Ibadah bersama Ungkapan Keprihatinan dan Solidaritas Bagi Masyarakat Palestina

You don’t have to be Muslim to stand for Gaza. You just need to be human

Majelis Sinode GMIT mengadakan ibadah bersama untuk mendoakan perang yang dialami sesama manusia di Palestina.

Kebaktian dilaksanakan di Gedung kebaktian Jemaat Ebenhaezer Oeba, Klasis Kota Kupang pada Senin, 21 Juli 2014. Sembilan orang pendeta GMIT secara bersama memimpin kebaktian ini yakni Pdt. Judith Nunuhitu-Folabesi, Pdt. Rio Fanggidae, Pdt. Sarlinda Angal-Kisek, Pdt. Doddy Oematan, Pdt. Aleida Salean-Sola, Pdt. Yati Pandie-Malada, Pdt. Salmon Bees, Pdt. Robert Takoy, dan Pdt. Jeki Lauperissa.

Dalam khotbahnya yang terambil dari Lukas 16:19-31, Pdt. Rio Fanggidae menekankan kritik pada sikap netral ketika ada dua pihak yang berkonflik dan satu pihak lebih kuat dari pihak lainnya. Dalam hal ini menurut Pdt. Rio, gereja yang memilih untuk bersikap netral, sangat tidak adil dan tidak fair. Karena itu semestinya gereja berdiri dan menyatakan keberpihaknnya pada yang teraniaya dan bukan sebaliknya menjadi tidak perduli atas nama kenetralan. Sikap netral menempatkan gereja sebagai penonton atas konflik dan penderitaan manusia. Gereja mesti menyatakan keberpihakan pada yang menderita dan dengan keberpihakan dapat menolong tercapainya masyarakat yang lebih adil.

Selanjutnya Pdt. Rio memberi penggambaran kenyataan kehidupan diskriminatif sebagaimana digambarkan dalam kisah Lazarus dan Orang Kaya. Ada dua kelompok manusia yakni kelompok manusia yang berjubah ungu dan kelompok Lazarus yang miskin. Kelompok-kelompok ini sering berjumpa, namun perjumpaan tidak menghasilkan apa-apa, apalagi keberpihakan pada mereka yang menderita. Kenyataan menjadi berbeda ketika berpindah setting cerita ke dunia orang mati. Yang terjadi adalah bertolak belakang. Perbedaan itu mendorong si Orang Kaya untuk menuntut terciptanya struktur masyarakat yang lebih adil. Si orang kaya menuntut pada Lazarus yang sudah mapan untuk memperingatkan sahabat-sahabat si orang kaya. Ini menunjukan bahwa ada seruan dari dunia orang mati untuk perubahan struktur kemasyarakatan. Namun seruan ini tidak mendapatkan jawaban. Mengapa? Karena perubahan perilaku untuk struktur yang adil harus terjadi dalam dunia orang hidup. “Kalau kita menginginkan masyarakat yang adil dan perduli maka itu harus terjadi dalam dunia orang hidup sekarang. Dunia orang mati tidak akan dapat berseru tentang perlunya keadilan. Artinya kita hanya akan dapat melakukan sesuatu untuk merubah struktur hanya pada saat hidup. Orang-orang hiduplah yang mesti dapat melakukan sesuatu yang memungkinkan keperdulian antar manusia terjadi.”

Lebih jauh Pdt. Rio, dalam hubungan dengan tuntutan keprihatinan dan solidaritas bagi Palestina, ia mengatakan, “You don’t have to be Muslim to stand for Gaza. You just need to be human.” Anda tidak perlu menjadi orang muslim untuk mendukung orang Gaza, anda hanya perlu menjadi manusia.

Pdt. Rio mengajak jemaat untuk prihatin terhadap masyarakat di Gaza di mana kekerasan dipertontonkan dan sangat transparan. Korban bergelimpangan karena tindakan kekerasan. Dunia meratap dan semua orang mesti meratap. Sasaran masyarakat sipil adalah bentuk kejahatan kemanusiaan yang dipertontonkan secara terang benderang. “Untuk itu kita tidak boleh mengambil sikap netral. Kita tidak boleh memilih untuk berdiam diri dan harus tegas menyatakan keberpihakan kepada mereka yang menderita, khususnya Palestina.”

Mengakhiri khotbahnya, Pdt. Rio mengatakan, “Anda perlu menjadi manusia. Keberagamaanmu ditentukan dari bagaimana engkau menjadi manusia bagi orang lain dan menjadi sesama bagi mereka. Keberagaamaan tidak boleh membuatmu terperangkap untuk melayani diri sendiri tapi mesti menunjukkan keberpihakan kepada orang-orang yang ada di sekeliling. Dalam posisi sebagai manusia, kita memiliki kepekaan dan penderitaan kepada sesama. You just need to be a human.”

Pada kebaktian ini semua anggota jemaat GMIT yang hadir, secara bersama dalam kebaktian menyalakan lilin keprihatinan sambil 7 orang pendeta secara bergilir berdoa sesuai pokok doa yang telah dibagikan. Beberapa tokoh masyarakat dan tokoh jemaat diberikan kesempatan untuk menyalakan lilin keprihatinan dan menunjukkan bahwa semangat toleransi antar agama dan keperdulian ada di NTT dan khususnya Kupang. Tokoh yang secara khusus menyalakan lilin keprihatinan adalah keterwakilan dari pemerintah Kota Kupang, pemimpin agama Islam, Katolik, Hindu dan Budha, tokoh pemerintah, tokoh pemuda dari masing-masing agama, tokoh pemuda lintas agama, beberapa pimpinan instansi dan keterwakilan dari pers serta para pemimpin Gereja Masehi Injili di Timor yakni Ketua Majelis Sinode dan beberapa Ketua Majelis Klasis.

Menurut Ketua Sinode GMIT, Pdt. Robert St. Litelnoni, S.Th, apa yang terjadi di Palestina adalah kehilangan begitu banyak hal karena perbuatan tentara-tentara Israel. Ia mengajak jemaat dan hadirin yang hadir untuk membayangkan andai 1 bom saja jatuh di Kupang, maka dampaknya akan luar biasa. Sementara hal yang lebih mengerikan terjadi di Palestina. “Itulah yang mendorong Majelis Sinode melakukan ibadah keprihatinan ini. Dan beberapa teman di Palestina meminta saya untuk mendorong jemaat mendoakan mereka.”

Menurut Pdt. Litelnoni, apa yang terjadi di Gaza dipolitisir sebagai perang agama padahal persoalan di sana bukan persoalan agama. “Jumlah orang Kristen di Palestina lebih banyak dibanding jumlah orang Kristen di Israel. Pengetahuan ini penting mengingat hubungan toleransi yang baik yang sudah dibangun di Indonesia, khususnya NTT, supaya jangan sampai terganggu. Masalah Israel dan Palestina adalah masalah politik. Itulah sebabnya MS mengambil prakarsa untuk melakukan ibadah. Ini adalah sikap bukan untuk mengambil posisi netral tapi untuk menunjukkan rasa solidaritas kepada masyarakat Palestina. Apa yang kami lakukan ini karena didorong oleh rasa kemanusiaan. Kami menolak semua cara keji dan kejam dan kejam untuk membunuh sesama manusia dengan alasan apapun. Apa yang dialami oleh saudara di Palestina harus menjadi keprihatinan bersama. Ada banyak tangisan dan air mata, apakah kita dapat memberikan alasan legitimasi untuk mengatakan biarkan mereka mengalaminya sementara kita bangga dengan keberagamaan kita? Tidak. Gereja harus menolak setiap kekerasan yang mendatangkan duka.”

Sebagai pimpinan GMIT, Pdt. Litelnoni, menyuarakan untuk segera menghentikan tindakan-tindakan yang tidak terpuji dan mematikan sesama manusia di tanah Palestina. “Inilah sikap gereja bahwa kalau mau belajar dari kitab suci, mestinya kita menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Kami tidak ingin masuk dalam akar konflik tapi kami ingin menyuarakan bahwa tindakan di Palestina adalah tindakan tidak terpuji dan Allah di dalam Yesus Kristus tidak menginginkan hal itu.”

Mengakhiri pernyataannya, Pdt. Litelnoni menyentil soal penetaapn KPU untuk Presiden dan Wakil Presiden. “Kami menghimbau agar supaya selama proses pemilihan, jikalau ada yang terkotak-kotak karena perbedaan dukungan, kami berharap agar supaya kita dapat menerima hasil ini dengan legowo sambil menjaga ketertiban, kedamaian dan ketentraman di NTT khususnya Kota Kupang.” … Leny

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *