HUT Kembar: 100 Tahun Kekristenan dan Sekolah di Latuna-Pantar

Gedung gereja Jemaat Imanuel Latuna

Latuna-Pantar, www.sinodegmit.or.id, Pekan lalu Jemaat Imanuel Latuna, salah satu jemaat tertua di Pulau Pantar-Alor merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-100. Perayaan ini juga sekaligus memperingati satu abad berdirinya Sekolah Dasar GMIT Kalondama 1.

Saya mendapat kesempatan mendampingi Ketua Majelis Sinode (MS) GMIT, Pdt. Mery Kolimon, menghadiri perayaan tersebut. Kami terbang dari bandara Eltari Kupang pukul 06.50 pagi, Rabu, (22/6), dengan pesawat Dimonim Air yang disewa oleh panitia.

Wakil Gubernur NTT, Drs. Yosef Nae Soi, Staf Ahli Gubernur NTT, Dr. Imanuel Blegur, Kadis Pariwisata dan Ekonomi Kretif NTT, Dr. Zeth Sony Libing beserta sejumlah staf turut dalam penerbangan tersebut untuk tujuan yang sama. Pak Ima dan Pak Sony, — sapaan karib kedua pejabat Pemprov NTT ini — adalah putra asli Pantar. Jadi, perjalanan ini sekaligus pulang kampung.  

Kami tiba di bandara Kabir-Pantar pukul 07:50. Panitia menyiapkan acara penyambutan singkat, lalu kami bergegas menuju pelabuhan Kabir. Di sana sudah menunggu dua buah speed boat yang mengantar kami menuju pelabuhan Baranusa. Baranusa merupakan ibukota kecamatan Pantar Barat. Penduduk wilayah ini didominasi warga Muslim.

Mesjid Raya Baranusa

Turun di pelabuhan, rombongan diterima secara adat di kediaman sesepuh Baranusa, Being Koli Hobol. Beliau keturunan bangsawan. Rumahnya berjarak sekitar 100 meter dari pelabuhan. Di depan berdiri masjid raya Baranusa yang sangat megah.

Kami melanjutkan perjalanan dengan mobil. Iring-iringan kendaraan panitia, memandu kami menuju lokasi perayaan yang berjarak kira-kira 5 kilometer. Kami tiba kurang lebih 30 menit setelah melintasi jalanan berbatu-batu dan berdebu. Ratusan anggota jemaat berbusana adat, tua muda dan anak-anak telah menunggu. Mereka membentuk pagar betis sepanjang kurang lebih 100 meter dari gedung gereja. Tarian dan musik drum band menderu diiringi lagu-lagu gereja yang dimainkan dengan apik oleh siswa-siswa SD GMIT Kalondama 1.

“Ini drum band sumbangan dari Kantor Sinode GMIT beberapa tahun lalu,” bisik salah satu guru kepada saya, ketika meminta anak-anak berpose untuk foto bersama.

Usai acara penyambutan kami bersiap untuk mengikuti kebaktian syukur dan penahbisan gedung gereja. Kebaktian didahului dengan pembukaan selubung papan nama gereja dan penandatanganan prasasti oleh Ketua MS GMIT dan Wakil Gubernur NTT. Lalu, dilanjutkan dengan sambutan singkat Wakil Gubernur, pengguntingan pita, dan penyerahan kunci dari Ketua Majelis Jemaat, Pdt. Resa Anita Kote, S.Th, kepada Koster Marthen Amu.

Penandatanganan prasasti

Lantaran tugas lain yang mendesak, sehabis menyampaikan sambutan, Wakil Gubernur langsung kembali ke bandara Kabir.

Kebaktian berlangsung pada pukul 10.00, dipimpin secara bergantian oleh Pdt. Saneb Blegur, Pdt. Rambu Yalla-Waang dan pengkhotbah Pdt. Marthen Lakalet.

Saat menyampaikan suara gembala, Ketua MS GMIT mengapresiasi upaya cerdas panitia dan seluruh anggota jemaat yang menerbitkan buku sejarah 100 tahun Injil masuk Latuna. Buku setebal 207 halaman ini berisi catatan sejarah tumbuh kembangnya kekristenan dan pendidikan di kampung Latuna yang dulu disebut Kuliggang.

Buku ini mencatat bahwa awal mula penyebarluasan kekristenan di Pulau Pantar tak lepas dari misi serupa di Pulau Alor yang dimulai pada tahun 1901. Peristiwa ini ditandai dengan baptisan pertama pada 22 Agustus 1901 oleh Pendeta Niks – dari Kupang. Jadi, dibanding dengan kekristenan di Pulau Rote (1729), Alor tertinggal hampir 200 tahun.

Perlu diketahui bahwa pendeta-pendeta Belanda yang melayani di Pulau Alor adalah yang sama melayani di Pantar. Mereka antara lain: Pdt. H.J. Ten Kate, Pdt. N. Binkhuijzen, Pdt. A. A. van Dalen, Pdt. W. Akkerman, Pdt. A. A Vermeulen dan Pdt. Boekan Kruger. Selain itu ada pula Pdt. Willem Back, Pdt. van der Staay dan Pdt. R.W.F. Kniftenbelt. Ketiganya tidak menetap di Alor namun pernah melakukan kunjungan dan membaptis banyak warga di Alor dan Pantar.

Yang juga tidak kalah penting dalam catatan sejarah kekristenan di Pantar adalah pendirian sekolah di Kabir (1917), Tamalabang (…?), Blangmerang (1910), dan Latuna (1926). Sekolah-sekolah ini setelah dibuka oleh para pendeta Belanda, dilanjutkan kepemimpinannya oleh guru-guru dari Rote, Sabu dan Ambon. Mereka antara lain: J. J. Suih, M. Dethan, N. M. Noack, B. Anakai, Pili Robo, dan L. J. Hehanusa, dan lain-lain. Tumbuh kembangnya sekolah-sekolah ini membuka jalan bagi perluasan agama Kristen Protestan di Pantar. Tanpa kemajuan pendidikan melalui sekolah-sekolah rakyat itu, sulit sekali membayangkan perkembangan kekristenan di Pantar dikemudian hari. Oleh sebab pada masa itu, agama Islam telah lama ada dan berkembang pesat di pesisir-pesisir Pulau Pantar. Apalagi, dua kerajaan di Pantar, yakni Baranusa dan Pantar Matahari Naik, rajanya beragama Islam.

Pendeta-pendeta se-klasis Pantar Barat

Pdt. W. Akkerman, dalam suratnya yang diterbitkan Majalah Zending Belanda, Timor Bode, Maret 1926, menulis, “… Islam sudah masuk jauh dalam kampung-kampung di sini [Latuna], terutama karena pergaulan dengan penduduk di daerah pantai. Mereka juga datang sampai ke gunung-gunung untuk berdagang dengan penduduk. Penduduk di gunung-gunung mau menjadi orang sarani, tetapi raja mereka seorang pengikut Muhammad dan mereka terus dipengaruhi oleh raja. …” (lihat Alor Punya Cerita. ed. Pdt. E.I Nuban Timo, hal. 312).

Mengingat sejarah panjang perjalanan pendidikan dan penginjilan tersebut, Ketua MS GMIT juga mengingatkan jemaat agar sungguh-sungguh memberi perhatian pada sekolah-sekolah GMIT khususnya SD GMIT Kalondama 1.

“Seringkali kita merayakan 100 tahun Injil masuk ke satu daerah, kita lupa bahwa itu dimulai dengan perkembangan sekolah. Kami mohon jemaat-jemaat di klasis Pantar Barat, serta alumni SD GMIT Kalondama memberi perhatian serius pada sekolah ini, dan tidak membiarkan guru-guru berjuang sendiri.”

Pdt. Mery juga mengajak jemaat untuk belajar dari warisan iman para misionaris, guru-guru sekolah, guru-guru Injil, dan para pendeta yang terus menabur benih Injil sejak awal abad-20 hingga sekarang. Para hamba yang diutus dan berasal dari beragam suku bangsa dan bahasa tersebut kata Pdt. Mery menjadi penanda bahwa Tuhan menghendaki jemaat-jemaat di Pantar agar terus membangun dan memperkuat relasi persekutuan sebagai keluarga Allah.

“Jemaat ini telah dibentuk dari keragaman karunia Tuhan, silih berganti. Tuhan memanggil kita dari latar belakang yang berbeda untuk menjadi keluarga Allah sehingga kita tidak boleh terjebak pada gereja orang Alor saja,” pesan Pdt. Mery.

Seusai seluruh rangkaian ibadah syukur HUT dan penahbisan, saya mengajak Aris Lawingbara, S.Th — yang sedang membantu pelayanan Pdt. Yumince Pinat di Jemaat Abarim Allung, — mengunjungi SD GMIT Kalondama 1 yang berdiri sejak 15 Januari 1926 tersebut. Letaknya di belakang gedung gereja Imanuel Latuna.

Kondisi sekolah ini sangat memprihatinkan. Atap berlubang. Plafon di tiap ruangan sebagian bolong. Lantai rusak, berdebu dan kotor. Kursi dan meja belajar siswa entah sudah berapa banyak tahun tak ganti-ganti. Toiletnya pun sangat tidak layak. Lubang klosetnya sudah rusak entah sejak kapan. Bau pesing. Sulit rasanya para guru mendidik anak-anak untuk hidup bersih sementara kondisi gedung sekolah dan toilet amat jauh dari standar sanitasi. Bagaimana pula setiap hari, 136 murid menggunakan dan mengandalkan satu toilet rusak?

Guru Johan Baddu dan Shance Baddu

Mess yang ditempati kepala sekolah Bapak Johan Baddu (56), dan keluarganya pun senasib. Rumah berukuran 7 X 5 meter itu hanya disekat papan tripleks seadanya untuk ruang tamu, dan tiga kamar tidur sempit. Shance Baddu (35), putri beliau yang juga tenaga honor di sekolah ini mengisahkan suka-dukanya dengan rasa haru.

“Kalau bisa naperhatikan kami tenaga honor punya ‘uang sabun’. Biar kami juga bisa berdiri cantik di hadapan murid-murid. Kita tekan anak-anak harus mandi, bersih, rapi, tapi kita guru honor cari ‘uang sabun’ saja susah,” keluhnya.

Menurut Shance, hingga saat ini para tenaga honor hanya mendapat insentif tiap bulan berkisar Rp. 250.000,- hingga Rp. 500.000,-. Itu pun tidak rutin diterima. Tergantung waktu pencairan dana BOS. Namun, ia mengaku, nilai sekecil itu tidak pernah menyurutkan semangat pengabdian mereka di ladang misi pendidikan.

Matahari menuju senja memaksa kami harus berpamitan. Saya berjalan pulang dengan langkah gontai. Potret buram sekolah milik gereja yang didirikan dengan keringat dan air mata satu abad yang lalu itu terus menerus mengusik kepala saya.

Tepat pukul 17.00, Ibu Mery Kolimon, Pak Ima Blegur dan istri Ibu Lina, om Moris dan saya, meninggalkan Latuna kembali ke Kalabahi melewati wilayah Pantar Timur. Ketika melintas di Tamalabang menuju Pelabuhan Bakalang, tampak sebuah perahu motor sedang bongkar muatan. Kami memutuskan menumpang perahu motor ini. Udara dingin menusuk selama perjalanan. Debu semen dan material bangunan lainnya menyatu dengan tubuh kami yang lapar dan lelah. Kami berangkat pukul 21.00 dan baru tiba di Kalabahi pukul 02.00 dini hari. ***  (wanto-menda)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *