Manchester-Inggris, www.sinodegmit.or.id,Atas permintaan sahabat saya Pdt. Wanto Menda di Kupang, saya membagikan cerita bagaimana Gereja Inggris menghadapi wabah Covid-19. Saya akan menceritakan bagaimana Gereja Inggris secara umum menghadapi ini secara “sinodal” dan gereja/jemaat di mana saya sekeluarga menjadi anggota yaitu Holy Trinity Platt Church, Manchester – Inggris.
Pertama, dua pemimpin tertinggi dalam struktur organisasi Gereja Inggris yaitu Archbishop of Canterbury (Pdt. Justin Welby) dan Archbishop of York (Pdt. John Sentamu) secara bersama mengumumkan bahwa ibadah publik (ibadah Minggu) dan semua bentuk kegiatan gereja lainnya sebagai respon terhadap himbauan Pemerintah Inggris untuk benar-benar membatasi pertemuan dan melakukan isolasi diri. Langkah ini bukan saja sebagai dukungan kepada upaya pemerintah, tetapi juga sebagai sebuah bentuk partisipasi gereja dalam isu publik dunia, bahwa gereja hadir bagi dunia ini, bukan bagi dirinya sendiri. Mereka menegaskan bahwa pada masa sulit ini Gereja Inggris akan tercirikan berbeda dari biasanya.

Ciri yang menonjol sebelumnya yaitu ibadah publik hari Minggu akan terganti dengan doa dan pelayan sosial dalam beragam bentuk kepada sesama setiap hari. Mereka yang rentan harus dilindungi dan yang dalam pengasingan diri harus dijangkau dengan beragam cara. Mereka meyakini bahwa dengan pelayanan dan kasih yang nyata ini, Yesus Kristus akan dikenal, dan pengharapan Injil, yaitu pengharapan yang mengalahkan ketakutan dan keterasingan, akan menyebar ke seluruh penjuru Inggris.
Kedua, sikap Gereja Inggris yang disampaikan kedua pemipin tertinggi ini ditindak lanjuti di jemaat-jemaat, termasuk Holy Trinity Platt Church. Setelah beberapa minggu terakhir jemaat ini sudah meresponi kebijakan Pemerintah Inggris terkait Covid-19 dengan cara meniadakan jabatan tangan dan pengedaran tanggu persembahan uang, serta meniadakan makan-minum setelah ibadah, sampai pada memodifikasi pelaksanaan sakramen Perjamuan Kudus dan Baptisan Kudus, tentu dengan arahan dari Sinode Gereja Inggris.
Namun, mulai minggu ini semua bentuk kegiatan pelayanan rutin serta ibadah publik pada hari Minggu akan ditiadakan sama sekali. Pintu gedung gereja akan tetap terbuka bagi anggota jemaat yang ingin datang berdoa di dalam, tetapi dengan pengawasan supaya social-distancing dapat terlaksana. Ibadah minggu akan dilangsungkan dengan live streaming. Pelayanan doa melalui telpon dan alat-alat komunikasi lainnya sedang ditingkatkan. Demikian juga pelayanan sosial seperti bantuan keperluan “sembako” melalui bank makanan sedang berlangsung. Pelayanan dalam bentuk finansial juga diberikan bagi anggota jemaat yang penghasilannya berkurang sehingga tidak memenuhi kebutuhan dasar pada masa ini. Yang dalam pengasingan diri total juga dijangkau dengan beragam cara. Sikap gereja dan semua bentuk pelayanan ini dilakukan secara kreatif sesuai prinsip-prinsip eklesiologis seperti yang disampaikan kedua Archbishop Gereja Inggris dan petunjuk/panduan Pemerintah Inggris.
Sebagai anggota jemaat, kami malah merasakan persekutuan jemaat ini semakin kuat walaupun dalam bentuk yang berbeda dari biasanya. Mulai dari kelompok besar di jemaat, sampai kelompok-kelompok kecil. Istri saya yang tergabung dalam salah satu kelompok PA Perempuan bahkan memiliki group WA sendiri di mana mereka berupaya saling membantu satu sama lainnya. Demikian juga House Groups atau kelompok-kelompok rumah tangga (seperti rayon tetapi lebih kecil) saling menawarkan bantuan dan mengutarakan kebutuhan untuk dibantu. Menanyakan kabar dan pokok doa juga menjadi lebih sering. Saling membantu dan melindungi sebagai wujud dari iman, pengharapan dan kasih. Terkesan kuat, warga jemaat ini semakin rindu untuk bertemu satu sama lain secara fisik. Terbayang suasana persekutuan yang lebih erat di gedung gereja saat masa sukar ini berakhir.
Beginilah salah satu bentuk menggereja di tengah pandemi Covid-19. Mudah-mudahan cerita ini bermanfaat, khususnya bagi GMIT tercinta. *** Manchester, 18 Maret 2020.