Gereja Merayakan Kasih dan Mewujudkan Perdamaian (Roma 12:9-18) – Pdt. Fransiskus S. Nahak

Renungan perayaan HUT Reformasi ke-507, HUT GMIT ke-77 dan Penutupan Bulan Keluarga tahun 2024

L. Radja Haba (alm.), dalam bukunya Dipanggil untuk Kemerdekaan,memberikan beberapa catatan terhadap gerejanya (GMIT). Pertama, kemandirian gereja dan bayang-bayang kolonialisme dari perspektif sejarah. Hal ini terlihat dari jemaat-jemaat yang masih bergantung kepada pihak lain. Kemandirian gereja diuji saat acara-acara besar dan khusus gereja yang tidak menciptakan dasar keabsahan acara itu pada pejabat pemerintah, tetapi pada Kristus sebagai Kepala Gereja. Oleh karena itu, tidak boleh terjadi, gereja harus menunda acaranya berjam-jam atau berhari-hari demi menunggu kedatangan berjam-jam pemerintah untuk membuka dan mensyahkan kegiatan tersebut.

Kedua, gereja belum hadir untuk sesamanya. Salah satu pertanyaan dari Radja Haba adalah: gereja berada untuk tujuan apa? Gereja sebagai suatu pro-eksistensi diartikan Radja Haba sebagai gereja berada untuk orang lain. Ketiga,anggota gereja yang belum semua dewasa. Ukuran kedewasaan gereja adalah melayani. Pelayanan Allah yang baik menurut Radja Haba, pelayanan dalam kata dan tindakan, refleksi dan aksi, suatu keberadaan yang berjalan terus dalam waktu dan ruang didorong oleh gerakan yang sedang dan terus bergerak. Keempat,jemaat yang belum hidup dalam era modernisasi. Menurut Radja Haba, ada gelombang antusiasme terhadap peristiwa modernisasi yang adalah proses perubahan dari suatu situasi tertentu. Namun jemaat-jemaat melakukan segala sesuatu masih secara tradisional dan diwariskan dari generai yang satu ke generasi yang lain. Mereka belum menerima metode-metode baru, yang didasarkan atas cara berpikir yang logis, rasional dan ilmiah. Modernisasi membawa dampak psikologis dan kesadaran baru bahwa mereka masih sangat tertinggal.

Dari catatan  Radja Haba, mengantar kita dalam perenungan HUT Reformasi ke-507, HUT GMIT ke-77 dan Penutupan Bulan Keluarga tahun 2024. Tema renungan dari Majelis Sinode GMIT adalah Gereja Merayakan Kasih dan Mewujudkan Perdamaian.

Dari surat Paulus kepada Jemaat Roma 12:8-19, kita mencatat beberapa poin.

Pertama, mengasihi dengan sungguh-sungguh dan terus menghidupi semangat melayani Ayat 9-11.

 Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik. Kasih yang dimaksud adalah kasih yang tulus dan ikhlas. Bukanlah kasih yang munafik. Kata yang digunakan filostorgia adalah cinta yang mesra.

Kasih itu bukan kemurahan hati yang berlebih-lebihan, yang memaafkan saja kejahatan orang lain dan membiarkan kejahatan itu merajalela terus, melainkan kasih itu malah dapat membenci, yaitu membenci dan menolak kejahatan. Merasa jijik terhadap kejahatan. Pada ayat 10, kata yang digunakan adalah prohegoumenoi, yakni saling mendahului, dapat juga mengandung arti saling mengatasi. kedua arti ini berdasarkan pemakaian kata dasar hegeisthai arti menghargai, yang menghasilkan terjemahan secara (harafiah) dan dalam hormat saling menghargai nilainya lebih tinggi. Jadi anjuran dalam ayat ini tetap merupakan penjabaran kasih yang disebut dalam ayat terdahulu. Kasih itu terutama harus diamalkan dalam hubungan antara sesama anggota jemaat sebagau saudara. Hubungan itu harus bagaikan hubungan antara sesama anggota keluarga yang bahagia. Penuh kemesraan, hangat, akrab. Bukan kaku dan menjaga jarak, sehingga di dalam gereja kita memakai sapaan “tuan” dan “nyonya”. Hubungan antara sesama anggota jemaat tidak hanya ditandai kemesraan, namun seharusnya berlaku pula sikap hormat-menghormati. Ayat 11, Paulus mengingatkan tentang semangat melayani. Ia mengatakan “Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan”. Semangat tidak redup atau suam-suam kuku dan bermalas-malasan dalam pekerjaan, baik secara rohani maupun jasmani. Kemalasan bukanlah karakter orang percaya. Kata yang digunakan Paulus adalah zeontes, yang berarti mendidih atau bergejolak seperti bunyi air yang mendidih. Dalam PB, digunakan untuk hal-hal yang rohani, yang berarti sungguh-sungguh dan bersemangat. Kita dapat megartikannya juga dengan kata pneumayakni roh manusia, sehingga roh mengacu pada semangat manusia. Tetapi, kita juga dapat mengartikannya juga sebagai Roh Kudus sehingga yang tertulis disini, berkobar-kobarlah oleh/dalam Roh. Bagaimanapun, kalau roh manusia berkobar karena kasih yang diterimanya dari Allah, Roh-lah yang telah mengobarkan hatinya.

Kedua, Ayat 12-14, bertekun di dalam kesesakan. Di sini kita melihat tiga nasihat, yakni bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa! Dari tiga nasehat penting ini, Paulus hendak mengatakan kepada orang percaya bahwa mereka akan menerima berkat dan kemuliaan yang sempurna dari Allah, walaupun mereka dalam penderitaan. Tetap tetap berdiri, terus bertahan, dalam tekanan, kesusahan, penderitaan, orang percaya diminta untuk tetap bertahan. Orang percaya diminta untuk tetap memberikan tumpangan (ay. 13). Paulus memberikan nasihat tentang tanggung jawab orang percaya terhadap orang percaya lainnya, yaitu dengan memberikan bantuan bagi orang percaya dalam kebutuhan mereka. Kata “bantulah” (kinōnountes) berarti membagi atau menyalurkan, memberi bantuan. Orang percaya perlu memiliki tangan yang terbuka dan penuh sukacita untuk menerima tamu dan memberikan tumpangan kepada orang percaya yang lain. Ini merupakan praktik keramahtamahan orang percaya terhadap sesama saudara dalam Tuhan. Baik kepada terhadap orang yang memusuhi kita, dan juga terhadap orang yang belum percaya. Memberkati mereka bukan mengutuk.

Ketiga, ayat 15-16, berempati dengan orang lain. “Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!” Nasihat ini diberikan untuk orang percaya memiliki empati terhadap orang lain, baik dalam sukacita maupun dukacita. Orang percaya tidak cinta diri sendiri. Empati tidak terbatas hanya untuk sesama orang percaya, tetap juga terhadap orang yang tidak percaya. Jika seseorang ada dalam sukacita, kita patut mendorong mereka supaya sukacita semakin berlimpah dan kita ikut bersukacita di dalamnya. Namun, saat kita bersama dengan orang yang berdukacita, sepatutnya kita mendampingi mereka melewati lembah-lembah gelap yang mereka alami serta memberikan penghiburan kepada mereka. Kemudian Paulus meminta sehati sepikir dalam hidup bersama; janganlah kamu memikirkan perkara-perkara yang tinggi, tetapi arahkanlah diri kepada perkara-perkara yang sederhana. Janganlah menganggap diri sendiri pandai (ay. 16)! Di sini kita melihat betapa petingnya setiap orang percaya memiliki pikiran Kristus.

 Keempat,ayat 17-19, pembalasan adalah haknya Tuhan.

Dalam PL, khususnya Hukum Taurat tertulis “mata ganti mata, gigi ganti gigi, nyawa ganti nyawa.” Namun, dalam PB kita diminta melakukan lebih dari Taurat itu, yaitu membalas kejahatan dengan kebaikan. Dalam segi positif, orang percaya diminta melakukan apa yang benar, apa yang baik, mulia, yang terhormat kepada semua orang.  Sehingga di ayat 18 “hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!” Harus ada usaha untuk berdamai dan hidup dalam perdamaian dengan semua orang.

Ayat 19, pembalasan adalah hak Tuhan, oleh sebab itu orang percaya dilarang melakukan pembalasan. Bagian orang percaya adalah membalas kejahatan dengan kebaikan. Orang percaya harus membiarkan atau mengizinkan Tuhan dalam waktu-Nya untuk mengadakan pembalasan terhadap orang-orang yang menganiaya orang percaya.

Pokok-pokok Renungan

Pertama, hari ini kita merayakan HUT Reformasi ke-507, HUT GMIT ke-77 dan juga Penutupan Bulan Keluarga tahun 2024. Firman Tuhan mengingatkan kita untuk melayani dengan sungguh-sungguh dengan semangat yang menyala-nyala. Jika ada semangat yang pudar maka kembali menghidupinya. Sebagai keluarga Allah, kita saling mengasihi dengan kasih yang mesra serta saling menghormati. Tidak hanya menghormati sesama warga gereja namun menghormati semua orang tanpa memandang latar belakang. Orang percaya diminta untuk saling mendahului memberi hormat. Jadilah gereja yang pro-eksistensi yakni menjadi gereja bagi orang lain dalam kasih dan mewujudkan perdamaian.

Kedua, dalam perayaan HUT Reformasi-507 dan HUT GMIT ke-77, jumlah umur secara matematis sudah cukup lama gereja berdiri dan melayani. Karena itu, dalam perjalanan pelayanan telah melewati berbagai lembaran sejarah yang kelam maupun terang. Dalam lembaran-lembaran sejarah ini, telah kita melihat karya Allah dalam setiap tapak-tapak gereja. Semua dipakai untuk kebaikan gereja-Nya. Walaupun kini, masih ada bayang-bayang kolonialisme menghantui gereja-gereja kita. Perayaan hari reformasi ke-507, secara oikumenis mengajak kita untuk terus bergandengan tangan, menghadirkan damai sejahtera di tengah-tengah dunia ini, dengan belajar dari lembaran sejarah masa lalu untuk menatap masa depan bersama. Keluar dari bayang-bayang kolonialisme, berdamai dengan diri sendiri, berdamai dengan sesama dan lingkungan. Perayaan HUT GMIT ke-77, melalui firman Tuhan kita diingatkan untuk menjadi gereja yang dewasa, tidak mencintai diri sendiri, empati dengan mereka yang susah. Menjadi gereja bagi orang lain. Gereja yang terus bergumul untuk sungguh-sungguh keluar dari bayang-bayang kolonialisme, sehingga kita dengan bebas merayakan cinta kasih dan mewujudkan perdamaian. Kata Paulus, “bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!”

Ketiga,dalam bulan Oktober GMIT, kita berefleksi bahwa kita semua adalah keluarga Allah. Melalui firman Tuhan saat ini kita diingatkan sebagai warga gereja memiliki pikiran seperti Kristus. Seperti apa pikiran Kristus? Pertama, sehati dan sepikir, bukan berarti tidak menghargai perbedaan. Tidak. Melainkan setiap warga gereja tidak menganggap dirinya pintar sendiri dan menganggap saudaranya yang lain bodoh. Kedua, pikiran Kristus adalah memikirkan tentang keselamatan umat manusia. Memikirkan orang lain, bukan memikirkan diri sendiri. Kristus berpikir ke bawah bukan ke atas. Ketiga, berpikir tentang kesederhanaan, bukan kemewahan. Kalau Allah tidak berpikir ke bawah maka Ia tidak mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa seorang hamba (Fil. 2). Dalam perayaan HUT Reformasi, HUT GMIT dan Penutupan Bulan Keluarga kita terus memiliki pikiran Kristus.

Tantangan kita adalah masih banyak jemaat-jemaat GMIT hidup dalam pola pikir tradisional sehingga sulit menerima perubahan. Tugas gereja adalah menguatkan identitas warganya dan hidup dala era modernitas. Menerima modernisasi dengan pikiran Kristus. Berpikir mengambil keputusan dengan pikiran Kristus.

Keempat, dalam perayaan tahun ini, membuat Gereja dan warga gereja terus menghadirkan damai buat semua orang. Menyikapi persoalan dengan damai bukan main hakim sendiri atau berpikir dan bertindak seperti preman. Firman Tuhan saat ini mengatakan “hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!” Berdamai tidak hanya dengan sesama warag gereja, sesuku, sebangsa, tetapi dengan semua orang. Berdoa bagi mereka yang berbuat jahat kepada kita sebab pembalasan adalah haknya Tuhan.

Kata W. Barclay, mengasihi orang lain adalah memandang mereka seperti Allah memandang mereka. Ia tidak melakukan apa pun kecuali mencari hal terbaik bagi mereka. Itu berarti membalas kebencian dengan pengampunan, membalas dendam dengan kasih, membalas sikap acuh tidak acuh dengan perhatian menyala yang tidak dapat dipadamkan. Amin.

Selamat merayakan HUT Reformasi, HUT GMIT dan Penutupan Bulan Keluarga tahun 2024. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *