
Kupang, www.sinodegmit.or.id., “GMIT berpolitik tetapi politik gagasan dan bukan politik identitas primordial. Jika kita berbicara tentang suku, bangsa, kepercayaan, ras, adat, daerah, dst, maka kita akan bermusuhan di momen Pilkada ini. Tetapi jika kita bicara tentang kemiskinan, stunting, perubahan iklim, perdagangan orang, pendidikan, maka menjadi isu bersama yang dapat diperjuangkan di seluruh wilayah NTT.” Demikian disampaikanDr. Jeheskial A. Roen, S.Si, M.Si dalam kegiatanPendidikan Politik bagi dan Sosialisasi Safe guarding yang diadakan oleh Majelis Sinode GMIT di JemaatEbenhaezer Tarus Barat, Klasis Kupang Tengah, pada Selasa (29/10).
Ketua Sinode GMIT dalam suara gembala berbicara tentang pentingnya Pendidikan politik bagi warga gereja.
“Kegiatan tersebut merupakan tanggung jawab gereja untuk mempersiapkan warganya dalam dunia politik. Kita berupaya untuk meningkatkan pengetahuan tentang politik dalam bingkai etika dan nilai Kekristenan bagi warga jemaat. Tujuannya ialah ada kesadaran tentang cara berpolitik yang sehat, damai dan jujur, bukan berpolitik berdasarkan identitas primordial,” kata Pdt. Semuel.
Ia berharap agar ada proses yang baik dari keterlibatan anggota gereja dalam Pilkada, baik sebagai calon/pemilih, dan dalam kampanye-kampanye politik, sehingga terhindar dari nuansa ketidakadilan dan ketidakjujuran akibat politik identitas primordial.
“GMIT terpanggil untuk memastikan semua yang terlibat dalam proses dapat menempatkan dirinya sebagai tanda kehadiran Kristus yang hadir untuk membawa kebaikan bagi semua,” lanjut Pdt. Semuel.
Para peserta diingatkan bahwa hasil survey Badan Pengawas Pemilihan Umum RI tahun 2024 menyebut NTT berada di posisi pertama untuk Provinsi yang rentan money politic,dengan daerah yang tertinggi adalah Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Alor. Selain itu perbedaan agama juga merupakan isu yang kuat dikampanyekan dalam momen Pilkada. Karena itu, anggota gereja dapat menghindari tindakan-tindakan yang demikian, serta dapat memahami perannya dalam menghidupi dunia politik yang membawa damai sejahtera, adil dan jujur.
“Jika keterlibatan gereja adalah politik identitas primordial, maka ada potensi untuk menciptakan polarisasi dalam jemaat yang pada ujungnya akan menimbulkan perpecahan yang memiliki pandangan politik berbeda,” kata Pdt. Emr. Okto Nenohai, salah satu peserta asal Klasis Kupang Tengah.
Ia juga memberi pesan agar para pelayan gereja menghindari keberpihakan pada salah satu kandidat atau partai, sebab berpotensi menjadi institusi partisan yang bertentangan dengan prinsip demokrasi yang mengedepankan kebebasan berpendapat.
Beberapa materi yang diikuti oleh peserta diantaranya, Pentingnya kehadiran lembaga keagamaan dalam politik, pemerintahan dan masyarakat (Drs. Doris Alexander Rihi, M.Si, Kepala Biro Pemerintahan Setda Provinsi NTT); Partisipasi dan strategi politik gereja dalam Pemilu (Pdt. Semuel B. Pandie, Ketua Sinode GMIT); Pendidikan politik, konstitusi, kekuasaan dan kesejahteraan rakyat (Dr. Jeheskial A. Roen, S.Si, M.Si); Partisipasi perempuan dalam politik (Pdt. Henderina Takalogo, Ketua Badan Keadilan dan Perdamaian Sinode GMIT); Peran Bawaslu dalam penyelenggaraan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota – Partisipasi politik warga gereja (Marthoni Reo, SH, Ketua Bawaslu Provinsi NTT).
Kegiatan tersebut diikuti oleh perutusan Pendeta dari Teritori Kupang Daratan, Semau, Malaka, Belu, Flores, TTU, Rote, dan Sabu. ***