SOE-TTS, www.sinodegmit.or.id, 107 murid SD GMIT Nifukani hanya bisa pasrah lantaran bangunan sekolah tempat mereka belajar sudah tidak layak huni dan nyaris roboh. Kondisi memprihatinkan ini sudah berlangsung enam tahun padahal lokasi sekolah berdempetan dengan gedung gereja jemaat GMIT Nekmese Oetimu, klasis Soe.
“Atap alang-alang sudah rusak dan berlubang. Kalau musim hujan, air menetes sehingga sangat mengganggu kegiatan belajar mengajar. Meja bangku basah jadi kami kasi pindah di sudut yang tidak kena air. Sementara kalau musim panas anak-anak belajar di bawah terpaan angin karena dinding rusak,” keluh Paulinus Tasoin, tenaga honorer yang juga menjadi wali kelas V.
Daniel Tlonaen, tokoh jemaat juga orang tua murid setempat mengisahkan ikhwal bangunan sekolah darurat yang terdiri dari dua unit dan hanya berjarak 5 meter dari gedung gereja.
“Ini sekolah bekas gereja GMIT Nekmese Oetimu yang didirikan tahun 2002. Tahun 2004 setelah selesai membangun gedung gereja, jemaat pindah ke gedung baru. Tahun 2011, jemaat sepakat rumah ini dipakai sebagai Tambahan Ruang Kelas (TRK) dari SD GMIT Nifukani yang kurang ruang kelas,” jelasnya.
Bangunan darurat TRK SD GMIT Nifukani ini, berjarak sekitar 1 kilometer dari sekolah induk. Berlantai tanah dan beratap alang-alang. Sinar matahari menembus ruang kelas karena beberapa bagian atap berlubang sebesar telapak tangan. Dinding yang terbuat dari bambu pun sudah lapuk dimakan rayap. Tiang-tiang bangunan miring. Kalau saja tidak ditopang dengan tiang penyangga di setiap sudut, bangunan ini bisa jadi sudah rata tanah diterpa angin. Kondisi ini sangat berbeda dengan bangunan sekolah induk yang permanen.
Saat ini TRK SD GMIT Nifukani sudah 6 tahun melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Para siswa kelas satu sampai enam menggunakan bangku sebagai tempat duduk karena jumlah kursi terbatas, itu pun sumbangan dari SD tetangga yang prihatin dengan kondisi sekolah.
Paulinus mengaku sarana prasarana sekolah hanya seadanya bahkan terkesan kurang mendapat perhatian dari sekolah induk dan yayasan. “Kami hanya dapat buku-buku bekas dari sekolah induk. Alat tulis kantor kami dapat tetapi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Silabus semua ada di sekolah induk dan kami tidak dapat jadi kami mau mengajar karmana? Kami mengajar sebatas itu saja karena kami tidak punya buku panduan apa-apa dari kepala sekolah,” ungkapnya.
Paulinus yang telah mengabdi 11 tahun di SD GMIT Nifukani juga mengaku awal mula diterima menjadi guru honorer, ia mendapat honor Rp. 25.000,- (Dua Puluh Lima Ribu Rupiah). Beruntung tahun 2015 honornya sudah dinaikan sebesar Rp. 375.000,- (Tiga Ratus Tujuh Puluh Lima Ribu Rupiah) per bulan atau ditotal Rp. 1. 125.000,- (Satu Juta Seratus Dua puluh Lima Ribu Rupiah) yang dibayarkan setiap 3 bulan sekali. Namun dari jumlah uang tersebut ia bagikan lagi dengan 3 orang temannya sesama guru honorer yang mendapat gaji lebih kecil.
Paulinus juga mempertanyakan mekanisme administrasi pembayaran honor. Menurutnya, setiap kali menerima honor ia tidak pernah mendapat kuitansi pembayaran dari bendahara sekolah.
“Saya tanda tangan terima honor di buku kuarto panjang. Bukan di kuitansi. Nilai uangnya ditulis pakai pensil tapi saya tandatangan pakai bolpoin bahkan kadang-kadang nilai uang tidak dicantumkan,” ujarnya.
Kepala sekolah Adriana Boimau, S.Pd, saat dimintai tanggapannya terkait pemanfaatan dana BOS mengatakan bahwa pembayaran honor 14 tenaga honorer sudah sesuai petunjuk teknis (juknis) yakni 50% dari total dana yang diperoleh sebesar Rp. 56.000.000,- (Lima Puluh Enam Juta Rupiah) per tiga bulan.
“Ada 14 tenaga honorer yang gajinya dibayar dari dana BOS. 7 orang yang sudah lama mengabdi mendapat Rp. 300.000 per bulan dan sisanya sebagai tenaga magang mendapat Rp. 150.000,-”per bulan. Dan terkait kuitansi memang mereka tidak diberi kuitansi, hanya tanda tangan di buku daftar pembagian honor,”ujarnya.
Sementara itu, ketua Majelis Jemaat setempat, Pdt. Vini Bria menjelaskan bahwa selama ini sekolah belum diberi bantuan secara langsung. Namun, jemaat-jemaat telah membayar dana 2% pendidikan secara rutin ke Majelis Sinode. Sedangkan upaya perbaikan dan pengembangan TRK ini masih terkendala oleh karena status tanah tempat sekolah dan gedung gereja berdiri belum ada surat hibah dari pemilik tanah.***