
Bahan Renungan Minggu Sengsara IV, 23 Maret 2025
Pengantar
“Kerendahan hati memampukan seseorang yang berstatus tinggi membungkuk di depan musuhnya dan melayani sang musuh bagaikan raja, tapi orang sombong dan tinggi hati memperlakukan teman dan sahabat seperti musuh dan hamba”. Pernyataan ini mungkin dianggap berlebihan, karena kebanyakan manusia cenderung merendahkan diri terhadap orang yang memiliki jabatan tinggi, tapi berlagak di depan orang-orang yang berstasus sosial rendah atau kaum kecil. Hal itu karena sikap kerendahan hati yang ditunjukkan penuh dengan kepentingan. Merendahkan diri dengan pamrih. Ada udang di balik batu, kira-kira begitulah motif orang yang menunjukkan kerendahan hati hanya kepada kaum kelas atas, berkuasa dan memiliki pengaruh. Lalu pertanyaannya adalah apakah sudah tidak ditemukan lagi orang yang merendahkan diri dengan tulus?
Penjelasan Teks
Ayat 1 dan 2, penginjil Yohanes menampilkan dua kenyataan yang bertolak belakang di sekitar perayaan Paskah. Di satu sisi, ditunjukkan tentang Yesus yang mengasihi murid-murid-Nya dengan kasih kekal, dan di sisi lain ada Yudas yang akan mengkhianati Yesus. Juga dengan jelas Yohanes menunjukkan sumber kasih yakni berasal dari Bapa, sedangkan rencana jahat untuk melakukan pengkhianatan terhadap Yesus berasal dari iblis.
Ayat 3-5, Yesus memaknai kuasa yang diberikan oleh Bapa dengan melakukan karya pelayanan dalam kerendahan. Tertulis bahwa Bapa menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya, Yesus berasal dari Allah dan kembali kepada Allah. Hal ini menyatakan tentang kuasa Yesus yang melebihi apapun juga. Dia melampaui apapun dalam dunia ini. Dengan kata lain, Yesus yang harus berhak dan layak mendapatkan penghormatan dari manusia. Tapi lihatlah, kesadaran bahwa diri-Nya diserahkan segala kemuliaan tidak membuat Yesus tetap berdiam di singgasana mulia, tapi rela meninggalkan kemuliaan untuk melayani manusia. Perbuatan simbolis ditunjukkan Yesus ketika menanggalkan jubbah-Nya dan mengikat kain pada pinggang-Nya lalu membungkuk dan membasuh kaki murid-murid-Nya.
Ayat 6-11, percakapan antara Yesus dan Petrus yang belum memiliki pemahaman sempurna tentang Yesus. Petrus seperti biasa akan menunjukkan reaksi berbeda dengan murid lainnya ketika Yesus mengajar baik melalui perkataan maupun perbuatan. Penolakan Petrus beralasan karena dalam tradisi Yahudi, jika ada jamuan maka tuan rumah menyediakan air dan mempersilahkan tamu untuk membasuh kaki mereka sendiri. Ada juga tuan rumah yang menyediakan pelayan untuk membasuh kaki para tamu yang diundang. Bagi Petrus, apa yang dilakukan oleh Yesus tidak seperti kebiasaan. Petrus merasa dapat membasuh sendiri kakinya dan di sisi lain Yesus itu bukan pelayan. Tentu hal ini karena pemahaman Petrus dan orang-orang Yahudi pada umumnya kalau Yesus adalah Mesias politis. Yesus mengubah cara pandang Petrus akan pembasuhan sebagai simbol penyatuan manusia dengan diri-Nya. Petrus akhirnya bersedia dibasuh kakinya karena menerima pengajaran yang benar tentang makna pembasuhan.
Ayat 12-17, Yesus menyampaikan makna pembasuhan yang dilakukan-Nya. Kemungkinan murid-murid tidak tahu arti perbuatan Yesus itu. Kita temukan kesan itu dalam teks, tidak ada jawaban para murid atas pertanyaan Yesus: “Mengertikah kamu apa yang telah Kuperbuat kepadamu?”. Paling tidak ada dua makna dari pembasuhan kaki yang Yesus lakukan, yakni pertama, Yesus memberi teladan bahwa status tinggi sekalipun hendaknya dipakai untuk melayani. Kedua, perbuatan Yesus menunjukkan teladan kerendahan hati. Ayat 18-20, Yesus mempersiapkan para murid dengan menyampaikan sebuah kenyataan bahwa kerendahan hati dan pelayanan tulus tidak selalu diganjar dengan kebaikan. Ada di antara para murid yang Yesus basuh kakinya, akan mengangkat tumitnya kepada Yesus. Dan hal itu mungkin saja akan dialami juga oleh para murid di waktu yang akan datang.
Aplikasi
Yesus adalah teladan sempurna tentang merendahkan diri dan melayani. Itu karena Yesus menjalin kedekatan dengan Bapa. Sebaliknya orang yang sombong dan tinggi hati, sudah pasti orang itu jauh dari Tuhan sehingga salah memahami Tuhan. Kerendahan hati memampukan seseorang melayani sampai tuntas, tidak berubah komitmen pelayanannya hanya karena berhadapan dengan pelaku kejahatan. Kerendahan hati tidak memandang orang, tapi memampukan seseorang untuk melayani orang yang membenci dan memusuhinya sekalipun. Perbuatan pembasuhan kaki oleh Yesus yang dilakukan menjelang Paskah hendak mengingatkan kita bahwa merayakan Paskah tanpa memiliki sikap rendah hati maka Paskah hanya akan bersifat perayaan tanpa penghayatan. Teladan Yesus menggugah dan menggugat kita yang akan merayakan Paskah, masih pantaskan Paskah dirayakan jika para kaum peraya masih bertakhta di singgasana kesombongan? masih pantaskah Paskah dirayakan jika umat yang hiruk pikuk merayakan Paskah tidak saling merendahkan diri seorang terhadap yang lain? Masih pantaskah Paskah dirayakan jika kerendahan hati hanya ditunjukkan kepada orang yang berkuasa, berduit, dan berstatus sosial tinggi? Yesus sudah beri teladan merendahkan diri dan melayani dengan tulus yakni dengan menanggalkan jubah kemuliaan dan membungkuk membasuh kaki murid-murid termasuk Yudas Iskariot yang memiliki niat jahat kepada-Nya. Ikutilah itu maka perayaan Paskah kita memiliki makna dan arti. ***
Dikutip dari “Tunas dari Tanah Kering,” Renungan Harian Maret-April 2025.