Mewujudkan Keadilan (Amos 5:7-13) – Pdt. Ekawaty W. Lily

  1. Pengantar

Nama Amos berarti “Penanggung Beban”. Ia lahir di wilayah Yehuda (Selatan), nama kampungnya Tekoa. Ia dipanggil Tuhan untuk berkarya di wilayah Israel (Utara). Yang menarik dari Amos adalah pekerjaannya. Dia hanyalah si penggembala domba. Dan kata domba yang dipakai di teks asli yaitu “Noked”, Noked itu memiliki arti yang sama dari Bahasa Arab yaitu “Nagad”. Kata “Nagad” ini berarti domba khusus di wilayah Arab  yang tidak menarik dilihat, tetapi ada kekhususannya yakni sangat mahal bulunya. Dan Amos kesehariannya menggembalakan domba seperti ini.

Amos juga memiliki pekerjaan sampingan  yaitu: Pemetik buah Ara hutan. Ternyata ada buah Ara, tetapi juga buah Ara hutan. Khusus buah ara hutan, itu biasanya hanya dibeli oleh masyarakat yang kurang mampu, dari kalangan kelas bawa karena harganya relatif murah.

Dari keterangan ini kita mendapat gambaran bahwa Amos bukan datang dari kalangan pembesar atau penguasa. Dia juga awalnya bukan seorang Nabi, atau anak Nabi, atau dibesarkan dalam keluarga Nabi. Dia justru hanyalah peternak domba dan pemetik buah Ara hutan (Amos 7:14), tetapi profesi itu mendorongnya juga untuk menjadi penimbang buah Ara. Dia menjaga kestabilan harga dari mafia kapitalis, yang seringkali “bermain” pada neraca timbangan yang tidak adil.

Amos datang dari kelompok kelas bawa, yang melihat dan mengalami ketidak keadilan berlapis yang tumbuh subur dalam masyarakat waktu itu. Namun saat Tuhan memanggil Amos, untuk memberi peringatan kepada Israel tentang praktek ketidakadilan, ia dengan lantang bersuara, ia bersuara dari komunitas akar rumput, mengkritik para elit dan penguasa pada masa itu untuk menegakkan kembali keadilan yang patah. 

Saat Tuhan memanggil Amos, Kerajaan utara yakni Israel sementara mengalami puncak keemasan. Kekuatan militer yang hebat, sektor ekonomi yang berkelimpahan, bahkan sistem pemerintahan yang kuat, menghantarkan Israel ada pada masa kejayaan. Namun kejayaan itu berbarengan dengan merosotnya nilai hidup sebagai umat Allah. Mereka memang terlihat giat beribadah, tetapi itu hanyalah formalitas. Mereka tidak lagi takut kepada Tuhan yang telah memelihara mereka dengan masa kejayaan dan keemasan.

Mereka yang harusnya menegakkan keadilan justru mengubahnya menjadi “Ipuh”. “Ipuh” adalah sejenis pohon yang getahnya pahit dan beracun.

Keadilan yang harusnya memberi rasa manis, rasa sukacita, rasa puas, bagi mereka yang mengalami ketidakadilan. Keadilan yang harusnya memastikan orang terlindungi, aman, justru ditangan penguasa dan para elit, berubah menjadi pahit, menyakitkan dan mematikan. Orang miskin ditindas, orang yang tidak berdaya digilas dengan sekian banyak aturan yang memberatkan. Ketimpangan sosial ini menjadikan keadilan sosial hanyalah slogan semata.

Demikian juga dengan kebenaran. Kebenaran yang harusnya dijunjung tinggi, justru dihempaskan ke tanah. Kebenaran tidak lagi memiliki tempat dan arti yang tepat. Orang yang benar disalahkan, orang yang salah dibenarkan. Orang yang benar direndahkan, orang yang salah ditinggikan. Orang yang benar dihina, diinjak-injak, orang yang salah dipuji, disanjung. Kebenaran macam apa ini? Kebenaran dimanipulasi, dipolitisir, sehingga orang tidak bisa lagi membedakan mana kebenaran yang sejati dan mana kebenaran yang penuh kepalsuan.

B. Isi Penugasan Tuhan kepada Amos

    Di Tengah situasi ini Tuhan mengutus Amos untuk menyampaikan suara kenabian kepada Israel:

    1. Amos mengingatkan Israel tentang ketidak adilan yang mereka lakukan:
    2. Ayat 7: Kamu telah mengubah keadilan menjadi ipuh (pahit dan mematikan)
    3. Ayat 11: Kamu telah menginjak-injak orang yang lemah, dan mengambil pajak gandum dari padanya
    4. Ayat 12: Kamu telah menjadikan orang benar terjepit, dan menerima uang suap untuk mengesampingkan orang miskin.
    5. Amos memperingatkan Israel tentang ganjaran atas ketidakadilan:
    6. Sekalipun kamu mendirikan rumah-rumah dari batu pahat, kamu tidak akan mendiaminya
    7. Sekalipun kamu telah membuat kebun anggur yang indah, kamu tidak akan minum anggurnya.

    Rumah-rumah dari batu pahat dan kebun anggur yang indah adalah bahasa kiasan atau gambaran metafora tentang kejayaan, kekayaan, kekuasaan, popularitas, yang diperoleh dari mereka yang memutar balikan kebenaran, dengan tipu daya, pemerasan, suap, bahkan berbagai bentuk ketidakadilan lainnya.

    Terhadap mereka Allah tidak main-main memberi ganjaran, bahwa apa yang mereka kejar, bahkan apa yang mereka perjuangkan, akan menjadi sia-sia, sebab mereka tidak akan nikmati darinya. Karena itu semua diperoleh dengan cara yang salah.

    Allah melawan segala bentuk ketidakadilan, sekaligus Allah berdiri bersama mereka yang menjadi korban ketidakadilan. Allah menunjukan keberpihakannya. Dan Allah tahu bagaimana cara mengambilnya kembali.

    C. Pertanyaan untuk Refleksi

    1. Apa kekuatan Amos sehingga sekalipun ia datang dari kalangan biasa, tetapi ia berani tampil dan menyuarakan keadilan, memberi kritik dan ajakan, ditengah kemerosotan moral para pemimpin bangsanya. Apakah relevansinya bagi gereja masa kini ?
    2. Kita hidup dan menggereja di bumi Pancasila, Negeri yang sila ke limanya Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dalam konteks Indonesia secara umum, dan dalam konteks GMIT sebagai rumah bersama secara khusus, Apa yang masih harus gereja lakukan untuk “mewujudkan keadilan”?

    D. Penutup

    1. Indonesia masih sakit dengan persoalan ketidakadilan, jangan lagi memperparah kronis ini. Kita perlu berpulih bersama.
    2. Berhentilah melakukan ketidakadilan sekecil apapun bentuknya, kita tidak akan mengecap apa-apa!
    3. Gereja adalah komunitas akar rumput, yang harus gelisa dan terus berjuang untuk menegakan keadilan yang patah di negeri Pancasila ini.

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *