
Pendahuluan Singkat
Surat I Yohanes sama seperti surat II dan III Yohanes ditulis oleh Yohanes, tetapi apakah Yohanes di sini sama seperti Yohanes di Injil Yohanes, dan Yohanes di kitab Wahyu, masih dapat dipertanyakan. Kelihatannya sama-sama bernama Yohanes, namun yang di Injil Yohanes dan di kitab Wahyu adalah rasul yang bahasa Yunaninya adalah apostolos, sedangkan yang di surat-surat Yohanes adalah penatua atau dalam bahasa Yunaninya presbuteros (lihat II Yoh. 1:1). Rasul jelas lebih tinggi daripada presbiter, jadi rasanya tidak mungkin Yohanes rasul mau menyebut dirinya presbiter. Jadi dia adalah Yohanes presbiter, namun dia amat rajin belajar mengenai iman dari rasul Yohanes, dan hal itu tampak dari sifat surat-suratnya yang hakikatnya merupakan refleksi dia terhadap Injil Yohanes. Penulis surat ini adalah penatua yang mengajar jemaat mengenai makna Injil Yohanes. Nanti kita lihat bagaimana refleksinya berhubungan dengan Injil Yohanes. Injil Yohanes, surat I-III Yohanes dan kitab Wahyu disebut sebagai tulisan-tulisan Yohanin, berarti dianggap berasal dari satu sumber yang sama. Ada juga yang menganggap bahwa kitab Wahyu tidak ditulis oleh Rasul Yohanes, melainkan oleh Yohanes sang Pelihat. Tetapi saya tetap menganggap Rasul Yohanes sebagai penulis kitab Wahyu. Jadi Yohanes Rasul adalah sekaligus Yohanes Pelihat. Tidak semua hal dapat saya kemukakan dari kekayaan sumber ini, tetapi saya memilih beberapa pokok untuk kita dalami.
I Yohanes
a. Firman Hidup
Pasal 1:1-4 merupakan refleksi terhadap pendahuluan Injil Yohanes di Yoh. 1:1-14. Makanya di ayat 1 terdapat ungkapan “Firman Hidup”, oleh karena di pendahuluan Injil Yohanes disebutkan mengenai Sang Firman atau Logos yang telah datang ke dunia. Logos itu telah menjadi manusia, dan itulah yang disebut sebagai “inkarnasi Allah”. Supaya jemaat jangan salah paham bahwa Firman itu ya tulisan, maka sang penatua menyebutkannya sebagai “Firman Hidup”, yaitu Yesus Kristus sendiri.
b. Perintah baru
Di Yoh. 15:9-17 Gusti Yesus memberikan perintah baru kepada murid-muridNya. Perintahnya adalah supaya murid-murid saling mengasihi (ayat 12). Contoh kasih itu adalah kerelaan memberi nyawa untuk sahabat-sahabat (ayat 13), dan siapa yang disebut sahabat Yesus, yaitu jika murid-murid berbuat apa yang telah diperintahkan oleh Yesus kepada mereka, yaitu amanat kasih ini (ayat 14). Perintah baru dari Gusti Yesus itulah yang direfleksikan oleh penatua Yohanes di I Yoh. 2:7-17. Tetapi dia sadar bahwa amanat kasih itu sudah diberikan sebelumnya, maka dia mengatakan “bukan perintah baru yang kutuliskan kepadamu”. Perintah itu sudah diketahui oleh jemaat (ayat 7), namun demikian, bagi penatua Yohanes, itu tetap sesuatu yang baru, karena dia telah melihat dampak dari amanat kasih yang baru itu, yaitu bahwa kegelapan sedang lenyap. Belum lenyap, tetapi sedang lenyap, seperti kegelapan malam mulai dikurangi oleh sinar fajar. Justru karena sudah ngefek, maka di dalam jemaat jangan lagi ada yang membenci satu sama lain. Penatua Yohanes sekaligus memberi pendampingan pastoral kepada anak-anak (ayat 12,14), orang muda (ayat 14) dan bapak-bapak (ayat 13,14) supaya menghayati amanat kasih ini secara konkret. Tetapi kok dia nggak menyapa ibu-ibu ya? Mungkin waktu itu di jemaat sang penatua, ibu-ibu tidak aktif. Kita tidak tahu. Maka salah satu kelebihan jemaat GPIB MM Ygy dari jemaat penatua Yohanes adalah bahwa di jemaat kita, ibu-ibu amat aktif hehehe
Di I Yoh 3:11-18 amanat kasih ini ditekankan lagi: kamu harus saling mengasihi, jangan seperti Kain dari Perjanjian Lama, yang membunuh adiknya. Mengapa dia tega membunuh adiknya sendiri? Karena dia jahat sedangkan adiknya benar, menurut sang penatua. Tetapi di ayat 15 ada alasan konkret, yaitu kebencian. Kain membenci saudaranya dan kebencian memang bisa melahirkan pembunuhan. hal itu bukan saja dapat kita baca dalam kisah Kain dan Habel, tetapi juga dapat kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Apakah di jemaat penatua Yohanes ada pembunuhan? Kita tidak tahu, tidak dilaporkan. Di surat Yakobus 4:2 ada sedikit petunjuk bahwa jemaat gereja perdana tidak selalu lebih baik daripada kita sekarang, mereka bisa bikin pusing kepala, sehingga perlu dibuatkan surat penggembalaan. Di ayat 16 kembali kita lihat sang penatua yang merefleksikan kembali Yoh. 15:13 mengenai kasih, yaitu memberikan nyawa untuk sahabat-sahabatnya. Yesus telah menyerahkan nyawanya untuk kita, jadi kita pun wajib menyerahkan nyawa untuk saudara-saudara kita. Mengasihi secara konkret, bukan cuma omong saja (ayat 18).
Di I Yoh. 4:7-21, sang penatua Yohanes memberikan refleksi yang indah mengenai Allah yang adalah kasih. Kita harus saling mengasihi,karena kasih berasal dari Allah. Siapa tidak mengasihi, tidak berasal dari Allah. Jadi menurut penatua Yohanes, sebenarnya ada sih ukuran untuk menilai iman atau kesungguhan kita kepada Allah, yaitu apakah kita menjalankan kasih atau tidak. Jadi kasih jangan dilihat sebagai sesuatu yang humanis, dan hanya berkaitan dengan hubungan dengan sesama manusia, tetapi justru sesuatu yang ilahi dan berkaitan dengan Tuhan Allah sendiri. Sebelum orang mengomentari dia, sang penatua cepat-cepat menyambung: kalau u bilang saya tidak punya bakat untuk mengasihi, u salah, karena bukan dirimu yang menyebabkan kamu mengasihi, tetapi karena Allah terlebih dulu mengasihi kamu (ayat 10-11). Allah adalah kasih, dan satu-satunya ukuran bahwa kita berada di dalam perimeter Allah adalah kasih. Siapa berada di dalam kasih, ia berada di dalam kasih, dan Allah di dalam dia.
Karena kasih berasal dari Allah, maka di dalam kasih tidak ada ketakutan (ayat 18). Jika ada orang yang takut, maka dia takut pada penghukuman (ayat 18). Padahal di banyak ajaran agama, orang diajari supaya takut pada Tuhan dan pada hukuman Tuhan. Teologi hukuman berfungsi sebagai cara yang manjur untuk membuat orang tinggal di dalam agama. Tetapi itu bukan teologi dari sang penatua, teologinya adalah teologi kasih. Allah bukan tokoh yang hobbynya menghukum melainkan hakikatnya adalah kasih. Siapa tidak mengasihi saudara yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya. Pola pendidikan Kristen seharusnya berangkat dari teologi kasih, sehingga orang belajar agama bukan karena takut dihukum oleh Tuhan, tetapi justru karena disayang oleh Tuhan.
c. Anti Kristus
Salah satu masalah yang diangkat oleh penatua Yohanes di I Yoh. 18-27 adalah Anti Kristus. Jadi di satu pihak ada Kristus, di lain pihak ada antinya juga, yaitu Anti Kristus. Sekarang ada banyak antikristus, kata sang penatua (ayat 18). Mereka berasal dari jemaat, tetapi kemudian menjadi berbeda dari jemaat oleh karena menurut penatua Yohanes, mereka “menyangkal bahwa Yesus adalah Kristus” (ayat 22), bahkan “menyangkal baik Bapak mau pun Anak” (ayat 22). Roh disebut di I Yoh. 5:6-12. Allah Tritunggal disebut, namun kalau kita melihat ayat 7-8 dari I Yoh. 5, maka ayat-ayat itu diberi tanda kurung. Itu berarti bahwa teksnya tidak terlalu diyakini apakah memang begitu, ataukah tambahan pada zaman lebih kemudian, ketika rumusan teologi mengenai Allah Tritunggal sudah selesai. Tidak masalah karena secara implisit kita bisa membayangkan bahwa di sini ada golongan tertentu yang tidak menerima teologi Tritunggal. Yang juga perlu kita perhatikan adalah bahwa Anti Kristus itu menyangkal bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia. Maka menurut sang penatua, siapa yang mengaku bahwa Yesus Kristus datang sebagai manusia, ia berasal dari Allah (I Yoh. 4:2). Mayoritas umat beragama di Indonesia menghormati Yesus sebagai nabi Isa. Tetapi mereka membantah bahwa dia adalah Anak Allah. Maka kecenderungan kita orang Kristen Indonesia adalah meng-counter hal ini: Yesus bukan manusia, Dia adalah Allah! Saya bisa memahami mengapa kita menjawabnya demikian, tetapi maaf ya, Injil Yohanes menyatakan bahwa Firman telah menjadi manusia, dan menurut penatua Yohanes, Yesus Kristus telah datang sebagai manusia. Itulah kekayaan dari ajaran inkarnasi yang sering kita abaikan dalam kehidupan Kristen. Yesus Kristus adalah Allah dan manusia, inilah ajaran yang benar menurut tulisan-tulisan Yohanin. Di I Yoh. 4:1-6 kalangan anti Kristus ini dinamakan nabi-nabi palsu, Yunaninya pseudo profetes. Daya tarik mereka menurut penatua Yohanes terletak dalam pembicaraan tentang hal-hal duniawi, dan dunia mendengarkan mereka (ayat 5). Jadi meskipun kalangan anti Kristus ini memberitakan Kristus yang hanya bersifat ilahi dan tidak bersifat manusiawi, penerapan ajaran mereka kok tidak spiritual, malah sangat duniawi dan ujung-ujungnya duniawi banget. Ada memang ajaran spiritual seperti itu, spiritualitas dilihat sebagai kemampuan untuk menguasai orang lain, untuk mendapat keuntungan bisnis yang besar, untuk gampang cari jodoh, untuk menang pemilu atau pilkada hehehe Waspadalah terhadap spiritualitas yang ujungnya duniawi tersebut!
d. Tidak berdosa lagi?
Salah satu masalah yang juga ditangani oleh penatua Yohanes adalah golongan tertentu, yang berpendapat kalau mereka sudah percaya kepada Yesus Kristus, maka mereka tidak berdosa lagi. Untuk gampangnya kita sebut saja golongan ini “kaum perfeksionis”. Maka di I Yoh. 1:8-10 dia mengatakan, kalau kita berkata bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri; jika kita mengaku dosa, maka Tuhan yang adalah Setia dan Adil akan mengampuni dosa kita; dan kalau kita mengatakan kita tidak ada berbuat dosa, maka kita membuat Dia menjadi pendusta. Di gereja Calvinis (GPIB adalah gereja Calvinis), hal itu dirumuskan dalam ajaran bahwa kita adalah orang berdosa yang dibenarkan.
Sebenarnya ajaran ini bukan dari Calvin tetapi dari Luther, tetapi Calvin mengambil alih ajaran Luther mengenai orang beriman sebagai pendosa yang dibenarkan. Cuma kok di I Yoh. 3:9, penatua Yohanes tiba-tiba menyebutkan bahwa “setiap orang yang berasal dari Allah, tidak berdosa lagi; sebab benih ilahi tetap ada di dalam dia dan ia tidak dapat berbuat dosa, karena ia lahir dari Allah”. Apakah warga jemaat ujung-ujungnya juga harus menjadi sama seperti golongan perfeksionis di atas? Ada bedanya: jemaat menjadi perfek oleh karena lahir dari Allah, dari benih ilahi.. Perfek di sini bukan karena diri mereka sudah perfek, tetapi karena bisa dan sudah mengasihi sesama saudara. Golongan yang dikritisi oleh penatua Yohanes dianggapnya lahir dari Iblis dan melakukan perbuatan dosa, padahal perbuatan dosa adalah dari Iblis (I Yoh. 8:8-10). Perbuatan dosa adalah tidak mengasihi saudara, padahal golongan perfeksionis di atas tidak bisa membuktikan bahwa mereka mengasihi saudara, bahkan mereka membedakan diri dari jemaat, menjadi “jemaat di dalam jemaat”.
e. Iman yang mengalahkan dunia
Di I Yoh. 5:4, mereka yang lahir dari Allah, maksudnya mereka yang melaksanakan amanat kasih terhadap saudara, telah mengalahkan dunia. Dan kemenangan yang mengalahkan dunia itu adalah “iman kita”. Di sini penatua Yohanes merefleksikan kembali Yoh. 16:33, “… kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia”. Konteksnya adalah perpisahan Gusti Yesus dengan murid-muridNya. Suasananya murung, karena murid-murid tahu, bahwa sebentar lagi Guru mereka akan pergi menunaikan tugas dan panggilan Bapa. Tetapi Gusti Yesus menggambarkan situasi murung ini sebagai situasi ibu yang sedang sakit bersalin. Sekarang sakit, tetapi setelah anak lahir, yang ada ialah sukacita, sakitnya sudah tidak diingat lagi. Kematian Tuhan di salib sudah merupakan kemenangan Tuhan terhadap dunia. Jemaat ikut ambil bagian dalam kemenangan Tuhan. Namun perhatikanlah ungkapan “iman kita”. Penatua Yohanes tidak berbicara mengenai imanku atau imanmu, melainkan iman kita, iman dari jemaat dari gereja sebagai keseluruhan dan sebagai kesatuan, itulah yang telah menang atas dunia. Iman ini, yaitu percaya bahwa Yesus adalah Anak Allah (ayat 5) tidak bisa dipisahkan dari amanat kasih yang menjadi perintah baru. Maka ayat ini tidak bisa dimaknai sebagai bermakna triumfalistik, dalam arti sekarang kita bisa merasakan kemenangan terhadap dunia, melainkan bermakna perjuangan. Kita sebagai jemaat Tuhan, berjuang mewujudkan amanat kasih, dan kita yakin bahwa akhirnya iman kita akan menang terhadap dunia.
II Yohanes
Berbeda dengan surat I Yohanes, surat II Yohanes pendek banget, cuma satu pasal. Rupanya surat ini merupakan penegasan kembali dari penatua Yohanes mengenai golongan Anti Kristus. Di I Yohanes golongan ini disebutnya “nabi palsu”, di sini disebutnya “penyesat”. Penyesat ini pergi kemana-mana, dan tidak mengaku bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia. Jadi intinya menurut II Yohanes, Anti Kristus adalah mereka yang menolak ajaran inkarnasi. Penatua senang bahwa jemaat melaksanakan ajaran kasih. Tidak semua, cuma separuh (ayat 4), tetapi hal itu sudah membuat senang hati penatua Yohanes. Tetapi saking kuatirnya mengenai pengaruh dari penyesat-penyesat di atas, dia mengatakan kepada jemaat agar jangan menerima golongan ini di rumahmu, bahkan jangan memberi salam kepadanya (ayat 10-11). Dicuekin aja! Siapa memberi salam kepadanya, berarti ambil bagian dalam perbuatannya yang jahat. Apakah di sini bukannya saran penatua kita malah tidak cocok dengan amanat kasih Gusti Yesus mengenai mengasihi bahkan musuh sekali pun? Dari pengalaman-pengalaman masa kini berinteraksi dengan kalangan-kalangan tertentu yang suka mendatangi rumah kita dan membujuk kita untuk ikut alirannya, memang di satu pihak ada rasa jengkel sih, tetapi saya ingat almarhumah ibu saya , yang selalu menerima orang-orang ini di rumah kami di Makassar. Ada seorang dari antara mereka, sudah ibu-ibu dan naik sepeda. Ibu saya menerima dia, memberi minum teh, mendengar ajarannya, sampai akhirnya ibu itu pergi. Tetapi ibu saya tidak menjadi pengikutnya. Tetap GPIB sampai akhir hayatnya. Bagaimana kalau dalam hal ini, kita ikut ibu saya aja dan tidak ikut penatua Yohanes, meskipun kita sangat menghargainya?
Di ayat 1 dan 5, penatua kita menyebut “Ibu”. Siapa ibu ini? Nampaknya “Ibu” di sini merupakan sebutan dia untuk jemaat, untuk Gereja. Kita memang jarang berbicara mengenai Gereja sebagai Ibu, tetapi saudara-saudari kita dari Gereja Katolik sudah agak biasa dengan istilah ini. Allah adalah Bapa, Yesus Kristus adalah Kepala Gereja, namun Gereja adalah Ibu kita. Pengaruh dari citra Maria sebagai ibu Yesus juga kuat, sehingga mereka biasa juga menyapa Maria sebagai lambang dari Gereja. Kita tidak harus mengikuti saudara-saudari Katolik yang memuliakan bunda Maria,, namun baiklah dicatat bahwa Yohanes Calvin, cakal bakal dari gereja Calvinis juga menyebut Gereja sebagai Ibu. Maksudnya jelas, kalau kita berbicara mengenai Gereja, jangan terlalu dominan berbicara mengenai Gereja sebagai organisasi dan birokrasi. Memang semuanya itu perlu, tetapi Gereja ujung-ujungnya bukan hanya organisasi dan birokrasi. Presbiter adalah pejabat, tetapi ujung-ujungnya bukan pejabat melainkan “organ”, dan kalau kita berbicara mengenai “organ”, maka maksudnya adalah “organ yang hidup”. Jemaat adalah persekutuan orang beriman yang merupakan Ibu yang sejati, yang keibuan terhadap semuanya. Bisakah kita menghayati keibuan kita itu, daripada menampakkan wajah garang dari malaikat penjaga taman Eden? Dalam rangka semangat keibuan itu, maka penatua Yohanes, meskipun menulis tiga surat, satu surat panjang, dua surat pendek, lebih mementingkan perkunjungan (ayat 12): “Tetapi aku berharap datang sendiri kepadamu dan berbicara berhadapan muka dengan kamu, supaya sempurnalah sukacita kita”.
Kitab Wahyu
Ada tiga sikap terhadap kitab Wahyu: yang pertama merasakan kitab Wahyu terlalu ribet, akhirnya malas membacanya. Yang kedua karena hobbynya meramal masa depan, membaca dengan teliti kitab ini sampai ke detail-detailnya, dan menghubungkannya dengan peristiwa-peristiwa masa kini seperti perang Iraq-Syria, kerusakan ekologi, munculnya ISIS dan terakhir, munculnya wabah Covid 19. Akhirnya kebablasan meramal akhir dunia (Awas, dunia mo kiamat!) dan akhirnya malu sebab ramalannya gagal (atau diberi alasan: akhir jaman ditunda). Sebaiknya kita mengambil sikap ketiga, yaitu menghargai kitab Wahyu sebagai bagian dari pewarisan firman Allah dalam PB kepada kita, dan secara bijaksana menerapkannya bagi perkembangan iman kita di masa kini, dalam menghadapi tantangan-tantangan dunia. Judul kitab dalam bahasa Yunani adalah apokalupsis Yoannou, “apokalipsis dari Yohanes”. Apa artinya “apokalupsis”? Sederhana saja, yaitu “penyingkapan”, bukan wahyu! Penyingkapan mengenai apa? Mengenai peristiwa-peristiwa yang menantang kehidupan jemaat rasul Yohanes, bagaimana jemaat harus menghadapi tantangan-tantangan ini, dan akhirnya harapan bagi jemaat. Kata “Wahyu” sih boleh-boleh saja dipakai, tetapi bisa disalahpahami seakan-akan ada wahyu tersendiri di sini, yang berbeda dari pewahyuan diri Tuhan Yesus Kristus dalam PB. Gusti Yesus adalah wahyu kita, bukan kitab Wahyu. Sama halnya dengan surat I Yohanes, di sini saya memilih beberapa topik saja, yang menurut saya penting untuk direnungkan oleh kita sekalian.
a. Wahyu 1-3: evaluasi terhadap ketujuh jemaat
Di bagian pertama kitab Wahyu kita membaca mengenai penglihatan yang diterima oleh rasul Yohanes yang sedang dikucilkan oleh pemerintah Romawi di pulau Patmos, salah satu dari kepulauan Yunani, dekat pantai Turki sekarang (Why. 1:9). Jemaat yang berada di Asia Kecil (Turki sekarang) pada waktu itu, yaitu di abad 1 Masehi, berada dalam suasana penganiayaan yang berat. Maka dia mengirim surat (sebenarnya kitab wahyu ini surat, bukan kitab, tetapi karena di Why. 1:11 penglihatan ini harus ditulis di sebuah kitab, maka kita sebut kitab) ini yang berisi kesaksiannya melalui seseorang yang tidak kita ketahui. Orang inilah yang memberitahukan kepada kita mengenai “wahyu” Yesus Kristus kepada Yohanes (Why. 1:1-8). Dengan kata lain, dialah “sekertaris” dari rasul Yohanes. Di Patmos, Yohanes mendapat penglihatan mengenai kehadiran Gusti Yesus Kristus, yang adalah Alfa dan Omega, yang awal dan yang akhir (Why. 1:17). Gusti Yesus mau berkomunikasi dengan jemaat melalui Yohanes, dan karena itu Yohanes harus menuliskan penglihatan yang diterimanya (Why. 1:19).
Di Asia Kecil terdapat tujuh jemaat: Efesus, Smirna, Pergamus, Tiatira, Sardis, Filadelfia, dan Laodikea. Ketujuh jemaat ini berada di Asia Kecil, yang merupakan daerah koloni dari imperium Romawi yang berpusat di kota Roma, Italia. Kaisar yang berkuasa di waktu itu, Domitianus, secara sporadik melakukan pembersihan agama, berupa penganiayaan terhadap kelompok-kelompok yang tidak diakui sebagai agama. Waktu itu agama Yahudi diakui, agama Kristen tidak. Nah, pejabat di daerah koloni biasanya lebih keras daripada yang di pusat. Maka kita melihat di pasal 1-3 dampak dari penganiayaan sistematis terhadap jemaat-jemaat. Konteksnya adalah konteks penganiayaan. Jemaat di Efesus dipuji karena waspada terhadap kesesatan, namun dicela karena “meninggalkan kasih yang semula” (Why. 2:4). Tidak diberitahu konkretnya apa itu. Saya bayangkan dalam suasana krisis, jemaat berhenti saling kontak, mungkin karena kuatir akan ikut teraniaya. Orang yang teraniaya atau yang bakal dianiaya, biasanya ditinggalkan sendirian oleh yang lain. Istilah sekarang “mencari zona aman”. Di jemaat Smirna ada jemaat Yahudi, yang menggunakan kesempatan untuk memfitnah jemaat Kristen, karena menganggapnya sebagai saingan (Why. 2:9). Yohanes menyebutnya “jemaat Iblis”. Beberapa jemaat akan dipenjarakan selama sepuluh hari, tetapi mereka diminta untuk “setia sampai mati” (Why. 2:10). Di Pergamus jemaat tetap setia, bahkan juga ketika ada warga yang bernama Antipas, yang dibunuh di hadapan jemaat (Why. 2:13). Tetapi jemaat juga dikritik karena tidak teliti, makan dari makanan yang diberikan kepada berhala, dan berzinah. Selain itu ada juga yang menganut ajaran Nikolaus.
Tetapi seperti apa itu, kita tidak tahu. Jemaat Tiatira dinilai baik, namun mereka membiarkan diri diatur oleh seorang nabiah, yaitu nabi perempuan, yang mengajarkan ajaran sesat, sehingga orang berzinah dan makan persembahan kepada berhala. Yohanes rupanya benci kepada perempuan ini dan menyebutnya Izebel, yaitu nama dari ratu Izebel, istri raja Ahab dari Israel di jaman PL. Tidak dijelaskan kepada kita dalam hal apa jemaat berzinah. Mengenai makanan yang dipersembahkan pada berhala, kita tahu nasihat rasul Paulus bahwa makan aja apa yang ada padamu dengan hati nurani yang tenang, apalagi kalau u tidak tahu bahwa daging itu adalah daging yang sudah didoakan di kuil (I Kor. 10:27). Mungkin jemaat yang disoroti oleh Yohanes mengikuti saran Paulus. Berarti dalam hal tertentu, Yohanes tidak setuju dengan Paulus, dan bisa lebih keras daripada Paulus.
Di Sardis secara keseluruhan jemaat berada dalam keadaan kacau. Jemaatnya dapat dikatakan hampir mati. Tetapi ada beberapa yang setia, dan mereka akan diberi pakaian putih. Nanti kita akan melihat bahwa pakaian putih merupakan pakaian orang yang setia sampai mati dalam iman. Berarti jemaat yang mati atau hampir mati menunjukkan mereka yang tidak tahan dalam penganiayaan, dan menyangkal iman mereka. Jemaat Filadelfia sebaliknya, mereka secara fisik lemah, namun mereka tidak menyangkali nama Yesus. Sama seperti jemaat Smirna, mereka juga diganggu oleh jemaat Yahudi. Yohanes lagi-lagi menyebutnya “jemaat Iblis”. Bisa dipahami mengapa dia bersikap demikian. Suasananya adalah jemaat Kristen yang mengalami penganiayaan, dan ada jemaat saingan yang menangguk di air keruh. Tetapi saran saya dalam suasana kehidupan kerukunan beragama di Indonesia, kita jangan menyebut jemaat saingan atau dari agama lain sebagai “jemaat Iblis”. Yohanes mendapat penglihatan dari Tuhan, kita tidak, dan kita bukan Yohanes hehehe Jemaat yang terakhir Laodikea dikecam sebagai jemaat yang tidak dingin, tetapi juga tidak panas, suam-suam kuku. Tetapi dalam arti apa, kita tidak tahu. Apakah jemaat ini bersikap pragmatis, lihat-lihat situasi? Gusti Yesus melalui Yohanes rupanya tidak suka pada orang pragmatis, Beliau menyukai orang yang mengambil keputusan radikal dalam konteks penganiayaan. Bagaimana kita mau menilai jemaat-jemaat ini? Ya kita refleksikan saja evaluasi terhadap ketujuh jemaat ini tanpa menghakimi. Kita GPIB ‘kan tidak berada di jaman penganiayaan. Kita baru bisa menghakimi ketujuh jemaat ini kalau kita juga sama-sama sedang mengalami penganiayaan.
b. Wahyu 4-11: kuda-kuda warna warni dan macam-macam malapetaka
Di Wahyu 5 diperlihatkan penglihatan mengenai Anak Domba yang Tersembelih, yaitu Gusti Yesus yang telah disalib, dan bangkit serta naik ke surga. Namun tetap digambarkan sebagai korban yang tersembelih. Ke-24 tetua Israel yang disebutkan di pasal 4 bersama mahluk-mahluk surgawi tersungkur dan menyembahNya. Kemudian Anak Domba itu membuka gulungan kitab yang ditutup dengan tujuh meterai. Satu persatu meterai itu dibuka. Meterai yang pertama menandakan kedatangan kuda putih dengan penunggangnya yang adalah pemanah. Kemudian meterai kedua dibuka, yang menandakan datangnya kuda merah. Penunggangnya memegang pedang besar. Pembukaan meterai ketiga menandakan kedatangan kuda hitam dengan penunggang yang memegang timbangan. Pembukaan meterai keempat menandakan kedatangan kuda yang berwarna hijau-kuning dan penunggangnya adalah Sang Maut. Keempat penunggang kuda ini diberi ijin untuk membunuh di seperempat luas bumi ini. Pembukaan meterai kelima tidak lagi menandakan datangnya kuda dan penunggang, melainkan jiwa-jiwa mereka yang telah teraniaya dan dibunuh oleh karena kesaksian mereka. Mereka bertanya sampai berapa lama lagikah ini, dan mengapa Tuhan tidak membalaskan darah kami kepada mereka itu? Mereka disuruh bersabar. Ketika meterai keenam dibuka, terjadilah gempa bumi yang dahsyat dan gerhana matahari plus gerhana bulan. Bintang-bintang di langit berjatuhan ke bumi. Semua penguasa dan pengikut mereka lari bersembunyi di celah-celah gunung, dan minta agar gunung-gunung itu runtuh menimpa mereka, tetapi sekaligus menyembunyikan mereka dari murka Ilahi. Sama aja, ketimpa gunung ya mati.
Di Wahyu 7 ternyata mereka yang menang amat banyak dibandingkan dengan kesan sebelumnya. Mereka adalah orang-orang yang telah mati sahid, para martir, yang beroleh air kehidupan, dan mereka mengenakan jubah putih yang adalah jubah kemenangan. Ketika meterai ketujuh dibuka, suasana menjadi sunyi sepi setengah jam lamanya, lalu ada seorang malaekat yang melakukan ibadah korban dupa yang mirip seperti di Bait Suci PL, cuma sekarang terjadi di surga. Malaekat itu memegang pedupaan, mengisinya dengan api dari mezbah dan melemparkannya ke bumi. Terjadilah cuaca buruk yang bergemuruh dengan guntur dan kilat disertai dengan gempa bumi. Mungkin ini bukan gempa baru, tetapi gempa hebat yang disebutkan sebelumnya. Cuma sekarang dijelaskan sumbernya.Lalu ada malaekat yang meniup sangkakala pertama: terjadi hujan es dan api bercampur darah, sepertiga bumi dan sepertiga pohon terbakar, dan semua rumput hijau menjadi hangus. Tiupan kedua: sebuah gunung besar dibuang ke laut, lalu sepertiga laut menjadi darah, sepertiga dari mahluk laut mati, dan sepertiga dari kapal-kapal hancur. Tiupan ketiga: sebuah bintang besar, Apsintus, jatuh dari langit dan bernyala-nyala, menimpa sungai-sungai dan mata-mata air. Sepertiga dari air menjadi apsintus, zat yang pahit, yang menyebabkan air tidak bisa diminum dan karenanya banyak orang mati kehausan. Tiupan keempat: lagi-lagi gerhana matahari dan bulan. Tiupan kelima: ada bintang jatuh ke bumi dan membuat lobang besar, yang disebut “lobang jurang maut” (Why. 9:1). Dari lobang itu keluarlah pasukan belalang raksasa dengan sengat kalajengking, tetapi mereka menggunakan baju zirah dan mukanya seperti muka manusia. Rajanya bernama Abadon (Ibr) atau Apolion (Yun). Mereka diperkenankan menyiksa manusia selama 5 bulan. Saking hebatnya siksaan itu, orang-orang minta supaya mati saja, tetapi “maut lari dari mereka”. Tiupan keenam: keempat penunggang kuda yang sudah disebut di Wahyu 6, sekarang mulai merajalela, banyak sekali manusia yang dibunuhnya. Tetapi anehnya, yang tidak mati oleh bencana-bencana ini, tetap tidak bertobat.
c. Sang Perempuan dan Si Naga
Pasal 10 dan 11 menggambarkan persiapan besar di sorga untuk penghakiman terakhir. Kemudian pasal 12-15 menggambarkan penghakiman terhadap si naga, yang sebenarnya merupakan penghakiman terhadap Imperium Roma sebagai lembaga negara. Di langit nampak dua tanda, yaitu sang perempuan yang berpakaian matahari (TB-BIS), beralaskan kaki bulan dan bermahkota 12 bintang, berarti ukurannya besar alias kosmik, berhadapan dengan naga raksasa yang merah padam, berkepala tujuh dan bertanduk sepuluh, dan mengenakan tujuh mahkota. Perempuan ini melambangkan bunda Maria, namun bunda Maria sebagai wakil Gereja atau Jemaat. Di surat II Yohanes di atas kita telah melihat penatua Yohanes menyapa jemaat sebagai Ibu. Perempuan ini berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dalam perang, karena ia siap untuk bersalin. Maka kesempatan ini dipergunakan oleh si naga untuk menghantam bintang-bintang, kemudian dia bersiap untuk menelan Anak yang telah dilahirkan. Tetapi Anak ini diselamatkan oleh malaekat Mikhael dan dilarikan ke hadapan tahta Allah. Kemudian Mikhael yang adalah Panglima balatentara surga bertempur hebat melawan si naga yang juga punya pasukan malaekat, dan akibatnya si naga kalah. Dia sekarang disebut “ular tua” (Why. 12:9), yaitu ular yang dulu di Taman Eden menggoda Sang Perempuan lain, yaitu Ibu Hawa.
Si naga yang kalah dihukum dengan jalan melemparkannya ke bumi bersama malaekat-malaekatnya. Ada nyanyian kemenangan di sorga, tetapi sukacita di sorga membawa celaka bagi mereka yang berada di bumi, oleh karena sekarang bumi didatangi oleh si Iblis (Why. 12:12). Si naga belum kalah total, dia masih bisa mengejar sang perempuan yang bersembunyi di gurun, tetapi lagi-lagi dia gagal, karena perempuan itu mendapat sayap yang memampukan dia terbang. Si naga lalu membuka mulut menyemburkan air sebesar sungai ke arah perempuan itu, namun bumi menolong perempuan itu dengan menelan sungai tersebut. Si naga yang kesel lalu melampiaskan kekesalannya kepada keturunan-keturunan dari perempuan ini, yang setia kepada Tuhan. Beginilah caranya Rasul Yohanes menerangkan mengapa jemaat-jemaatnya bisa mengalami penganiayaan, padahal Gusti Yesus sudah menang terhadap maut pada hari Paskah: karena si ular tua itu meskipun sudah kalah, belum kalah total dan masih bisa berwujud negara totaliter yang angkara murka alias zalim.
Maka di Wahyu pasal 13 negara digambarkannya sebagai mahluk dahsyat atau monster yang keluar dari dalam laut. Siapa yang rajin membaca Alkitab tentu tahu bahwa visi Yohanes di sini meminjam dari visi Daniel di PL, Daniel 7:1-28. Di situ ada 4 binatang yang keluar dari laut: yang pertama seperti singa, yang kedua seperti beruang, yang ketiga seperti macan tutul, yang keempat yang paling dahsyat yang tidak bisa digambarkan seperti binatang apa, maka saya namakan “Godzilla” aja, seperti di film Godzilla hehehe. Oleh Yohanes ketiga binatang yang sebelumnya dilebur masuk ke dalam binatang keempat yaitu si Godzilla ini, sehingga dalam Wahyu 13 hanya satu binatang yang keluar dari laut. Di atas kita sudah melihat monster si Naga, yang mewakili Setan-Iblis. Kalau begitu si Godzilla mewakili siapa? Ya mewakili imperium Roma yang berpusat di kota Roma. Tetapi di Why. 13:11 dst masih ada lagi monster yang keluar dari bumi, yang bertanduk seperti domba. Kita namakan saja dia “si Tanduk” atau “si Wedhus”. Jadi ada 3 monster: si Naga, si Godzilla dan si Tanduk. Yang terakhir ini mewakili pemerintah dari koloni Roma di Asia Kecil, yang di atas saya katakan bisa lebih kejam daripada pemerintah pusat. Mereka menerapkan sistem totaliter di Asia Kecil. Semua harus menggunakan tanda tertentu yang disebut kharagma, sebagai tanda tunduk dan menyembah Kaisar (Why. 13:13).
Ada patung besar dari Kaisar Domitianus di Efesus dan di Laodikea, dan dari waktu ke waktu ada ibadah berupa appel kesetiaan di depan patung-patung tersebut. Kharagma ini bukan hanya tanda religius, tetapi juga tanda politis. Penyembahan Kaisar menggabungkan agama dan politik. Bukan hanya itu saja, kharagma sekaligus adalah lisensi atau ijin resmi dari negara untuk berjual-beli alias berbisnis (Why. 13:17). Jadi bayangkanlah nasib orang yang tidak memiliki kharagma, dia nggak bisa apa-apa! Bahwa semua gambaran mengerikan mengenai “apa yang akan datang” ini harus dilihat dalam konteks pergumulan jemaat Yohanes sendiri pada jaman mereka, dapat dilihat pada anjuran Yohanes agar jemaat memerhatikan tanda itu yang ada bilangannya, yaitu “666” (Wah 13:18). Bilangan “666” ini biasanya dimaknai sebagai menunjuk pada kaisar Nero (dan siapa saja dalam sejarah yang pas lagi dibenci, sehingga Sadam Hussein dari Irak pun pernah diramalkan oleh mereka yang hobby meramal kitab Wahyu).. Bagaimana caranya sampai bisa ketemu Nero? Nah, dalam bahasa Latin, Kaisar Nero adalah Nero Caesar. Karena masih banyak jemaat yang berasal dari keturunan Yahudi dan bisa berbahasa Ibrani, maka frasa itu harus diibranikan dalam tulisan Ibrani, tetapi saya sederhanakan saja dalam huruf Latin: NRON QSR. Sama seperti abjad Latin, abjad Ibrani sekaligus merupakan angka. Jadi N = 50; R = 200; 0 = 6; N = 50; Q = 100; S = 60; R = 200. Jumlahnya 666!
Jadi meskipun kitab Wahyu pada akhirnya meramalkan akhir dari penganiayaan dan kemenangan jemaat, dalam banyak hal kitab ini sebenarnya menerangkan situasi jemaat secara tersamar. Meskipun kita kagum pada penafsiran “666” sebagai menunjuk ke Nero, kalau kita tetap berada dalam konteks kitab Wahyu yaitu pergumulan jemaat-jemaat di Asia Kecil, maka “666” ini menunjuk pada penguasa Asia Kecil sebagai wakil Roma, yang disebut Asiarkh (saya mengandalkan pada pendapat sejarawan Allen Brent, A Political History of Early Christianity, termasuk pandangan mengenai kharagma. Waktu itu kaisar di Roma adalah Domitianus atau Decius pada tahun 90an Masehi). Nero (memerintah di tahun 60an) sudah lama meninggal, tetapi kekejamannya ketika dia hidup dan penganiayaannya terhadap orang Kristen menyebabkan dia di ingat terus dan dilihat sebagai simbol kejahatan. Angka 7 dalam pemahaman orang Yahudi adalah sempurna, angka 6 sebaliknya, adalah lawan dari sempurna. Kalau 6 sampai tiga kali, yaitu 666, itu tandanya amat sangat tidak sempurna alias jahat sejahat-jahatnya. Asiarkh yang ada di Asia Kecil adalah antek Nero. Apakah 666 juga menunjuk pada wabah Covid 19 sekarang? Perhatikanlah bahwa 666 selalu menunjuk tokoh, bukan bencana atau wabah. Memang dalam bagian-bagian sebelumnya kita membaca mengenai bencana alam dan hama belalang dsb, tetapi mereka tidak masuk dalam kategori 666. Jadi untuk keperluan jemaat kita sekarang, menurut saya keliru kalau kita mengidentikkan 666 dengan wabah covid 19.
Konspirasi negara/pemerintah-bisnis-agama yang maha kuat dan totaliter seperti digambarkan dalam Wahyu 13 tidak dimaksudkan supaya diikuti, melainkan supaya ditentang dan dilawan dengan sikap iman yang teguh dan setia sampai mati. Wahyu pasal 13 memang merupakan contoh kapan orang beriman harus mengambil sikap anti negara, berbeda dari Roma pasal 13 yang merupakan contoh kapan orang beriman harus mengambil sikap pro negara. Tetapi tentunya terserah kepada kita sekarang, sikap mana yang kita ambil. Saran saya pelajari dulu situasi dan kondisi dari konteks kita secara mendalam, baru mengambil sikap.
d. Perempuan melawan Perempuan
Di Wahyu pasal 6 digambarkan lagi tujuh malapetaka, yang berpuncak pada hari peperangan yang luar biasa, yang terjadi di “Harmagedon” (dipopulerkan menjadi “Armageddon”). Sebenarnya di PL, Harmagedon adalah sebuah tempat di luar kota Yerusalem, yang menjadi tempat pembuangan segala jenis benda yang dianggap najis atau kotor, kalau menurut istilah sekarang “TPA” (tempat pembuangan sampah). Tetapi oleh rasul Yohanes dipakai sebagai simbol pelaksanaan kehancuran Babel. Seperti diketahui di PB, Babel sudah lama musnah, jadi nama itu dipakai untuk menunjuk kepada imperium Romawi, khususnya pemerintah koloni Asia Kecil. Kehancuran imperium ini merupakan wujud keadilan Ilahi, sebagai balasan terhadap penganiayaan terhadap jemaat (Why. 16:6). Pasal 17-19 semuanya menggambarkan kehancuran Babel, yang digambarkan sebagai seorang perempuan, tetapi perempuan yang sangat jelek, “Pelacur Besar” (Why. 19:2), berbeda dari perempuan di pasal 12 yang mewakili jemaat-jemaat. Gambaran Babel sebagai perempuan jelek ini diambil oleh rasul Yohanes dari Yesaya pasal 48, yang menggambarkan kerajaan Babel sebagai perempuan cantik tetapi jelek kelakuannya.
e. Kemenangan akhir
Setelah Babel kalah dan hancur, tibalah kemenangan akhir. Di pasal 20 disebutkan mengenai “Kerajaan 1000 tahun” dari Sang Kristus. Pemerintah kolonial di Asia Kecil dibayangkan hancur dan digantikan oleh pemerintahan langsung dari Gusti Yesus. Si Iblis atau si ular tua dilemparkan ke dalam jurang maut di pasal 9, tempat keluarnya pasukan belalang-kalajengking, jurangnya ditutup dan dimeteraikan. Tetapi kok setelah 1000 tahun, iblisnya lepas lagi? Untung setelah itu dia ditangkap lagi, kemudian dilemparkan ke dalam lautan api dan belerang bersama pengikut-pengikutnya, dan mereka akan terus menerus menerima siksaan dari kekal sampai kekal. Tetapi apakah dia akhirnya binasa? Tidak disebutkan dalam kitab Wahyu. Berarti jemaat yang sudah menang tidak boleh lengah, sebab bisa saja, entah bagaimana, kejahatan terus saja mengancam kebaikan. Yang penting adalah melihat di sini harapan yang diberikan oleh Yohanes, bahwa masa depan ada di tangan Tuhan, bukan di tangan Iblis.
Di pasal 21 ada gambaran mengenai langit baru dan bumi baru, kota Yerusalem yang baru yang turun dari sorga menggantikan langit lama dan bumi lama yang telah hancur akibat penghakiman Ilahi. Masa depan yang baru ini digambarkan sangat idealistik, tidak ada lagi perkabungan dan air mata. Semua berlangsung dalam kerangka kedatangan Tuhan Yesus, yang adalah Awal dan Akhir, Alfa dan Omega. Relevansinya bagi jemaat Yohanes jelas, tempatkanlah deritamu dalam jalur Alfa dan Omega, sehingga u tidak kehilangan arah menghadapi tantangan dunia yang seberat apa pun. Bagi kita di masa kini pun hiburannya tetap sama: setelah Ahok kalah di Pilkada Jakarta, jangan bingung dan kacau. Tempatkanlah frustrasimu terhadap wabah covid 19 dalam jalur Alfa dan Omega. Gambaran mengenai pembalasan Ilahi terhadap penganiayaan di kitab Wahyu bisa kita salahpahami dengan membayangkan kehancuran negara dan masyarakat yang sudah berlaku tidak adil terhadap kita, bahkan kehancuran dunia, kecuali kita. Dengan kata lain, mendoakan kiamat. Itu sudah bertentangan dengan inti ajaran tulisan-tulisan Yohanes sendiri, yaitu amanat kasih dari Yesus Kristus. Jadi bacalah kitab Wahyu dari kaca mata amanat kasih, jangan dari kaca mata keinginan membalas dendam. Tuhan menyertai kita. ***