
Sola scriptura merupakan salah satu dari lima pilar penting yang mendasari lahirnya gereja Protestan. Kelima pilar itu selengkapnya adalah sola gracia(hanya anugerah), sola fide (hanya iman), solus christus(hanya Kristus), sola scriptura(hanya Alkitab), dan soli deo gloria(kemuliaan bagi Tuhan saja). Kelima sola ini adalah deklarasi teologis yang mengandung implikasi yang besar bagi pribadi dan jemaat Protestan. Seperti dikatakan Jason Allen, “Sola menyediakan infrastruktur doktrinal bagi kehidupan rohani kita. Sola membingkai identitas dan pelayanan Kristen kita” (Allen. ‘Why the Reformation Solas’ in Jason K. Allen (ed.). Sola: How the Five Stolas are Still Reforming the Church. e-Pub version.2010).
Mengingat perannya yang sangat vital di atas, Allen mengingatkan kita bahwa sola bukanlah masalah sampingan. Ia juga tidak dimaksudkan untuk menjerat kita ke dalam pertikaian doktrinal antar gereja yang tidak perlu dan bersifat sekunder. Sebaliknya, sola adalah hakikat Injil. Ketika kita menerima Injil, kita mesti menerima sola. Ketika kita hidup dengan sadar akan hal ini, kita hidup dalam kuasa Injil. Artikel ini hanya akan membahas tentang sola Scriptura.
Tak dapat disangkal bahwa Alkitab menduduki tempat yang sangat sentral sejak berdirinya kekristenan. Sentralitas ini nampak dalam posisi Alkitab sebagai otoritas tertinggi terhadap iman dan praktek hidup orang percaya. Ajaran gereja, ibadah, doa, nyanyian, organisasi, bahkan semua praktik hidup sehari-hari merujuk pada Alkitab. Semua yang bertentangan dengan Alkitab harus disingkirkan dari gereja. Namun dalam perkembangan kemudian, posisi Alkitab mendapat saingan. Hal ini terjadi bukan hanya pada zaman Luther dan Calvin, tetapi juga bagi gereja saat ini.
Urgensi pembahasan sola scriptura dalam artikel ini memiliki dua alasan mendasar. Pertama, berkaitan dengan reformasi gereja pada abad ke-16. Kala itu gereja Roma mengembangkan berbagai ajaran yang salah terhadap Alkitab. Roma mengakui Alkitab sebagai Firman Allah, tetapi tidak lagi memiliki otoritas tertinggi. Gereja menempatkan tradisi dan magisterium setara dan memiliki otoritas yang sama dengan Kitab Suci. Sikap Roma inilah yang melahirkan doktrin sola scriptura.
Di pihak lain, tantangan terhadap otoritas Alkitab pada masa kini pun tidaklah mudah. Sejak zaman Pencerahan, terdapat suara-suara lain yang disejajarkan dengan Kitab Suci atau bahkan di atas Kitab Suci. Ajaran reformasi tentang inspirasi serta kesempurnaan Kitab Suci telah ditinggalkan. Saat ini, banyak orang menolak ajaran gereja bahwa Alkitab diilhamkan oleh Tuhan dan benar dalam semua yang ditegaskannya. Dan motif utama di balik serangan berulang-ulang terhadap karakter Kitab Suci ini sebenarnya adalah permusuhan dan kebencian terhadap Tuhan sendiri.
Kondisi ini melahirkan alasan yang sah untuk khawatir. Salah satu kebutuhan paling penting di masa kini adalah panggilan untuk kembali kepada Alkitab, serta sikap yang mendorong penghormatan, penerimaan, dan kepatuhan terhadap otoritas dan pesannya. Itu sebabnya mengapa percakapan tentang sola scriptura masih relevan saat ini. Tulisan ini akan membatasi lingkup pembahasannya pada lahirnya doktrin sola scriptura. Rujukan pustaka terutama didasarkan pada karya Matthew M. Barrett. God’s Word Alone – The Authority of Scripture. ePub Edition.2016, khususnya bab 1 dan 2.
Definisi Sola Scriptura
Sola scriptura berarti bahwa hanya Kitab Suci, karena merupakan Firman Tuhan yang diilhami, yang menjadi otoritas kita yang tidak salah, cukup, dan final bagi gereja (Barrett, op cit).
