi manusia. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah menyumbangkan kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi, kesehatan dan kenyamanan. Namun, bersamaan dengan hal itu pula, dengan memperalat ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia baik secara langsung maupun tidak langsung, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, telah merusak alam. Oleh sebab itu, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat menjadi alat satu-satunya untuk memecahkan krisis ekologi yang dihadapi umat manusia dewasa ini. Manfaat yang diperoleh manusia telah banyak diketahui. Walaupun manfaat itu telah pula mengubah perilaku manusia menjadi manusia materialistik, namun tulisan ini tidak akan mengupasnya.

[2] Yusuf G. Mangumban, “Keutuhan Ciptaan dalam Isu Pluralitas”, dalam Pluralitas dan Kekerasan: Perjuangan Mencipta Harmoni,Jurnal STT INTIM Makassar, Edisi No. 9-Semester Genap 2007, hlm. 31.

[3] Ibid.,

[4] Yusuf G. Mangumban, “Pengelolaan Lingkungan Hidup: Peranan Teologi dan Etika Kristen”, dalam Markus Rani (peny.), Teologi Kehidupan: Melestarikan Lingkungan Hidup,Rantepao: Sulo, 2006, hlm. 9.

[5] Victor Tinambunan, Gereja & Orang Percaya: Oleh Rahmat Menjadi Berkat di Tengah Krisis Multi Wajah,Pematangsiantar: Lembaga Studi Agama, Pembangunan dan Kebudayaan STT HKBP, 2006, hlm. 53. Suatu tonggak sejarah tentang permasalahan lingkungan hidup dalam tataran nasional ialah diselenggarakannya seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional oleh Universitas Padjadjaran di Bandung pada tanggal 15-18 Mei 1972. Lihat Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan,Jakarta: Djambatan, 1997, hlm. 1-3. Sedangkan, dalam tataran Internasional diselenggarakannya Konferensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Lingkungan Hidup di Stokholm, tahun 1972. Konferensi itu terkenal sebagai konferensi Stokholm. Hari pembukaan konferensi itu, tanggal 5 Juni, telah disepakati sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Dalam Konferensi Stokholm telah menyetujui banyak hal tentang lingkungan hidup. Salah satu diantaranya adalah didirikannya badan khusus dalam PBB yang ditugasi untuk mengurus permasalahan lingkungan hidup, yaitu United Nations Environmental Programe,disingkat UNEP. Kemudian diadakannya Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Jeneiro, Brasil, tahun 1992. Pertemuan ini bertujuan merumuskan kebijakan kerjasama internasional untuk melindungi bumi. Lihat Wesley Granberg-Michaelson, Menembus Ciptaan,Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1997, hlm. 1-23.

[6] Victor Tinambunan, op.cit.,hlm. 53.

[7] Ibid.,hlm. 52.

[8] Untuk penjelasan yang lebih luas mengenai masa pencerahan, lihat Sinode Am Gereja Hervormd Belanda, Taman Eden Itu Semakin Tandus,Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1994, hlm. 21-23. Lihat juga William Chang, Moral Lingkungan Hidup,Yogyakarta: Kanisius, 2001,hlm. 60-61.

[9] John Stott, Isu-isu Global,Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2000, hlm. 148.

[10] Robert P. Borrong, Etika Bumi Baru,Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2003, hlm. 50.

[11] Budi Widianarko, Ekologi dan Keadilan Sosial,Yogyakarta: Kanisius, 1998, hlm. 53-54.

[12] Robert P. Borrong, op.cit.,hlm. 50-51.

[13] Mengacu dalam Emanuel Gerrit Singgih, Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja Menyongsong Abad ke-21,Yogyakarta: Kanisius, 1997, hlm. 129-130.

[14] Antroposentrik berasal dari bahasa Yunani Antroposyang berarti manusia. Jadi antroposentrik menekankan bahwa manusia adalah pusat segala sesuatu. Lihat Robert P. Borrong, op.cit.,hlm. 151.

[15] Mengacu dalam Yusuf G. Mangumban, Teologi Kehidupan: Suatu Pemahaman Teologis yang Menekankan Pentingnya Manusia Memelihara Kehidupan dengan Titik Tolak Lingkungan Hidup,Makalah: Orasi Ilmiah Dies Natalis ke-58, Wisuda Sarjana & Magister Theologia STT INTIM Makassar, 18 September 2006, hlm. 20-21.

[16] Tim Cooper, Sustainable The Earth: A Christian Approach to Caring for The Environment,Nottingham: St. John’s Extension Studies, 1997, hlm. 65-68.

[17] Dalam Alkitab kesaksian tentang penciptaan langit dan bumi terdapat juga di tempat-tempat lain, misalnya Mzm. 19; 74; 89; 95; 104; Ayb. 28 dan sebagainya. Lihat J.L. Ch. Abineno, Manusia dan Sesamanya di Dalam Dunia,Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2003, hlm. 1.

[18] Bnd. Harun Hadiwijono, Iman Kristen,Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2001, hlm. 148-150.

[19] Bnd. J.L.Ch. Abineno, op.cit.,hlm. 1-3.

[20] Celia Deane-Drummond, Teologi dan Ekologi,Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2001, hlm. 18-19.

[21] Bnd. John Stott, op.cit.,hlm. 5-20.

[22] Panteistik adalah keyakinan bahwa Allah adalah semua dan semua adalah Allah. Alam merupakan manifestasi dari yang sakral dan ilahi, sehingga alam harus disembah. Lihat Norman G. Geisler, Etika Kristen Pilihan dan Isu,Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2003,hlm. 384.

[23] Mengacu dalam Ibid.,hlm. 390.

[24] Harun Hadiwijono, op.cit.,hlm. 159-161.

[25] Mengacu dalam Yusuf G. Mangumban, op.cit.,hlm. 40.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *