GMIT UTUS 5 ORANG PESERTA SIDANG WCRC di JERMAN

Pendalaman Materi Sidang

KUPANG, WWW.SINODEGMIT.OR.ID, Memperingati 500 tahun usia Gereja Protestan/Reformasi, Dewan Gereja-Gereja Reformasi se-dunia atau World Communion of Reformed Churhes (WCRC) memilih Jerman sebagai tuan rumah berlangsungnya Sidang rayanya yang ke-26. Tema sidang kali ini adalah “Allah Yang Hidup Perbarui dan Ubahlah Kami” (Living God, renewing and transformation us). Dipilihnya Jerman tak lepas dari ingatan sejarah lahirnya gereja Protestan (1517) yang sekaligus menjadi negara kelahiran reformator ulung Marthin Luther (1483-1546).

Hingga tahun 2013 tercatat 229 denominasi gereja menjadi anggota WCRC. Gereja-gereja ini menyebar di 108 negara. Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) adalah salah satu anggotanya. Pada sidang raya kali ini GMIT mengutus 5 orang peserta antara lain: Pdt. Agustina Oematan-Litelnoni (Wakil Ketua Majelis Sinode GMIT), Pdt. Yulian Widodo (Ketua Klasis Amanuban Timur Selatan), Pdt. Dorkas Sir (wakil kaum perempuan), Semuel Utomo (wakil pemuda dari klasis Kota Kupang) dan David Natun, (Ketua Pengurus Pemuda Sinode GMIT). Peserta akan mengikuti sidang selama 9 hari yang dimulai pada 29 Juni hingga 7 Juli 2017.

Guna membekali para peserta yang akan membawa dan meneruskan suara GMIT di kancah persidangan gereja berskala internasional tersebut, Jumat, 09/06-2017, tertempat di aula Kantor Majelis Sinode GMIT berlangsung diskusi pendalaman materi sidang raya yang menghadirkan 4 orang pembicara yakni: Pdt. Dr. Mery Kolimon, Dr. Ira Mangililo, Pdt. Dr. Mesakh Dethan dan Pdt. Ari Kalemudji, M.Th. (Materi-materi sidang raya bisa dibaca di:
(http://wcrc.ch/gc2017/press-centre).

Ubuntu di Afrika dan Ama uis Neno ma  Ina Uis Pah di Timor

Pdt. Mery Kolimon, memberi masukan yang manarik terkait materi  Dr. Fuyani Vellem, teolog dogmatika dan etika dari Afrika Selatan. Menurut Vellem, konsep Allah yang hidup bukanlah kata benda melainkan kata kerja. Dan iman pada Allah yang hidup itu yang adalah kata kerja itu berhubungan dengan  kata kerja hidup mereka. Vellem, mendekati tema dengan berangkat dari konsep Ubuntu (humanity) dalam konteks Afrika, bahwa manusia tidak bisa hidup dengan dirinya saja. Ubuntu juga bisa menjadi kerangka berpikir untuk memahami relasi gereja-gereja reform se-dunia yang mana GMIT termasuk di dalamnya.

Kepada peserta, Pdt. Mery mengusulkan, “Kalau kami datang dari Timor dalam persidangn ini apa yang bisa kami bawa? Orang Afrika bicara living God sebagai kata kerja, dari latar belakang ubuntu dan penindasan rasial, ole-ole yang bisa dibawa GMIT terkait living Godadalah sistem kategori ganda orang Meto yang menyapa penguasa hidup, Allah kehidupan itu sebagai ama uis neno ma ena uis pah,” kata Pdt. Mery.

Ia menitipkan konsep teologi orang Meto ini kepada peserta untuk diteruskan dalam persidang ini. Meski menurut pengalamannya  dibutuhkan keberanian berbicara di panggung persidangan berskala internasional ia berharap konsep ini bisa dibagikan sebagai suara dari Timor untuk gereja-gereja di dunia.

“Syukur bahasa Indonesia menjadi salah satu bahasa resmi dalam persidangan. Jadi omong sa, nanti penerjemah dong yang bantu omong. Su  jauh-jauh dari Timor ke Jerman baru sonde omong apa-apa, notulen musti catat bapak Pdt. Yulian Widodo pung nama di sana dan omong tentang ama uis neno ma ena uis pah: Bapa penguasa langit dan Ibu penguasa bumi,  yang menyala dan membara, apinat aklahat, aneot ahafot, ahaot afatis. Menyala dan membara, menaungi dan melindungi, yang memberi makan dan menafkahi. Ia punya lengan kuat seperti seorang ayah tetapi juga menggendong seperti ibu ketika alam sakit. Dialog antara ubuntu dan teks Timor saya kira menolong kita untuk memberi sumbangan yang khas dari Timor. Allah kehidupan itu Allah yang menciptakan dan melahirkan manusia dan segenap ciptaan lintas agama, budaya dan segala makhluk.”

Gurita Kapitalisme Global, Kerusakan Ekologi dan Buruh Migran

Sementara itu Dr. Ira Mangililo, yang membedah materi dari Phillip Peacock, mengkonstatir hubungan antara imperialisme dan kapitalisme global terhadap perubahan ekologi dan arus buruh migran. Penguasaan kapitalis terhadap sumber-sumber daya berdampak luas terhadap kerusakan ekologi yang mengakibatkan orang tidak bisa mengusahakan tanah-tanahnya dan memilih meninggalkan kampung halaman menuju wilayah/negara yang lebih makmur dengan menjadi buruh migran.  Ini persoalan global yang juga khas di Timor. Dari konteks ini Dr. Ira Mangililo mengusulkan perlu upaya teologi yang peka terhadap dampak globalisasi sehingga dapat menekan dampak negativ arus globalisasi dan transnasionalisme (perpindahan penduduk dari satu negara ke negara lain).

Terkait dengan gurita para kapitalis yang bisa jadi adalah warga gereja sendiri, Pdt. Ari Kalemudji,  mendorong gereja-gereja Reformasi untuk melakukan pertobatan (metanoia).  Dalam banyak hal menurutnya, gereja juga memperoleh banyak keuntungan dari para kapitalis ini dengan resiko gereja kehilangan suara profetisnya. Karena itu harus ada reformasi internal dari gereja-gereja reformasi sendiri.

Imperium Versus Kerajaan Allah

Pemateri lainnya Pdt Dr. Mesakh Dethan, mendalami bahan PA dari Revelation Velunta yang bertema “Hanya Ada Kita Semua” berdasarkan pendalaman teks Lukas 4:16-30.   Menurut Velunta Yesus mengkritisi kemapanan yang diperjuangkan oleh imperium atau para penguasa.  “Imperium memberitakan kabar baik bagi mereka yang kaya. Yesus dalam Lukas memproklamasikan kabar baik bagi yang miskin”.

Lebih jauh menurut Velunta kata ganti orang “kami” mengasumsikan kepemilikan. Bagian dari sebuah keseluruhan. Lebih khusus lagi, “kami” adalah orang-orang dalam. Jika dilihat dari sudut pandang orang Nazaret, Yesus pernah menjadi “salah satu dari kami.” Yesaya adalah “salah satu dari kami.” Janji-janji dalam Alkitab adalah “untuk kami.” Janji-janji Yesus yang digenapi bagi pendengarnya juga “untuk kita.” Akhirnya, semua ini mengisyaratkan bahwa Allah selalu dan hanya “untuk kami.” Jikalau ini semua yang ada dalam pikiran kita, maka kita keliru dan naif dalam menafsirkan rahmat kasih Allah, demikian menurut Velunta. Oleh karena itu kata “kami’ harus ditafsirkan dalam arti yang luas.

Kata “kami” hendaknya juga mengandaikan keberadaan kelompok lain. Mereka yang tidak termasuk dalam kelompok kami. Jikalau Imperium, dibangun di atas keistimewaan, kuasa, kepemilikan dan komodifikasi (mengubah atau memperlakukan sesuatu sebagai komoditas) memisahkan dan menaklukkan orang-orang demi kepentingan segelintir orang. Imperium menciptakan “kami” dan “mereka.” Maka Yesus menghancurkan segala bentuk pemisahan itu. “Dalam Kerajaan Allah, tidak ada kami, tidak ada mereka”. Hanya ada kita semua.

Dalam konteks Indonesia, menurut Pdt. Dr. Mesakh Dethan, yang diperlukan bukan lagi mempersoalkan ajaran dan agama mana yang paling benar melainkan bekerja sama mengatasi kemiskinan dan kerusakan lingkungan hidup. Sebab kemiskinan atau kerusakan alam bukan saja persoalan agama Kristen, Muslim, Hindu, Budha atau agama apa pun dia, tetapi persoalan semua agama.

Selain itu ia juga mendorong Gereja agar berani dan berdiri di barisan terdepan memprotes “semangat imperium dari para politisi” bukan saja menggunakan segala cara (termasuk memakai isu identitas dalam meraih kekuasaan), tetapi juga semangat menciptakan kerajaannya sendiri dari pada menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah bagi semua orang. Tidak sedikit politisi yang telah berkuasa satu-dua periode, tetap ingin mempertahankan “kerajaan atau dinastinya” dengan mempromosikan istrinya atau kerabat dekatnya untuk meraih kekuasaan yang sama.***

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *