www.sinodegmit.or.id, Lahirnya sekolah GMIT memiliki riwayat yang unik. Sejak awal, pendiriannya berjalan beriringan dengan masuknya Injil ke suatu wilayah. Sekolah-sekolah ini didirikan dengan fungsi diakonia untuk mencerdaskan masyarakat. Seluruh pembiayaan bersumber dari pemerintah Belanda. Masyarakat menopang upaya pencerdasan ini dengan membangun gedung sekolah, menyiapkan meja, bangku dan papan tulis. Kerja bakti untuk membenahi lingkungan sekolah juga dilakukan secara rutin. Pendirian sekolah dan gereja ini tidak hanya berlangsung di daerah perkotaan, tetapi menjangkau hingga daerah pedalaman dan terpencil. Hingga kini pun, sebagian sekolah tersebut masih sulit dijangkau dengan moda tranportasi modern.
Saat Belanda meninggalkan Indonesia, gereja dan sekolah kehilangan sumber pembiayaan. Tidak ada lagi pendanaan untuk operasional sekolah dan gereja, termasuk gaji guru dan pendeta, sehingga pelayanan kedua lembaga ini tersendat. Daya dukung GMIT saat itu belum mampu mengatasi permasalahan gereja dan sekolah sekaligus. Pilihan mesti diambil dengan prioritas menyelamatkan gereja terlebih dahulu. Pilihan membenahi gereja ini tidak berlangsung dengan mudah. Ia melewati pergumulan yang sangat panjang selama beberapa puluh tahun, hingga akhirnya GMIT bisa menyelenggarakan sentralisasi gaji pendeta. Realisasinya belum sepenuhnya berjalan lancar, sebab banyak jemaat masih bergantung pada topangan pembiayaan jemaat lain untuk membiayai gaji pendetanya. Belum lagi keterbatasan biaya untuk program pengembangan di internal jemaat.
Program sentralisasi gaji ini belum bisa diterapkan pada guru. Secara statistik, jumlah guru jauh lebih banyak dari pendeta dengan rasio minimal 3:1. Rasio ini tentu berimplikasi pada besarnya pembiayaan yang diperlukan untuk mendanai kesejahteraan guru. Inilah salah satu masalah pelik yang belum bisa diatasi hingga kini. Bila seluruh Dana Pendidikan 2% dialokasikan untuk membayar honor guru, jumlah yang akan diterima hanya sebesar Rp 600.000 per tahun. Tidak ada lagi dana tersisa untuk memiayai kebutuhan lain. Kita bersyukur bahwa pemerintah membantu sekolah GMIT melalui berbagai bentuk pembiayaan seperti pembangunan fisik sekolah serta penempatan guru ASN dan Kontrak Daerah. Pemerintah juga menyiapkan dana BOS yang sangat membantu pembiayaan sekolah. Tetapi tentu semua kita tahu bahwa dana BOS tidak mampu mengcover seluruh pembiayaan sekolah. Sebagai sekolah swasta, kekurangan ini diharapkan dapat teratasi melalui pembiayaan yang bersumber dari sumbangan orangtua. Tetapi hingga kini, fakta menunjukkan bahwa daya dukung pembiayaan orangtua masih menjadi kendala. Sumbangan pendidikan sebesar Rp 5.000 per siswa per bulan masih terasa berat bagi sebagian masyarakat pedesaan, tempat dimana kebanyakan sekolah GMIT berada. Sekolah GMIT di perkotaan pun tidak jauh berbeda, dimana daya dukung orangtua hanya berkisar di angka Rp 20.000-25.000, hampir pasti tanpa sumbangan pembangunan. Padahal di beberapa kabupaten, sekolah GMIT tersebut merupakan sekolah favorit yang sangat diminati masyarakat. Dengan sumbangan pendidikan sekecil itu, tentu aspek pembiayaan akan terus menjadi kendala.
Kita bersyukur banyak perhatian kini ditujukan kepada sekolah GMIT. Sejarah kejayaan sekolah GMIT di masa lampau menjadi trigger point untuk membangkitkan semangat perubahan. Namun sejujurnya, hingga kini perhatian tersebut baru memasuki ambang pintu kesadaran kolektif. Ia belum memasuki ruangan yang sesungguhnya untuk membangkitkan kepedulian kolektif. Muncul kesadaran dimana-mana akan pentingnya perbaikan pendidikan GMIT. Dorongan, spirit, gagasan, ide, dan karya mulai disumbangkan bagi pengembangan sekolah GMIT. Geliatnya mulai terasa menggelegar dimana-mana. Tetapi kesadaran saja tentu tidaklah cukup. GMIT memerlukan kepedulian kolektif, dimana semua komponen GMIT menggalang kekuatan untuk membenahi sekolah.
Pada bulan Juli ini, seluruh insan GMIT akan merayakan Bulan Pendidikan. Majelis Sinode telah mengirimkan Panduan Perayaan Bulan Pendidikan ke seluruh jemaat GMIT. Bahan tersebut tidak hanya berupa liturgi dan bahan khotbah, tetapi juga panduan aksi yang mesti dilakukan selama perayaan ini. Kami mengajak kita semua untuk merumuskan jalan cinta bagi sekolah GMIT seturut panduan tersebut. Mari melangkah bersama guna kemajuan sekolah GMIT di sekitar kita. Salah satunya ialah mengakhiri kesengsaraan guru yang hanya menerima honor sebesar Rp 250.000-500.000 per bulan. Ongkos sebesar itu mungkin tidak cukup untuk membeli es saat mereka dahaga. Apalagi membeli buku cetak untuk pegangan guru. Laptop dan internet sudah pasti jauh dari harapan. Mudah-mudahan masih bisa membeli Paracetamol buat anaknya yang sakit. Selamat mengulurkan tangan dan hati buat pembenahan sekolah GMIT, khususnya bagi pejuang pendidikan GMIT. ***
*Ketua Badan Pendidikan Sinode GMIT.