
Tema kita bicara tentang “Yesus membarui praktek budaya yang tidak adil”. Mendengar tema ini, rasanya tidak sulit untuk menemukan praktik tersebut pada masa kini bahkan mungkin kita sendiri sedang menghidupinya.
Banyak contoh yang bisa diangkat, misalnya :
- Laki – laki dianggap memiliki wewenang penuh dalam membuat keputusan.
- Perempuan dianggap hanya memiliki peran sebagai ibu rumah tangga dan tidak memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan publik.
- Anak laki-laki itu anak emas sedangkan anak Perempuan itu perak. Dalam hal pewarisan masih banyak yang memberikan hak waris hanya kepada laki-laki sedangkan Perempuan tidak memiliki hak yang sama.
- Perempuan diharuskan untuk mengenakan pakaian tertentu dan memiliki perilaku tertentu yang dianggap “sesuai” dengan norma masyarakat.
- Perempuan tidak memiliki akses yang sama untuk mendapatkan pendidikan, sehingga mereka tidak memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan kemampuan dan potensi mereka.
Itulah contoh bagaimana budaya yang tidak adil masih banyak dipraktekan dalam kehidupan jemaat atau masyarakat kita.
Ketika kita bicara tentang budaya, sebagian kita mungkin masih ingat definisi kebudayaan, misalnya menurut Koentjaraningrat (1985) : “Budaya adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dimiliki manusia dengan belajar”.
Definisi ini menolong kita memahami bahwa cara hidup dan cara berpikir kita itulah budaya. Itulah yang nampak dalam bahasa yang digunakan, makanan yang dimakan, pakaian yang dikenakan, upacara adat yang dilakukan sampai pada nilai-nilai, norma, tradisi yang dijunjung tinggi.
Dalam pemahaman tersebut, maka ada benarnya apa yang dikatakan oleh Clifford Geertz bahwa “manusia adalah produk budaya”.
Menurut Geertz budaya adalah sistem simbolik yang digunakan oleh manusia untuk memahami dan menginterpretasikan dunia sekitar. Itu berarti manusia sebagai produk budaya merupakan bentukan budaya yang berkembang dalam konteksnya.
Itu berarti identitas, perilaku dan pemikiran kita terbentuk dari cara hidup dan berpikir lingkungan disekitar kita.
Bacaan kita pagi ini menggambarkan bagaimana pandangan budaya pada masa itu. Dalam peristiwa penampakan Yesus terlihat bagaimana status perempuan dalam masyarakat Yahudi yang memiliki pandangan yang sangat patriarkis.
Pada masa itu, kesaksian merupakan sesuatu yang sangat penting dalam hukum Yahudi. Namun, terhadap kesaksian perempuan tidak dianggap sebagai kesaksian yang sah.
Kenapa demikian ?
Pada masa itu, perempuan dianggap sebagai orang yang tidak memiliki otoritas dan tidak dapat dipercaya. Mereka dianggap sebagai orang yang lemah dan tidak memiliki kemampuan untuk membuat keputusan yang tepat. Bahkan dalam Hukum Taurat disebutkan pembatasan peran perempuan dalam masyarakat, Perempuan dalam masa nifas dianggap sebagai orang yang tidak murni selama 40 hari (Kitab Imamat 12:2-4) Artinya sekalipun seorang Perempuan tahu akan kebenaran atas sebuah kesaksian namun itu tidak akan diterima karena kodratnya sebagai perempuan yang melahirkan.
Dampaknya adalah dalam pengadilan seorang perempuan tidak memiliki hak untuk menjadi saksi.
Namun ketika Yesus menampakan diri pasca kebangkitanNya, Ia melakukan tindakan memberikan peran yang penting kepada perempuan sebagai saksi dan pembawa kabar baik.
Apa yang Yesus lakukan jelas menunjukkan cara pandang baru terhadap diri seorang Perempuan. Yesus memandang perempuan tidak seperti orang-orang pada zamanNya melainkan menerima perempuan sebagai ciptaan yang berharga dan memiliki hak yang setara dengan laki-laki.
Dalam perspektif Yesus, budaya yang patriarki yang memandang perempuan sebelah mata harus dibarui dengan tidak memandang perempuan dengan cara yang sama lagi.
Tindakan Yesus ini merupakan contoh sikap kritis terhadap budaya. Ia tidak melakukan cara-cara yang konfrontatif terhadap budaya Yahudi namun Yesus menunjukannya melalui tindakan-tindakan yang terukur, konstruktif dan memberdayakan.
Sikap mengkritisi budaya sangat penting dilakukan karena budaya dapat membentuk perilaku dan nilai-nilai yang tidak sesuai dengan standar moral dan etika.
Contoh : membuli, ini dapat dipandang sebagai produk budaya yang melahirkan hal-hal negatif seperti kekerasan dan konflik. Begitu pula dengan budaya yang merendahkan perempuan dengan menyamakan belis setara dengan nilai seorang perempuan. Tidak heran kita sering mendengar ungkapan yang mengatakan bahwa “saya tidak pukul istri tapi pukul moko/sapi/kerbau” (belis yang pernah diserahkan).
Kita semua dapat menjadi korban budaya yang tidak adil. Karena itu dalam momentum Bulan Budaya ini, mari belajar dari tindakan Yesus membarui budaya yang tidak adil.
Seperti Maria Magdalena yang pergi dan berkata kepada murid-murid bahwa ia telah melihat Tuhan yang bangkit maka gerejapun juga diutus untuk pergi memberitakan kabar damai sejahtera melalui tidakan yang membarui budaya yang tidak adil.
Dalam rangka perayaan Bulan Budaya GMIT, kita membukanya dengan Etnis Timor.
Menarik bahwa dalam dunia Atoin Meto, ada pembagian yang tegas antara feto (perempuan) dan mone (laki-laki) atau atoni dan bife yang mempengaruhi peran, hak, dan kewajiban dalam masyarakat. Konsep ini berkaitan erat dengan prinsip kosmologis “ feto-mone” yang menggambarkan dualisme komplementer namun hierarkis. Dua elemen ini sesungguhnya saling berpasangan dan saling melengkapi namun tidak ditempatkan setara. Akibatnya perempuan (Feto)hanya menjalankan peran domestik yang berkaitan dengan urusan dalam rumah (ume nanan). Sedangkan monememiliki peran publik, pengambilan keputusan adat dan pekerjaan di luar rumah (mone’). Disinilah praktek ketidakadilan dialami perempuan. Salah satu contoh nampak dalam ungkapan-ungkapan “untuk apa kasi sekolah perempuan toh nanti dia jadi milik orang lain”. Ini salah satu contoh budaya yang harus dibarui. Namun gereja diutus untuk pergi memberitakan kabar damai sejahtera melalui tidakan yang membarui budaya yang tidak adil dengan bertindak seperti Maria Magdalena yang pergi dan berkata kepada murid-murid bahwa ia telah melihat Tuhan yang bangkit. Tuhan memberkati. Amin. ***