![](https://sinodegmit.or.id/wp-content/uploads/2024/08/Pdt-Gusti-Menoh-884x1024.webp)
Pengantar
Ada bermacam-macam motivasi seseorang masuk Fakultas Teologi. Ada yang merupakan anak nazar. Ada yang karena tidak ada pilihan lain. Ada yang memilih teologi, karena merasa pasti dengan masa depan. Sebab walaupun butuh waktu lama, namun pasti mendapatkan pekerjaan sebagai Pendeta. Ada yang memilih teologi karena memandang pekerjaan sebagai pendeta sangat fleksibel. Karena kasus tertentu, muncul sindiran bahwa menjadi pendeta itu enak, sebab satu bulan hanya kerja 4 kali (naik mimbar di hari minggu). Ada istilah pendeta weekend, karena pergumulan tertentu sejumlah Pendeta memang baru akan ke jemaat pada sabtu, dan kembali ke rumahnya setelah memimpin ibadah minggu. Tentu sindiran-sindiran ini tidak benar secara penuh, karena banyak Pendeta justeru melayani lebih dari 8 jam sehari, lebih dari seorang pegawai kantoran/bank. Ada pula yang memang masuk teologi, karena merasa terpanggil, ingin menjadi hamba Tuhan, untuk bersaksi tentang Tuhan.
Ada yang punya motivasi mulia mau melayani Tuhan di awal masuk Fakultas Teologi, namun dalam perjalanan, motivasinya berubah: ia hanya mengejar mimpi-mimpi manusiawinya, menjadi seorang penguasa, menjadi kaya raya, dan lain sebagainya. Ada yang masih bingung sejak awal masuk, namun dalam perjalanan, ia menemukan panggilan menjadi hamba Tuhan sejati sebagai tujuan hidup. Bila diringkas, motivasi-motivasi itu terbagi dua: sungguh-sungguh mau menjadi hamba Tuhan, saksi Kristus, yang rela menyangkal diri, atau menjadikan teologi, dan dunia pelayanan sebagai sarana memenuhi self-interest (kepentingan diri) semata, karena memandang jabatan Pendeta sebagai suatu profesi yang menjanjikan secara materi, atau yang menyenangkan karena fleksibel dari segi waktu. Di mana kita berada? Mari kita belajar dari Yohanes pembaptis dalam bacaan Yohanes 1:29-34.
Eksposisi Bacaan: Siapa Yohanes dan Apa Isi Kesaksiannya?
Pada saat itu Yohanes pembaptis tampil secara memukau. Khotbah-khotbahnya membius banyak orang. Pengajaran-pengajarannya sangat berhikmat. Gaya hidupnya yang sederhana memikat banyak orang. Ia mendapat banyak murid yang rela menjadi pengikutnya. Ia membaptis dan mengajar mereka. Ia disanjung, dipuji, dimuliakan. Orang mengira Yohanes sebagai Mesias, atau salah satu manifestasi nabi besar Perjanjian Lama. Sebelum bacaan tadi, yaitu dalam ayat 19-28 diceritakan bahwa sejumlah Imam, orang-orang Farisi dan orang-orang Lewi diutus dari Yerusalem untuk menemui Yohanes di Betania untuk menanyai dia, siapakah dia sebenarnya? Yohanes menegaskan bahwa dia bukanlah Mesias. Para utusan bertanya, apakah engkau Elia? Yohanes pun mengatakan: tidak. Yohanes tidak memanfaatkan popularitasnya untuk mendaku diri sebagai Mesias atau pun seorang nabi besar. Ia tidak mau mencuri kemuliaan Tuhan untuk dirinya walaupun ada peluang untuk itu.
Yohanes menegaskan bahwa dia hanyalah seorang utusan, pembuka jalan bagi Yesus. Yohanes tetap rendah hati di tengah sanjungan dan pengakuan publik pada dirinya. Ia menunjuk kepada Yesus sebagai Mesias, bukan dirinya. Bahkan Yohanes menegaskan ketidaklayakan dirinya di hadapan Yesus. Yohanes mengatakan dalam ay.27: membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak. Di sini nampak bahwa Yohanes adalah pribadi yang sangat rendah hati.
Hal itu terjadi karena Yohanes tahu diri. Di bawah pengaruh helenisme (budaya dan pemikiran Yunani) saat itu, ajaran filsuf Socrates: “kenalilah dirimu, dan jangan berlebih-lebihan”, sangat inspiratif. Dengan pernyataan itu, Socrates hendak menegaskan bahwa kunci untuk menjadi manusia yang sejati adalah sikap tahu diri. Tahu diri, kenali siapa kita, agar kita bertindak sesuai diri kita, dan tidak berlebihan. Sebab sikap yang berlebih-lebihan justru merusak jati diri kita. Yohanes tahu itu. Ia kenal diri. Karena itu, walaupun Yohanes disanjung, dimuliakan, diidentifikasi sebagai Mesias atau manifestasi dari nabi besar Elia, ia menolak semua identifikasi itu. Yohanes kenali dirinya sebagai seorang hamba semata, seorang utusan, pembuka jalan bagi Yesus. Yohanes tahu bahwa ia bukanlah Yesus, bukanlah Mesias, bukanlah nabi besar Elia atau Musa.
Karena kenali diri itulah, Yohanes mampu menunjuk kepada Yesus sebagai Mesias. Ketika Yesus datang ke Betania, di hadapan para pengikutnya Yohanes berkata: lihatlah Anak Domba Allah, yang menghapus dosa dunia (ay. 29). Semula Yohanes pun tidak mengenal Dia sebagai Mesias. Tetapi atas petunjuk Allah, Yohanes mengenal Yesus (ay. 31-33). Jadi pengenalan akan Yesus terjadi karena Roh Tuhan menolong Yohanes. Yohanes berusaha mengenali Yesus berkat petunjuk Roh Tuhan.
Apa yang dikenal Yohanes pada Yesus? Pertama, Yohanes mengenal Yesus sebagai anak Domba Allah. Anak domba Allah menunjuk kepada status Yesus sebagai pribadi yang kudus, murni, tak bercacat, yang datang untuk menebus manusia yang cemar dan berdosa. Yesus pantas menjadi penebus karena Dia murni, tidak bercela, kudus, sehingga layak menebus manusia yang penuh dosa dan cemar. Dengan kata lain, isi kesaksian Yohanes pertama adalah tentang Yesus sebagai juruslamat penebus manusia.
Kedua, Yohanes memberi kesaksian bahwa Yesus adalah Anak Allah (ay.34). Di sini Kristologi Yesus menjadi nampak. Bahwa Yesus adalah Anak Allah, berarti Dia adalah pribadi yang berasal dari sang Bapa. Artinya bahwa Yesus bukan semata pribadi insani (manusia sepenuhnya), tetapi juga pribadi Ilahi (sepenuhnya) karena Dia berasal dari sang Bapa. Bahkan Dia adalah inkarnasi, wujud dari Allah sendiri. Itulah sebabnya Yohanes mengatakan bahwa Yesus ada sebelum dia ada. Itu artinya Yesus sudah ada sejak permulaan sebagai Allah maha kuasa. Ini isi kesaksian Yohanes tentang Yesus.
Kesaksian Yohanes tentang Yesus menjadi pegangan gereja sepanjang sejarah, bahwa Yesus adalah penebus dosa manusia, juruselamat manusia, anak Allah. Yohanes adalah saksi pertama tentang Yesus. Jauh sebelum para murid mengenal Yesus, menjadi murid-Nya, Yohanes pembaptis sudah mendapatkan visi bahwa Yesus adalah Mesias, anak Allah yang maha kudus. Tanpa kesaksian Yohanes, mungkin tidak ada pengakuan lanjutan dari para murid maupun gereja mula-mula. Yohanes pun membuktikan diri sebagai saksi sejati melalui kepribadiannya maupun sikap hidupnya. Kita perlu belajar dari Yohanes apabila kita ingin menjadi saksi Kristus.
Syarat Menjadi Saksi Tuhan: Belajar dari Yohanes Pembaptis
Apa yang bisa dipelajari dari Yohanes pembaptis untuk menjadi saksi Kristus? Pertama, pentingnya sikap rendah hati. Sebagai mahasiswa baru, perlu rendah hati, sehingga mau belajar dan memberi diri dibentuk melalui pendidikan teologi. Kalau tidak rendah hati, maka cenderung sokh tahu, sombong, meremehkan materi-materi perkuliahan, dan akibatnya tamat tanpa kualitas diri yang mumpuni. Bagi yang sudah belajar bertahun-tahun, atau sudah mau lulus, tetap rendah hati. Sadar bahwa bekal yang diperoleh belumlah cukup, sehingga tidak berhenti belajar. Selesai kuliah, bukan berarti tamat belajar. Rendah hati membuat kita sadar akan hal itu, sehingga masih mau terus belajar, karena kita sadar bahwa pengenalan kita akan Tuhan dan kebenaran-Nya masih terbatas.
Bagi kita yang sudah bertahun-tahun melayani atau mengajar pun tetap rendah hati, supaya kita mau terus belajar. Tanpa belajar terus, kita hanya akan mengulang-ulang apa yang kita tahu puluhan tahun lalu, yang mungkin sudah tidak relevan. Tanpa kerendahan hati juga, maka kita tidak akan mau taat pada perintah-perintah Tuhan. Tanpa kerendahan hati, kita mungkin pandai berteori, pintar berkhotbah, tetapi tidak mau tunduk pada kehendak Tuhan. Kerendahan hati dibutuhkan untuk kita mampu bersaksi tentang Kristus. Rendah hati, sederhana, tidak menonjolkan diri, mencuri kemuliaan Tuhan untuk diri. Itulah sikap Yohanes yang perlu ditiru.
Kedua, kenali diri. Kita mesti terus mawas diri, sadar diri. Pengakuan dan pujian yang datang akibat kita cerdas, pandai, berhasil, memegang jabatan, tidak boleh membuat kita lupa diri. Belajar dari Yohanes, kita mesti senantiasa sadar bahwa kita hanyalah hamba, seorang utusan Tuhan untuk menyaksikan Kristus di tengah dunia. Tanpa perkenanan Tuhan, kita bukan siapa-siapa. Kita masuk teologi, belajar banyak hal, menjadi pendeta, dosen, semua itu karena anugerah Tuhan, bukan karena kita terlalu hebat. Tahu diri bahwa kita hanya hamba, dan berilah diri sepenuhnya untuk bersaksi tentang Kristus.
Ketiga, berusahalah mengenal Kristus. Yohanes membuka diri untuk dibisiki Roh Tuhan tentang siapa Yesus. Yohanes berusaha untuk mengenal Yesus sehingga ia mampu bersaksi tentang Dia. Kenal beda dengan tahu. Belajar teologi, bisa membuat kita tahu banyak tentang Yesus, tentang firman Tuhan. Namun tahu saja tidak cukup. Karena bukan hanya mahasiswa teologi yang tahu Yesus dan ajaran-Nya. Banyak teolog besar, ilmuan, filsuf, ahli fisika, ahli matematika yang ateis pun tahu siapa Yesus, tahu ajaran-Nya. Mereka membaca dan menafsirkan Yesus dan ajaran-ajaran-Nya secara brilian. Mereka membicarakan, mendebatkan, mendiskusikan, mengajar teologi secara hebat. Namun mereka hanya tahu semua itu secara teoritis, dalam kepala, tanpa mengenal Yesus secara pribadi. Mereka tidak percaya kepada Yesus, karena tidak berusaha mengenalnya secara pribadi.
‘Mengenal’ itu menyangkut relasi personal. Agar mengenal Yesus, maka dibutuhkan relationship engagement (keterlibatan relasi) dengan Dia. Agar kita mengenal Yesus, perlu dibangun hubungan pribadi secara mendalam (intimacy) dengan Dia, entah melalui praktik liturgis, meditasi, doa, nyanyian, dan berbagai ekspresi keagamaan yang hangat. Maka di teologi, bukan hanya dituntut membaca buku, mengisi otak, menghafal teori, memperkaya wawasan, pandai menafsir, namun kehidupan doa, meditasi, ibadah juga dilatih. Seorang teolog besar pun bila tidak menjalani praktik-praktek keagamaan seperti ini, tidak membangun hubungan yang intim dengan Allah, maka ia tidak akan sungguh-sungguh mengenal Kristus. Ia mungkin tahu banyak tentang Yesus dengan membaca buku, namun pengetahuannya bersifat teori semata. Padahal pengetahuan itu sumbernya adalah pengalaman juga. Bahkan dalam kehidupan iman, pengalaman seringkali merupakan sumber pengetahuan yang lebih valid.
Pengenalan akan Tuhan melalui keterlibatan relasi/keintiman hubungan, melahirkan pengalaman-pengalaman iman yang meneguhkan seseorang untuk percaya kepada Kristus, sehingga mampu menjadi saksi-Nya. Regulasi GMIT yang meminta setiap calon dosen untuk minimal tiga tahun penuh melayani di jemaat, adalah sebuah kebijakan yang baik. Sebab dengan keterlibatan penuh seorang pendeta melayani jemaat selama bertahun-tahun, ia akan kaya pengalaman iman, sehingga saatnya ia mengajar, ia bukan hanya berbicara dari teori-teori yang dibaca dari buku, tetapi juga dari pengalaman-pengalaman spiritual jemaat. Ini tidak berarti kehidupan spiritual tidak bisa dibangun di ruang yang lain, melainkan bahwa seringkali kehidupan jemaat merupakan ruang pembentukan spiritual yang otentik, justeru karena pengalaman-pengalaman iman jemaat turut memperkaya kita sebagai pelayan.
Pengalaman-pengalaman iman jemaat makin memperkaya kita akan pengenalan terhadap Tuhan. Pengenalan akan Tuhan melalui pengalaman iman juga merupakan sumber pengetahuan yang otentik. Oleh karena itu, seriuslah belajar untuk mengetahui banyak hal terkait ilmu teologi, namun berjuanglah juga untuk mengenal Kristus melalui latihan-latihan meditatif dan doa. Bagi yang sudah senior dalam pelayanan atau pun dunia akademik, perlu tetap menjaga keseimbangan antara belajar dan bermeditasi, antara berbicara/mengajar/berkhotbah dan berdoa, antara mengembangkan ilmu pengetahuan dan membangun kehidupan spiritual. Karena hanya dengan kekayaan pengenalan akan Tuhan secara holistik (melalui pengetahuan teoritis maupun melalui relasi personal yang dibangun dengan Tuhan), kita akan mampu bersaksi tentang Kristus secara baik. Intimasi, hubungan yang intim dengan Allah adalah jalan untuk mengenal Kristus yang kita hendak saksikan.
Keempat, sebagaimana dikatakan Yesus: “barangsiapa mau mengikut Aku, ia harus menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Aku”. Mau menjadi saksi Kristus berarti siap menyangkal diri. Menyangkal diri” berarti siap menomorduakan kepentingan diri, kemuliaan diri, karena selalu menempatkan Tuhan dan kehendak-Nya sebagai yang utama dalam hidup dan pelayanan kita. Siap berkorban, demi pekerjaan Tuhan. “Memikul salib” berarti sadar bahwa menjadi saksi Kristus tidak selalu mudah. Ada tantangan, ada cobaan, ada penderitaan, ada penolakan, ada hinaan, ada olokkan. Masih hangat dalam ingatan kita, salah satu pendeta GMIT mengalami hinaan dan tamparan di salah satu klasis. Itulah contoh, betapa beratnya salib menjadi saksi Kristus. Bagaimana pun hal-hal itu tidak akan memperlemah kita karena kita siap menyatakan Kristus dan kebenaran-Nya. Yohanes pembaptis sendiri mengalami hukuman mati ketika hendak menyatakan kebenaran. “Mengikut Aku” berarti siap-sedia melayani Tuhan, dan tak pernah mundur atau menyerah karena percaya sungguh-sungguh kepada Yesus sebagai anak Allah.
Tantangan-tantangan Menjadi Saksi Kristus Saat ini
Tidak mudah menjadi saksi Kristus dewasa ini. Ada bebarapa godaan. Pertama, narsisme. Di bawah pengaruh media social, manusia modern cenderung menjadi narsistik, yaitu sikap mengagumi diri sendiri sehingga segala sesuatu yang dikerjakan berpusat pada diri sendiri. Bila seseorang menjadi narsistik, maka bukan lagi Tuhan yang diekspose, diwartakan, disaksikan, melainkan diri. Ia akan cenderung mengekspose dirinya. Belajar bukan untuk menjadi saksi Kristus, melainkan untuk ekspose diri. Melayani bukan untuk menyatakan kasih Tuhan, melainkan untuk memperoleh kehormatan dan kemuliaan diri. Kadang-kadang dalam postingan-postingan terkait pelayanan, sulit dibedakan antara ekspose diri dan ekspose Tuhan. Tentu hanya Tuhan yang tahu motif seseorang. Tapi itulah tantangan menjadi saksi Kristus di tengah pengaruh budaya narsisme saat ini.
Kedua, hedonisme dan konsumerisme. Tak dapat dipungkiri bahwa kenikmatan dunia juga menggoda kita sebagai manusia. Segala trend dunia pun ikut menggoda kita. Akibatnya pola hidup ugahari (sederhana) kadang-kadang sulit dipertahankan. Hal ini berdampak pada keraguan terhadap kesaksian kita sebagai saksi Kristus.
Ketiga, materialisme. Dalam era di mana segala sesuatu diukur dari materi, orang berlomba-lomba untuk menjadi kaya raya. Hal ini menggoda juga. Tak jarang, dunia pelayanan pun dilihat sebagai lahan mencari kebutuhan-kebutuhan hidup. Akibatnya tugas untuk bersaksi tentang Kristus secara murni tidak lagi terwujud. Godaan untuk melayani sambil berbisnis pun terjadi. Tak masalah. Hanya soalnya kadang-kadang pelayanan dinomorduakan karena lebih fokus pada usaha/bisnis yang dikerjakan.
Keempat, tantangan Artificial intelligence (AI). Kecerdasan buatan ini mampu mengerjakan banyak hal bagi manusia. Tugas-tugas seperti membuat paper, laporan buku, menafsirkan ayat-ayat alkitab, menyusun khotbah, sudah bisa dikerjakan AI. Kalau kita hanya mengandalkan system komputasi ini dalam mengerjakan tugas atau khotbah, maka lama-kelamaan kita tidak tahu apa-apa. Pengetahuan kita menjadi minim. Kalau ini terjadi, maka kita pun tidak sanggup menjadi saksi Kristus yang berkualitas. Oleh karena itu, perlu belajar secara sungguh-sungguh, bangun kehidupan doa dan ibadah secara sungguh-sungguh, agar kita mampu menjadi pribadi yang berhikmat sehingga kita akan dapat bersaksi secara baik.
Penutup
Tantangan-tantangan itu tidak boleh melemahkan kita untuk bersaksi tentang Tuhan. Pandanglah tantangan-tantangan tersebut sebagai warning (peringatan) agar kita tetap mawas diri sebagai saksi Tuhan. Kita mesti memurnikan motivasi kita dalam belajar teologi atau menjadi pelayan Tuhan, bahwa kita sungguh-sungguh mau menjadi saksi Kristus. Kita mesti terus belajar, mengembangkan diri, membangun kehidupan spiritual, agar pelayanan-pelayanan kita bermutu sebagai saksi-saksi Kristus. Tamat S1, S2, S3 bukan jaminan bahwa kita sudah tahu segalanya. Ingat bahwa pengetahuan terus berkembang, semakin banyak, dan sesungguhnya kita masih sangat miskin pengetahuan. Karena itu, tidak boleh tamat belajar agar diri kita terus berkembang sehingga kesaksian kita berkualitas pula. Kita belajar dari Yohanes pembaptis untuk tetap rendah hati, tahu diri, dan terus belajar mengenal Kristus agar kesaksian kita tentang Dia sungguh benar dan berdampak. Apa pun yang kita lakukan: kita belajar, mengajar, melayani, harus tetap dengan kesadaran seperti Yohanes: IA harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil (Yoh. 3:30). Dengan kesadaran ini, apa pun prestasi kita, keberhasilan kita, tidak membuat kita lupa diri lalu menyombongkan diri. Sebab sesungguhnya kita hanyalah alat kesaksian Kristus yang diperkenankan-Nya. Terpujilah Tuhan. Soli deo Gloria. Amin. ***
(Khotbah tersebut disampaikan dalam ibadah syukur fakultas Teologi UKAW dalam rangka menyambut mahasiswa baru, menyambut kepulangan mahasiswa CP dan SKL dari jemaat, dan melepaskan mahasiswa yang telah lulus, pada 5 agustus 2024 di Lapangan Asrama Teologi UKAW).