
www.sinodegmit.or.id, Bacaan minggu lalu berbicara tentang Tuhan Yesus menampakkan diri kepada Petrus. Perjumpaan ini bermakna restoratif, dimana Yesus mengajak Petrus untuk kembali berkomitmen terhadap panggilan kemuridannya. Melalui dialog tentang kasih, Yesus menggugah sang penyangkal menjadi murid yang menggembalakan domba Tuhan. Hasilnya sungguh luar biasa. Kesaksian Perjanjian Baru (PB) menunjukkan karya pelayanan Petrus demi Injil. Salah satu buktinya ialah penulisan surat ini. Saat jemaat Asia Kecil mengalami aniaya karena iman mereka kepada Kristus, Petrus menasihati mereka agar tabah. Penganiayaan dapat menyebabkan penyangkalan iman seperti yang dialami Petrus. Sebagai penyangkal yang telah diubah, Petrus menulis surat ini agar jemaat tetap beriman saat mengalami penganiayaan yang sangat berat.
Para peneliti Alkitab membagi penganiayaan pada zaman Petrus ini atas tiga model. Pertama, jemaat menderita “penganiayaan resmi”, yaitu berasal dari keputusan resmi negara Romawi. Kedua, “penganiayaan tidak resmi”, yaitu permusuhan informal dari para pemimpin dan rakyat yang bersifat lokal dan sporadis. Ketiga, model penganiayaan “median”, yakni antara yang resmi dan tidak resmi. Penganiayaan meluas ke provinsi-provinsi tidak lama setelah Nero membakar kota Roma dan menuduh orang kristen sebagai dalangnya. Akibat fitnahan Nero ini, banyak orang kristen dianiaya dan dibunuh di kota Roma. Bahkan saat tidak ada lagi undang-undang atau dekrit resmi kaisar ke seluruh wilayah kekaiseran, sikap Nero ini sangat mempengaruhi kebijakan penguasa lokal di setiap provinsi. Itu sebabnya penganiayaan meluas ke mana-mana.
Terhadap jemaat yang teraniaya ini, Petrus memberi nasihatnya. Petrus meminta mereka untuk bergembira dalam penderitaan. Ini bukan nasihat yang mudah. Umumnya orang bergembira dalam kebahagiaan. Tetapi untuk bergembira saat berada dalam penganiayaan, dipenjara, dibakar hidup-hidup, diseret dengan kuda keliling kota, atau dipenggal kepalanya, terlihat seperti nasihat yang mustahil.
Petrus berani memberi nasihat seperti ini sebab ia sendiri pernah mengalami aniaya. Tetapi pengalamannya membuktikan bahwa ia bisa bersukacita di dalamnya. Bukan karena kekuatannya sendiri, tetapi karena Allah memberinya kuasa. Itu sebabnya dalam ayat 4 Petrus menasihati jemaat untuk tetap “bergembira” (Yunani: agalliao), yang berarti melompat banyak. Makna kata ini menunjuk pada orang yang bergirang sambil melompat-lompat. Jadi bukan sekedar sukacita biasa. Kualitas kegembiraan seperti ini tidak dapat dihalangi oleh siapaun atau apapun. Petrus hendak meyakinkan jemaat bahwa penderitaan dan aniaya yang mereka alami karena kepercayaannya kepada Yesus tidak boleh merenggut sukacita mereka. Petrus menghendaki agar jemaat menghadapi aniaya bukan dengan kekalahan, apalagi murtad, tetapi dengan tetap teguh beriman kepada Kristus.
Guna meyakinkan jemaat akan prinsip kegembiraan ini, Petrus mengawali perikop ini dengan memuji Allah (ay. 3). Tuhan layak kita puji dengan pemujaan tertinggi. Tidak boleh ada sesuatu apapun yang boleh merintangi kita, termasuk penganiayaan, untuk memuliakan nama-Nya. Semua yang ada dalam diri kita, baik kemampuan, emosi, dan kapasitas kita, harus bergabung dalam paduan suara untuk memuji-Nya. Pujian yang setengah hati dan tidak cerdas, bukanlah pujian yang seharusnya kita berikan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih (C. H. Spurgeon).
Kemampuan untuk bergembira dan memuji Yuhan seperti ini hanya dimungkinkan oleh iman, pengharapan dan kasih. Dan kebangkitan Kristus adalah fondasi dari semuanya itu.
Kebangkitan Kristus memberi harapan
Petrus menjelaskan bahwa jemaat yang menderita harus tetap memiliki pengharapan, sebab kebangkitan bukan hanya tentang Yesus yang hidup, tetapi oleh kemurahan Allah, kita pun hidup. Beberapa terjemahan Alkitab menerjemahkan ayat 3 dengan “harapan yang hidup”. Petrus hendak menekankan bahwa harapan orang percaya harus tetap hidup dalam situasi apapun. Bahkan pengharapan itulah yang memberi kekuatan bukan hanya untuk bertahan dalam penderitaan, tetapi juga untuk mengalahkannya.
Kebangkitan Kristus melahirkan iman
Iman yang lahir dari kebangkitan berkaitan dengan tiga hal pokok. Pertama, iman bahwa kita akan menerima hal-hal kekal, yang tidak dapat binasa, cemar dan layu (ayat 4). Tidak ada penganiayaan yang dapat merebutnya dari kita. Keselamatan telah tersedia bagi semua orang percaya di zaman akhir. Aniaya hanya dapat mengambil tubuh kita, tapi ia tak dapat merenggut keselamatan yang telah menjadi milik kekal kita. Oleh anugerahNya yang besar, Allah telah menyimpan semuanya di sorga bagi kita.
Kedua, kebangkitan melahirkan iman untuk meyakini pemeliharaan Allah dalam segala situasi (ayat 5). Penderitaan bukanlah tanda ketidakhadiran Allah. Juga bukan berarti Allah meninggalkan kita. Mendung tak berarti bahwa tidak matahari. Kita meyakini sungguh bahwa dari balik penderitaan, Allah tetap memegang kendali.
Ketiga, Allah dapat mengubah penderitaan menjadi sesuatu yang bermanfaat. Penderitaan dapat menjadi alat pemurnian iman. Ia membuang sampah yang melekat pada iman kita sehingga menjadi semakin murni. Tuhan juga dapat memakai penderitaan sebagai sarana untuk mencapai tujuan iman, yakni keselamatan jiwa kita. Penderitaan tidak boleh membuat kita melenceng dari tujuan iman. Justru sebaliknya, semakin ditempa Tuhan, semakin kita menyadari akan tujuan hidup kita yang sebenarnya. Ia menata ulang seluruh jalan hidup kita agar menuju ke arah yang benar. Kita semakin yakin bahwa tidak ada sesuatu apapun, bahkan emas yang paling murni sekalipun, yang lebih penting dari keselamatan kita (ayat 7). Untuk keselamatan itulah Yesus telah mati dan bangkit. Dengan demikian, keselamatan harus menjadi tujuan utama hidup kita, melampaui apapun.
Kebangkitan Kristus melahirkan kasih
Kebangkitan Kristuslah yang melahirkan kasih yang mengalir deras kepada-Nya. Kematian dan kebangkitan Kristus adalah bukti kasih Allah kepada kita. Allah mengasihi kita, bukan dengan perkataan, tapi dengan tindakan. Bahkan tindakan penyelamatan Allah itu ditempuh dengan mengaruniakan Putra Tunggal-Nya bagi kita yang berdosa. Maka tanggapan kita tidak lain adalah terus mengasihi Dia, apapun resikonya. Penganiayaan yang sedang dialami jemaat tidak boleh menjadi alasan untuk tidak mengasihi-Nya. Justru dalam penderitaanlah, kasih kita kepada Allah diuji. Bila kita tetap setia mengasihi-Nya, itu adalah tanda kemurnian kasih kita (pdt jahja a. millu).
Bacaan rujukan:
1. Travis B. Williams. Persecution in 1 Peter: Differentiating and Contextualizing Early Christian Suffering. Supplements to Novum Testamentum 145. e-Pub edition (Leiden: Brill, 2012).
2. Edmund Clowney. The Messages of 1 Peter. e-Pub edition (Downers Grove, Illinois: Inter-Varsity Press, 1988).