Sementara menurut James White, doktrin sola scriptura merujuk pada Kitab Suci yang benar-benar unik dalam sifatnya sebagai wahyu yang diilhamkan Allah (tidak ada yang lain yang diilhamkan Allah); Kitab Suci tidak tertandingi dan mutlak dalam otoritasnya; dan Kitab Suci adalah satu-satunya aturan iman yang tidak dapat salah bagi gereja. Kitab Suci merupakan pernyataan positif, yang menegaskan supremasi dan keunikan Firman, dan pernyataan negatif, yang menyangkal keberadaan aturan iman lainnya pada tingkat otoritas yang sama (James R. White. Scripture Alone. e-Pub version.2004)
Khususnya bagi para Reformis, Kitab Suci sendiri berarti Alkitab memegang otoritas atas semua tradisi gereja, paus, dan konsili. Intinya bukanlah bahwa tradisi, paus, atau konsili tidak dapat mengajar gereja. Melainkan, semuanya tunduk kepada Firman Tuhan. Dengan kata lain, Firman Tuhan mengatur mereka; mereka tidak mengatur Firman Tuhan. (Jason K. Allen. ‘Scripture Alone’ in Jason K. Allen (ed.). Sola: How the Five Stolas Are Still Reforming the Church. e-Pub version. 2010).
Sola scriptura, lanjut Allen menegaskan bahwa hanya Kitab Suci yang memegang otoritas atas paus, konsili, dan tradisi. Namun, kita harus menambahkan pengalaman, preferensi, dan pertimbangan pragmatis ke dalam daftar itu. Bagi Luther—dan bagi kita—Kitab Suci adalah norma norman, norma penentu yang menjadi dasar pengukuran segala sesuatu. Kitab Suci adalah standar, tolok ukur, dan garis tegak lurus bagi gereja (Allen. ‘Scripture Alone’ op cit, 2010).
Sola Scriptura berarti bahwa Kitab Suci menetapkan gereja; gereja tidak menetapkan Kitab Suci. Kitab Suci menghakimi gereja; gereja tidak menghakimi Kitab Suci. Gereja tidak menciptakan Kitab Suci; Kitab Suci menciptakan gereja. Seperti yang Luther katakan, “Siapakah yang memperanakkan orang tuanya sendiri? Siapakah yang lebih dahulu melahirkan penciptanya sendiri?” (Allen. ‘Scripture Alone’ op cit).
Semua definisi di atas hendak membedakan sola scriptura kanonik dari sola scrptira reduksionis maupun sola scriptura komunitarian.
Kalangan sola scriptura reduksionis(yang disebut solo Scriptura) beranggapan bahwa kitab suci adalah satu-satunya aturanyang harus dibaca secara terpisah, tidak dipengaruhi oleh tradisi, filsafat, atau pengalaman apa pun. Sebaliknya, mereka menganjurkan sola Scriptura komunitarian menyatakan bahwa hal-hal ekstrakanonik mesti dijadikan normatif sejajar dengan Kitab Suci untuk menghasilkan dan mempertahankan teologi Kristen yang sehat dan mengurangi hasil buruk dari individualisme dan keragaman hermeneutika yang merajalela (John C. Peckham. Canonical theology: The Biblical Canon, Sola Scriptura, and Theological Method. e-Pub version, 2016. Chapter 6).
Namun, sola scriptura kanonik mengajukan pilihan lain yang berbeda dari kaum reduksionisme maupun komunitarianisme. Sola Scriptura kanonik berarti bahwa: (1) Kitab Suci adalah satu-satunya sumber wahyu ilahi yang tidak pernah salah yang tersedia bagi manusia kontemporer secara kolektif; (2) Kitab Suci sendiri menyediakan dasar teologi yang cukup dan sepenuhnya dapat dipercaya; dan (3) Kitab Suci adalah satu-satunya norma interpretasi teologis yang berwibawa dan final yang menjadi norma semua interpretasi lainnya (Peckham, op cit).
Pendekatan sola Scriptura kanonik ini hendak menegaskan bahwa kanon adalah aturan iman, tetapi tidak boleh dipahami bahwa: (1) Kitab Suci adalah satu-satunya sumber pengetahuan; (2) Kitab Suci mengecualikan akal budi, tidak memerlukan interpretasi, atau tunduk pada interpretasi pribadi; (3) komunitas dan tradisi interpretatif masa lalu dan masa kini harus diabaikan atau dikesampingkan; atau (4) semua doktrin teologis memerlukan pernyataan Alkitab langsung (Peckham. op cit).
Bersambung … ***