Kasih yang memulihkan relasi (Yohanes 21:15-19) – Pdt. Merkury D. Sine

  1. Pendahuluan

Kasih yang memulihkan relasi” berarti kasih (cinta yang tulus dan tanpa pamrih) yang memiliki kekuatan untuk memperbaiki hubungan yang rusak atau renggang antara dua pihak—baik itu dalam keluarga, persahabatan, maupun komunitas. “Kasih” bukan sekadar perasaan, tetapi tindakan nyata yang mencerminkan pengampunan, pengertian, dan pengorbanan. Sementara itu memulihkan berarti mengembalikan sesuatu ke keadaan yang sehat, utuh, dan harmonis. Sedangkan ‘relasi’ merupakan hubungan antar manusia yang melibatkan emosi, kepercayaan, dan komunikasi. Jadi, kasih yang memulihkan relasi adalah bentuk kasih yang tidak hanya mengampuni, tetapi juga menyembuhkan luka batin, memperbaiki komunikasi yang rusak, dan membangun kembali kepercayaan yang hilang.

Beberapa contoh konkret “kasih yang memulihkan relasi”:

1. Dalam Keluarga:

Seorang ayah yang pernah bersikap keras kepada anaknya, akhirnya minta maaf dan mulai membangun ulang hubungan dengan lebih banyak mendengarkan dan menunjukkan kasih sayang. Anak yang dulu merasa jauh kini mulai membuka diri lagi.

2. Persahabatan:

Dua sahabat yang bertengkar karena kesalahpahaman memilih saling mengampuni, terbuka tentang kesalahan masing-masing, dan memulai lagi dengan komitmen untuk lebih jujur satu sama lain.

3. Relasi dengan Tuhan:

Orang yang merasa jauh dari Tuhan karena dosa atau rasa malu, kembali merasakan kasih-Nya dan mulai membangun hubungan rohani lewat doa, firman, dan pertobatan.

4. Dalam Gereja atau Komunitas:

Anggota yang pernah tersakiti oleh gosip atau konflik dipulihkan lewat penerapan kasih Kristus, pengampunan, dan upaya bersama untuk membangun kembali budaya saling menghargai.

Kuncinya adalah kasih bukan sekedar kata-kata, tapi tindakan yang menunjukkan pengampunan, kerendahan hati, dan komitmen memperbaiki hubungan.

Dalam  bulan budaya minggu ini, kita diperkenalkan dengan budaya Alor, dimana salah satu unsur budaya yang membangun suatu relasi adalah tarian gawi. Tari  Gawi, mirip lego-lego, tetapi lebih kuat unsur ritual adatnya, terutama di kalangan masyarakat Alor Timur. Tarian ini dilakukan saat acara syukuran panen atau ritual tolak bala. Tari gawi di Alor bukan sekadar seni pertunjukan, tetapi juga alat membangun dan mempererat relasi sosial.

Berikut ini beberapa nilai yang dapat kita pelajari dari tarian gawi, antaralain:

1. Simbol Persatuan dan Kebersamaan

Tari Gawi dilakukan secara berkelompok dalam lingkaran, menari bersama sambil menyanyikan lagu-lagu adat. Lingkaran itu melambangkan kesetaraan, tanpa hierarki, semua orang saling terhubung. Ini menumbuhkan rasa kebersamaan dan solidaritas sosial, baik antarwarga kampung maupun antar suku.

2. Media untuk Menyelesaikan Konflik

Dalam beberapa konteks adat, Tari Gawi dilakukan setelah upacara perdamaian atau penyelesaian sengketa adat.

Menari bersama menjadi simbol bahwa konflik telah diselesaikan, dan hubungan sosial telah dipulihkan.

3. Penguat Ikatan Keluarga dan Antar-Marga

Tari Gawi sering hadir dalam upacara pernikahan, syukuran panen, dan acara besar yang melibatkan banyak marga dan kerabat jauh. Dengan ikut menari, mereka menunjukkan kesetiaan terhadap ikatan sosial dan komitmen untuk terus menjalin hubungan baik.

4. Ruang Sosialisasi Antar Generasi karena semua umur ikut menari. Tari gawi menjadi media interaksi antar generasi. Anak-anak dapat belajar adat dan nilai sosial dari orang tua dan tetua. Hal ini memperkuat relasi budaya dan pewarisan nilai tradisional.

5. Ritual Komunal yang Mengikat

Tari Gawi bukan tarian individu. Harus dilakukan bersama: jika satu orang tidak selaras, seluruh lingkaran terganggu. Ini mengajarkan pentingnya kerja sama, harmoni, dan saling pengertian, nilai dasar dalam membina relasi sosial.

II.Isi

Dari bacaan  Yohanes 21:15–19 ini adalah kisah ketika Yesus memulihkan hubungan-Nya dengan Petrus setelah Petrus tiga kali menyangkal-Nya.;

  1. Yesus Menemui Petrus Secara Pribadi (ayat 15), Setelah kebangkitan, Yesus sengaja menemui Petrus. Ini menunjukkan bahwa pemulihan relasi dimulai dengan inisiatif kasih.
  2. Yesus bertanya, bukan menuduh (ayat 15–17). Tiga kali Yesus bertanya: “Apakah engkau mengasihi Aku?” pertanyaan ini bukan untuk mempermalukan Petrus, tapi untuk menyentuh hati dan membawanya pada pemulihan. Kasih yang memulihkan tidak mengungkit masa lalu untuk menyakiti, tapi untuk menyembuhkan.
  3. Pemulihan termasuk tanggung jawab baru (ayat 15b–17b). Setelah Petrus menyatakan kasihnya, Yesus memberinya tugas: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.” Artinya kasih Kristus tidak hanya mengampuni, tapi mengangkat kembali martabat dan memberi kepercayaan. Pemulihan sejati bukan hanya bebas dari rasa bersalah, tapi juga kembali dalam rencana Tuhan untuk bisa menghadapi tantangan pelayan kedepannya.
  4. Kasih yang Memulihkan Mendorong Pengorbanan (ayat 18–19), Yesus menubuatkan bahwa Petrus akan mati demi Dia. Pemulihan relasi menghasilkan kasih yang teguh dan pengabdian sejati, bukan lagi kasih yang takut menyangkal melainkan berani berkorban demi pelayan.

III. Aplikasi dalam Kehidupan

  1. Relasi manusia dengan Tuhan:  Tuhan selalu siap memulihkan jika kita kembali dengan hati yang mengasihi.
  2. Relasi dengan sesama: Ketika ada konflik atau pengkhianatan, kasih Kristus menjadi teladan untuk mengampuni dan memulihkan.
  3. Pelayanan: Tuhan tetap bisa memakai kita walau pernah jatuh, jika kita sungguh bertobat dan mengasihi-Nya.

IV. Penutup

Kasih Kristus tidak membuang orang yang gagal. Dia memulihkan, mempercayakan kembali, dan memanggil kita untuk hidup dalam kasih yang sama kepada sesama. Pertanyaan refleksi: Adakah relasi dalam hidupmu yang perlu dipulihkan? Sudahkah kamu membuka hatimu pada kasih Yesus yang memulihkan?. Selamat berefleksi. Tuhan Memberkati.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *