HIV/AIDS dan Spiritualitas Kota (Renungan: Mazmur 122) –Wanto Menda

Panorama Pantai Kelapa Lima – Kupang

KUPANG, www.sinodegmit.or.id. Beberapa bulan terakhir ini wajah Kota Kupang mulai dibenahi. Sepanjang pengamatan, ada beberapa proyek yang sudah dan sedang dikerjakan seperti, pemasangan lampu hias berbentuk bunga sepe (flamboyan) dan sasando di beberapa ruas jalan, trotoar yang dicat aneka warna, pemasangan sisi TV di persimpangan jalan, dan terakhir ada enam proyek taman kota selain Taman Nostalgia.

Upaya menata wajah kota ini berlangsung di tengah predikat buruk terhadap kota ini usai diumumkan sebagai salah satu kota paling kotor di Indonesia. Predikat ini selain mengindikasikan bahwa para pimpinan pemerintahan di kota ini lemah dalam hal tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), tetapi terutama juga mempertanyakan tanggungjawab moral para pemimpin gereja dan umat Kristen di Kota Kupang. Pasalnya, 85,8% umat di kota ini beragama Kristen baik Protestan maupun Katolik. (Data BPS Kota Kupang, 2014: Kristen, 251.240 jiwa dan Katolik, 78.551 jiwa, dari total penduduk, 384.112 jiwa)

Bukan cuma soal predikat kota terkotor, masalah lain yang paling mencemaskan sekarang ini adalah ancaman penyakit HIV/AIDS. Laporan media lokal bulan Oktober 2019 yang lalu berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Kupang, jumlah korbannya sudah mencapai 1. 520 orang. Dari jumlah itu tercatat laki-laki sebanyak 911 orang dan perempuan sejumlah 609 orang. Wilayah sebaran tertinggi berada di Kecamatan Oebobo sebesar 20% atau sebanyak 301 penderita. Maulafa 19% atau 289 orang, Kelapa Lima sebanyak 274 atau 18%, Kota Raja 11% atau 168 orang, sedangkan Kota Lama dan Alak masing-masing sebesar 16% atau sejumlah 244 orang. Menarik juga melihat persebaran angka-angka ini dari sisi locus oleh sebab lokalisasi Karang Dempel di Alak yang yang sudah ditutup pemerintah Kota Kupang, justru angka HIV/AIDS-nya lebih rendah.

Bertepatan dengan Perayaan Hari AIDS sedunia yang jatuh pada hari Minggu besok, 1 Desember 2019 sekaligus perayaan Minggu pertama Advent, angka-angka di atas harus menjadi tanda awas bagi kehadiran GMIT di Kota Kupang.

Masih ada sejumlah masalah perkotaan tapi saya cukupkan dua contoh ini saja untuk menunjukan kepada kita betapa kota yang berusia 132 tahun ini “masih jauh” dari motto kota “Kasih” yang merupakan akronim dari (Karya, Aman, Sehat, Indah, Harmonis). Akronim itu tentu tidak lepas dari “kasih” sebagai inti ajaran agama Kristen, agama yang dianut mayoritas warga Kota Kupang.

Sengaja saya menguraikan realitas sosial kota ini diawal renungan sebagai pintu masuk untuk kita memahami narasi nyanyian ziarah dalam Mazmur 122 tentang “Doa bagi Kesejahteraan Kota Yerusalem”.

Mengapa Yerusalem menjadi kota paling penting dalam sejarah peradaban dan sejarah keselamatan dunia. Saya mencatat sedikitnya 24 kitab dari 66 kitab Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB) dimulai dari Yosua sampai Wahyu menyebut nama Yerusalem. Bahkan akar kata “syalem” sudah muncul di Kitab Kejadian. Sedangkan Kitab Wahyu sebagai kitab terakhir dalam PB, menyebut Yerusalem sebagai Sorga tempat Allah bertakta dan tujuan akhir dari semua orang yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat.

Apa daya tarik kota yang kering kerontang itu sehingga ribuan bahkan jutaan manusia dari berbagai latar belakang agama dari seluruh penjuru dunia tak tanggung-tanggung menghabiskan puluhan bahkan ratusan juta rupiah (dari Indonesia) hanya dalam seminggu-dua minggu untuk melihat langsung kota tua itu? Dan mengapa pula pemazmur 122 mengajak umat termasuk kita untuk mendoakan kesejahteraannya? Mengapa Yerusalem menjadi kota paling penting terutama bagi umat Israel pada masa Perjanjian Lama hingga era digital hari ini?

Ruas Jalan Veteran-Kelapa Lima

Dua atau tiga minggu lalu saya mendapat undangan salah satu tetangga kami yang mempersiapkan perjalanan ziarah ke Israel. Dan saya juga melihat beberapa teman pendeta yang melayani di Kupang, Alor dan Rote juga berziarah ke Israel memposting foto-foto yang menunjukan pemandangan indah di Kota Suci itu. Mengapa daya “magis” kota ini seakan tidak pernah pudar sepanjang segala abad?

PL memberi paling kurang 3 fungsi utama kota.

Pertama, perlindungan/keamanan (dalam kaitan dengan fungsi ini ada istilah “kota banteng”, “kota berkubu”, “tembok kota”, “pintu gerbang kota”, dsb-nya; Kedua, pusat perdagangan/ekonomi; Dan ketiga, pusat spiritual.

Ketiga fungsi utama kota di masa kuno tersebut masih bisa kita lihat pengaruhnya berabad-abad kemudian di seluruh dunia termasuk di Kota Kupang pada abad ke-17 atau sekitar tahun 1650, dengan dibangunnya segi tiga kota: Benteng Concordia (keamanan), Pelabuhan/Jembatan Selam (perdagangan) dan Gereja (Kota) Kupang (spiritual).

Dua fungsi yang pertama tidak dibahas di sini. Kami hanya memberi sedikit refleksi untuk fungsi yang ketiga yakni pusat spiritual.

Yerusalem adalah kota spiritual. Bait Allah sebagai pusat peribadahan yang didirikan di Kota Yerusalem bukan hanya sekadar gedung/bangunan fisik melainkan tanda kehadiran Tuhan Allah. Ia bukan hanya menjadi pusat ritus-ritus keagamaan digelar tetapi pusat spiritualitas yang ditandai dengan hadirnya perdamaian, keadilan, cinta kasih dan kesejahteraan. Setiap tahun pada bulan-bulan tertentu ribuan umat Yahudi datang berziarah merayakan relasi persekutuan yang mengingatkan mereka pada perlindungan dan kasih Allah kepada mereka dan kepada nenek moyang mereka sepanjang segala abad.

Di kota Yerusalem, umat Israel datang menyatakan syukur kepada Allah, (ay. 4) dan mencari keadilan dan kebaikan (ay. 9). Dan karena mengemban fungsi atau peran yang sedemikian itulah maka Pemazmur mengajak teman dan para sahabatnya untuk senantiasa mencintai dan mendoakan kesejahteraan kota Yerusalem. Upaya merawat hal-hal yang demikian sangat penting dan senantiasa diperingatkan oleh para nabi PL hingga zaman Yohanes Pembaptis oleh karena ketiadaan keadilan, perdamaian, kasih dan kesejahteraan, akan mendatangkan murka Allah.

Di masa remajanya, Yesus sangat terpikat dengan suasana belajar di kota spiritual ini. Lukas mengisahkan bahwa Ia sampai lupa pulang bahkan lupa juga pada kedua orang tuanya yang selama 3 hari cemas mencarinya. Namun tatkala menginjak usia 30-an tahun, Ia kembali ke kota itu dan mendapati kenyataan yang sangat menyakitkan. Kota yang dulu Ia kenal sebagai pusat ilmu pengetahuan dan menjadi rumah doa bagi bangsa-bangsa, tidak lebih dari sarang penyamun. Di mata Yesus spitualitas kota itu telah mati. Yesus, karena itu, menangisi kota itu sebelum kematian-Nya. Padahal Yesus tidak pernah menangis selain pada peristiwa kematian Lazarus di Betania.

GMIT Paulus Kupang

Para ahli Alkitab mengklaim bahwa ketiga Injil sinoptik adalah Injil perkotaan – Injil Markus ditulis di kota Roma, Injil Matius di Kota Antiokhia Syria atau di salah satu kota Fenisia-Suriah Selatan, dan Injil Lukas juga di tulis di Antiokhia Suriah atau salah satu dari kota-kota di Asia Kecil. Bahkan kota-kota kekaisaran Romawi kemudian menjadi pusat misi Kristen dalam strategi pelayanan Rasul Paulus.

Bukankah sejarah penyebaran agama Kristen Protestan di NTT juga dimulai dari Kota Kupang? Di kota ini Tuhan menanam kita dan Gereja Masehi Injili di Timor untuk bersaksi dan melayani sejak abad ke-17 lalu. Kota Kupang tentu bukan Yerusalem, tapi jangan lupa sekurang-kurangnya 60% warga kota ini adalah warga GMIT. Dengan jumlah mayoritas yang demikian maka sebenarnya Kota Kupang adalah kotanya warga GMIT. Baik buruknya kota ini, ikut ditentukan oleh sejauh mana peran GMIT di kota ini. Rata-rata 1-2 kilometer, berdiri 1 atau 2 bangunan gereja GMIT bernilai miliaran rupiah. Itu hal yang baik. Tetapi sejauhmana kehadiran GMIT memberi pengaruh positif bagi pertumbuhan spritualitas umat, baik yang tinggal di kota ini maupun mereka yang sekadar berkunjung? Dan apakah mobilitas warga yang datang ke Kota Kupang turut merasakan daya pikat spiritualitas kota ini atau hanya untuk urusan ekonomi semata? Atau jangan-jangan mereka hanya datang untuk menitipkan dan membawa pulang virus penyakit mematikan?

Kantor Walikota Kupang

Dua contoh yang kami sebut diawal renungan ini yakni, predikat kota paling kotor dan kota yang nyaris masuk dalam zona merah penyakit HIV/AIDS yang mana pengidapnya hari ini mencapai 1.520 orang yang terdata, patut menjadi peringatan bagi kehadiran GMIT di kota ini untuk menatalayani lebih sungguh-sungguh. Belajar dari 3 fungsi kota yang tadi disebut, yakni fungsi perlindungan atau keamanan, ekonomi dan spiritual, rasanya pekerjaan rumah bagi GMIT hari ini dan seterusnya di kota ini belumlah cukup dengan berdoa di mimbar-mimbar gereja.

Philip Sheldrake dalam bukunya “The Spiritual City: Theology, Sprituality, and the Urban”, mengatakan kota memiliki peran penting dalam membentuk semangat manusia untuk mengupayakan kebaikan atau untuk penyakit. Peran ini mestinya menjadi salah satu tugas utama jemaat-jemaat GMIT di Kota Kupang. Di tengah semangat pemerintah Kota Kupang membenahi wajah kota secara fisik maka menjadi tugas gereja sebagai mitra atau kawan sekerja pemerintah untuk memikirkan dan membangun spiritualitas warga kota baik menyangkut hospitalitas/keramahtamahan, pelayanan dasar publik, kebersihan, dll. Sebab kalau tidak, gereja dan kota ini akan menjadi gereja dan kota yang sakit.

Bukankah sampai hari ini, Pemerintah Kota Kupang, – juga Kabupaten Rote Ndao dan Kabupaten Alor – kabarnya menganggarkan ratusan juta rupiah per tahun untuk para pendeta dari berbagai denominasi gereja berziarah ke Israel? Perjalanan ziarah untuk melihat peradaban spiritualitas di Israel atau Kota Yerusalem yang dibiayai oleh uang rakyat mungkin tidak salah, tapi mestinya kota ini juga memiliki spiritualitas lokal yang perlu digali dan dirawat sehingga menjadi daya tarik, identitas, ikon dan visi bagi kota Kasih ini. Dan itu bukan hanya urusan pemerintah kota tapi juga tugas gereja, suka atau tidak suka. Amin. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *