Begini Cara Pendeta Tobatkan Koster Peminum Laru Jadi Petani Sukses

Foto bersama: Koster Apsin Batmalo (kiri) dan Pendeta Hans Tefnay (kanan).

KUPANG,www.sinodegmit.or.id,  Di Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), sahabat terdekat pendeta adalah koster. Tugasnya adalah memastikan kebersihan gedung gereja, membunyikan lonceng dan menemani pendeta mengunjungi warga jemaat.

Untuk tugas yang mulia itu, koster haruslah berperilaku baik dan rajin. Tetapi kadang-kadang ada juga koster ‘nakal’. Adalah Om Loka. Nama aslinya Apsin Batmalo. Ia mengaku usianya baru 42 tahun, padahal kalau dinilai dari raut muka, lebih masuk diakal usianya setengah abad lebih. Ada kemungkinan raut wajah yang mengecoh usia itu punya kaitan dengan ‘kenakalannya’.  Bapak tiga anak ini hobi minum laru.

Ia sendiri mengaku, kebiasaan buruk ini susah dilepaskan. Bahkan tiga kali pergantian pendeta atau 12 tahun menjabat koster, usaha menobatkan Om Loka dari minuman lokal beralkohol hasil fermentasi nira gewang yang memabukkan itu gagal total.

“Sebelum Pak Pendeta Hans Tefnay datang, beta pung hobi minum laru,” ujar Om Loka mengawali percakapan dengan Berita GMIT di kebun melon miliknya tepat di belakang rumah.

Beta pungkawan minum andia Om Zarus dengan Om Lorens. Kotong sonde kerja. Kotong pung kerja tiap hari andia duduk minum dari pagi sampai malam,” sambung Om Loka membongkar ‘dosa’ masa lalunya.

Mama Atriana yang duduk di samping suaminya langsung menimpali, “Betul Pak. Untung ko Pak Pendeta Hans bisa bujuk dia ko ba tanam sayur, makanya sekarang dia su tobat minum. Beta ju senang, karena sejak ba tanam sayur dia fokus di rumah urus kebun dan kasi bersih gereja. Sonde ke dulu ko tiap hari pi duduk minum laru.”

Seraya tersenyum memandang istrinya, Om Loka menyambung, “Pak Pendeta datang baru beta bisa pegang uang enam belas juta dari hasil batanam sayur dan buah melon. Selama hidup beta belum pernah pegang uang sebanyak itu. Dulu dapat uang sedikit, beta langsung menuju paklaru. Tapi sekarang, beta su barenti. Sonde ada waktu pi duduk minum lai. Merokok pun su mulai kurang karena Pak Pendeta larang sonde boleh merokok dalam kebun. Kalau mau merokok harus jauh dari tanaman. Beta pung kawan minum dua orang ju sudah barenti minum ko ikut ba tanam sayur,” ujar Om Loka bangga lantaran merasa merdeka dari penjajahan laru yang pada masa pemerintahan Belanda di Timor dijuluki sebagai minuman setan.

Pendeta Hans Tefnay, Ketua Majelis Jemaat GMIT Lopo Maus -Tuale’u, Klasis Kupang Barat bercerita, mula-mula ia prihatin dengan Om Loka. Teman kosternya ini ingin anak perempuan bungsunya bisa kuliah tetapi tidak punya biaya.

“Kalau kita mau menobatkan orang, sebaiknya mulai dari orang yang paling dekat. Dan biasanya di jemaat desa, orang paling dekat dengan pendeta adalah koster. Jadi, beta bilang dia, mari kotong coba-coba kelola tanah di belakang rumah. Siapa tahu Tuhan berkati ko kita dapat hasil bagus,” ujar Pdt. Hans mengenang awal mula mengajak Om Loka bertani.

Bermodal pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari pelatihan hortikultura yang digagas Komunitas Pendeta Suka Tani GMIT (Kompastani) beberapa tahun belakangan ini, Pdt. Hans memodali kosternya untuk memanfaatkan lahan kurus tak terurus seluas dua hektar di belakang rumahnya. Tanah itu diolah dan ditanami melon, buncis, tomat dan cabe.

Masalah pun muncul. Di lokasi kebun tidak ada sumber air. Ada sumur, tapi volumenya tidak cukup. Kesulitan ini diatasi dengan cara membeli air dari mobil tangki seharga 60 ribu rupiah per tangki. Tidak sia-sia. Kerja keras selama tiga bulan itu membuahkan hasil 16 juta rupiah.

Ibarat pepatah sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, ide berkebun ini pada akhirnya berdampak ganda. Om Loka berdaya secara ekonomi, anaknya bisa kuliah dan yang tidak kalah penting adalah Om Loka tobat minum laru.

“Sekarang beta punya anak perempuan bungsu sudah kuliah semester dua. Ini semua karena dorongan dari Pak Pendeta. Sejak Pak Pendeta ajak ba tanam baru beta sadar: ada tanah, doi dekat-dekat. Asal rajin. Kalau kita rajin tanam, mau makan apa-apa, ada. Dulu beta pung istri tanam sayur putih (sawi, red.) sedikit saja. Dia pi jual di pasar, tunggu berjam-jam. Kapan orang beli kasi abis baru dia pulang. Sekarang dengan tanam banyak, hasilnya banyak, orang yang datang beli juga banyak. Sonde perlu pi jual jauh-jauh di pasar. Kalau pun ke pasar, langsung kasi di langganan. Jadi sekarang, beta ju rasa enak karena tiap hari beta ada uang. Kerja dengan iman pasti ada hasil,” tutur Apsin Batmalo berefleksi. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *