
KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Kita sering mendengar omongan bahwa tidak ada mantan anak, atau mantan saudara, atau mantan orang tua. Intinya semua relasi yang mengacu pada hubungan “darah” (persaudaraan/kekeluargaan) tak mengenal kata “mantan”. Mengapa? Karena darah yang mengalir di antara sanak-saudara atau orang tua dan anak tak mungkin diputuskan atau disangkali.
Namun hubungan persaudaraan yang dilandaskan pada “darah” itu tak selamanya menjamin langgengnya relasi sosial di antara mereka yang bersaudara. Kenyataan menunjukkan bahwa tidak sedikit relasi-relasi persaudaraan mengalami keretakan, kehancuran, bahkan keterputusan total antara satu dengan yang lain. Ada kasus-kasus di mana hubungan persaudaraan sudah sedemikian hancur, seolah mereka tidak pernah saling mengenal. Ada orang tua yang tidak mengakui lagi anaknya, dan sebaliknya, ada pula anak yang tak mau lagi menerima orang tuanya. Ada pula sang kakak menyangkal adiknya, dan sebaliknya, sang adik tak mau mengakui kakaknya. Mereka hidup dalam dendam kesumat satu terhadap yang lain. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pengampunan begitu sulit diwujudkan. Kesalahan-kesalahan kecil sangat mudah dimaafkan dan dilupakan. Tetapi kesalahan-kesalahan besar tidak gampang diterima apa lagi dimaafkan. Mereka yang menyakiti kita sedemikian mendalam, rasanya sulit untuk mengampuninya.
Pertanyaannya, mengapa hubungan-hubungan kekeluargaan/persaudaraan yang begitu intim bisa mengalami kehancuran yang sedemikian parah? Mungkinkah relasi-relasi yang hancur lebur itu dapat dipulihkan? Adakah syarat-syarat bagi pemulihan hubungan yang terputus? Di sinilah pengampunan dituntut. Tetapi bukankah tidak mudah untuk mengampuni? Mengapa sulit bagi kita untuk mengampuni? Mencari pengampunan (oleh pelaku kejahatan) dan memberi pengampunan (oleh korban) dapat terjadi asalkan ada upaya serius untuk itu. Tak ada yang mustahil asalkan hati kita terbuka. Kisah Yakub dan Esau memberi pelajaran bahwa kita mampu mengampuni dan dapat diampuni, sehingga relasi yang rusak dengan saudara/sesama dapat dipulihkan.
Penjelasn Teks
Dari namanya, sudah tersirat jati dirinya. Yakub, berarti penipu atau penjegal. Itu sudah nampak sejak hendak dilahirkan, di mana dikatakan ia memegang tumit Esau, kakaknya (Kej. 25:26), yang oleh sebagian penafsir dipahami sebagai upaya menjegal kakaknya Esau agar ia keluar lebih dahulu. Kejadian 27 memberi kesaksian bahwa Yakub menipu ayah dan kakaknya dengan sangat licik. Pertama, Yakub behasil membeli hak kesulungan kakaknya Esau seharga semangkuk kacang merah. Kedua, dengan cara yang licik, Yakub telah menyerobot berkat yang seharusnya menjadi hak kakaknya, Esau. Tindakan curang Yakub ini membuat Esau marah dan berniat membunuh adiknya itu.
Mengetahui rencana Esau, Yakub pun melarikan diri ke Padan-Aram, rumah kakeknya, Betuel. Di sana Yakub bekerja pada pamannya, Laban selama 20 tahun. Ia menikahi kedua anak Laban, Lea dan Rahel, mendapatkan anak-anak, para budak, dan ternak yang sangat banyak. Tetapi akhirnya Yakub ingin kembali. Namun Yakub sadar bahwa ia pernah menipu kakaknya, Esau, sehingga mungkin saja Esau masih menaruh dendam dan akan membunuhnya. Rasa takut menghantui Yakub (Ps.32).
Dalam ketakutan dan rasa bersalah itu Yakub berjuang mendapatkan pengampunan dari kakaknya. Yakub ingin diampuni supaya dapat kembali hidup berdampingan dangan sang kakak. Untuk itulah Yakub melakukan beberapa hal. Pertama, Yakub menyesali kesalahannya terhadap Esau, dan oleh karena itu ia mau mencari Esau untuk memohon belas kasih kakaknya itu (Ps.32:3-5). Kedua, Yakub berdoa. Ia ingin membereskan dosanya dengan Allah. Di hadapan Allah, Yakub mengakui ketidaklayakannya karena keberdosaannya dan memohon belas kasih Allah untuk melepaskannya dari amarah dan dendam Esau (Ps. 32:9-12). Ketiga, sebagai tebusan atas penipuan dan pencurian terhadap Esau, Yakub rela berkorban dengan mempersembahkan banyak hartanya bagi Esau (Ps. 32:13-15). Yakub kini telah bertobat, berubah dari dirinya yang ambisius dan seraka, penipu dan curang, menjadi orang yang dermawan dan rela berkorban. Keempat, bacaan di atas tadi bercerita bahwa Yakub merendahkan diri, dan bersujud tujuh kali ketika berhadapan dengan Esau guna memohon maaf (Ps.33:3). Sujud sampai ke tanah adalah sikap merendahkan diri, sambil menaruh homat pada Esau (orang yang dianggap lebih tinggi) dan memohon belas kasihnya.
Upaya Yakub agar diampuni oleh Esau akhirnya berhasil. Esau pun siap mengampuni adiknya itu. Doa dan tindakan penyesalan (pertobatan) Yakub membuahkan hasil. Allah bertindak, sehingga jauh sebelum bertemu Yakub, Esau sudah mengampuni Yakub (ay. 4, 8). Esau telah melepaskan segala amarah dan dendam terhadap adiknya, dan siap mengasihinya kembali. Tindakan mengampuni oleh Esau terbaca secara eksplisit dalam ayat 4: Tetapi Esau berlari mendapatkan dia (Yakub), didekapnya dia, dipeluk lehernya dan diciumnya dia, lalu bertangis-tangislah mereka (ay.4).
Tindakan Esau mengandung makna yang dalam dari kata pengampunan itu. Pertama, dikatakan “Esau berlari mendapatkan Yakub”. Tindakan ini mengandung arti Esau telah melupakan/melepaskan masa lalu yang pahit, yaitu sakit hatinya terhadap adiknya, dan siap menjemput masa depan yang baru bersama adiknya itu. Dengan kata lain, mengampuni berarti merelakan apa yang terjadi kemarin, meninggalkan segala kepahitan, dan siap melangkah ke depan dengan sikap yang baru, dengan hati yang bersih, penuh pengharapan tanpa beban/dendam. Tanpa kemampuan untuk merelakan/melepaskan kepahitan, sulit untuk mengampuni.
Kedua, Esau mendekap adiknya itu. Dekap, berarti menerima orang lain dengan segenap jiwa dan raga. Dekapan adalah tanda penerimaan terhadap orang lain (yang jauh terpisah) ke dalam diri kita sepenuhnya. Mengampuni berarti menerima kembali orang yang pernah menyakiti kita dengan segenap hati.
Ketiga, Esau memeluk dan mencium adiknya. Pelukan adalah wujud kehangatan yang diciptakan diantara dua orang/lebih. Memeluk Esau, berarti hubungan mereka yang dingin selama 20 tahun dipulihkan dan dihidupkan kembali dengan energi yang baru. Maka, mengampuni berarti mau menghangatkan kembali hubungan yang dingin menjadi hidup kembali. Ciuman adalah wujud cinta kasih. Mencium Yakub berarti kebencian yang pernah menguasai Esau mau digantikan dengan cinta kasih. Maka mengampuni tidak sekedar melupakan kepahitan, menerima kembali orang lain, tetapi lebih jauh, siap mengasihinya dengan kasih yang tulus dan total.
Keempat, dikatakan keduanya bertangis-tangisan. Menangis bisa menjadi tanda kesedihan, tetapi juga tanda sukacita. Mungkin saja mereka sedih, karena pernah saling menyakiti, lama berpisah, tetapi segera diganti dengan sukacita, karena relasi mereka kembali pulih, saling penerimaan terwujud, persaudaraan mereka terajut kembali, dan saling mengasihi hidup lagi diantara mereka. Maka, mengampuni berarti mengalami kembali cinta kasih dalam hati sehingga jiwa menjadi bahagia dan bersukacita.
Kelima, bukti pengampunan total terjadi adalah kesediaan untuk berjalan bersama, melangkah bersama, siap hidup berdampingan dalam damai. Esau mengajak Yakub dalam ay. 12: baiklah kita berangkat berjalan terus, aku akan menyertai engkau. Itu artinya, mengampuni mesti tiba pada komitmen untuk hidup dalam damai dengan orang yang pernah menyakiti, bahkan rela bekerja sama dengannya.
Tindakan Esau membuat mata Yakub terbuka untuk melihat lebih jauh. Atas pengampunan yang diterimanya, ia melihat Allah hadir dalam diri Esau (ay. 10). Yakub tiba pada kesimpulan bahwa ada intervensi Allah sehingga pengampunan terlaksana. Allah hadir dalam diri kakaknya sehingga mau mengampuni, begitupun dalam dirinya sehingga ada penyesalan dan pertobatan. Oleh karena itu, Yakub mensyukuri kebaikan Allah, dan sebagai wujudnya, ia membangun mezbah bagi Allah di Sikhem. Mezbah dibangun agar persekutuan dengan Allah terus dipelihara, dan seluruh kehidupan dipersembahkan Tuhan. Sebagai orang percaya, Allah melalui Yesus Kristus telah mengorbankan diri-Nya untuk mengampuni dan menyelamatkan kita, maka sudah semstinya hidup kita dipersembahkan untuk memuliakan nama-Nya.
Penutup
Bacaan ini memberi sejumlah pelajaran. Pertama, perlu disadari bahwa keserakaan, baik seraka akan materi dan kekuasaan dapat merusak hubungan persaudaraan/persahabatan kita dengan saudara/sesama. Hubungan orang tua dan anak, atau kaka dan adik, antara sesama pelayan, sesama jemaat, teman kerja di kantor, bisa rusak karena seraka. Oleh karena itu, penting untuk belajar mencukupkan diri, berpuas diri, tidak mengingini kepunyaan saudara/sesama, menjauhkan diri dari iri hati dan kecemburuan, agar tidak terjatuh dalam dosa. Sebab bila keserakaan dipelihara, itu dapat menyebabkan seseorang menjadi tidak jujur, manipulatif, penuh kelicikan bahkan menghalalkan segala cara untuk memenuhi keinginan dagingnya itu. Keluarga-keluarga Kristen terpanggil untuk melatih diri berlaku jujur, baik, benar, adil, tulus, apa adanya, menjauhi diri dari keserakaan, kecurangan, ketidakjujuran, dan keinginan daging yang berlebihan. Ini tidak mudah sebab keluarga-keluarga Kristen hidup di tengah-tengah dunia yang dikuasai oleh cinta uang, cinta harta, ketidakjujuran, kelicikan, korupsi, mencuri, dst sehingga dapat terpengaruh.
Kedua, bila kita menyakiti/merugikan suadara/sesama, segeralah menyesali kesalahan, dan memohon pengampunannya. Artinya, agar kita diampuni, kita mesti rendah hati dan berinisiatif untuk mencari pengampunan. Kalau bapak buat salah terhadap mama, bapak mesti mengakui dan mau memohon maaf. Ketiga, kita adalah makhluk fallible man, yakni makhluk yang dapat jatuh dalam dosa/kesalahan, bahkan kejahatan. Tetapi ini tidak boleh menjadi alasan untuk dengan sengaja terus melakukan kesalahan dan kejahatan. Lebih jauh, karena kita pun berpotensi menyakiti sesama, maka kita pun mesti rela mengampuni mereka yang menyakiti kita. Artinya siapapun yang pernah menyakiti kita, sebesar apapun kejahatannya, kita mesti mengampuninya. Kita mesti siap melepaskan segala kebencian, kemarahan, dendam, dan segala kepahitan. Sebab Pengampunan membebaskan kita dan orang yang diampuni dari kepahitan yang melilit diri kita. Ketika kita mengampuni, kita pun dibebaskan. Jiwa kita menjadi merdeka.
Tidak mudah mengampuni, tetapi bisa dilakukan, bila Allah bekerja dalam hati kita. Kita tidak mungkin mampu mengampuni, kalau roh kudus tidak bekerja. Maka sesungguhnya, kaau kita belum mampu mengampuni, itu bukti bahwa Allah belum hadir dalam hati kita. Selama ego masih menguasai hati kita, kita tidak sanggup mengampuni. Kisah nyata berikut dapat memberi kesaksian. Max Ellerbusch, warga Amerika bersama isterinya Grace, memiliki 4 orang anak: Diane, Michael, Craig, dan Ruth Carol. Menjelang natal di tahun 1960, anak mereka, Craig, usia 5 tahun, ditabrak oleh seorang remaja berusia 15 tahun bernama George Williams, dan meninggal dunia. Max dan Grace sangat frustasi, marah dan benci dengan remaja itu, bahkan mereka kehilangan iman. Mereka menuntut pengadilan agar George diberi hukuman berat. George akhirnya dipenjara.
Namun beberapa hari sebelum natal, Max berdoa, meminta petunjuk Tuhan atas apa yang terjadi. Tiba-tiba Max melepaskan satu tarikan nafas panjang, dan merasa legah. Hilanglah segala rasa sakit hati, dendam, kemarahannya, dan digantikan dengan perasaan cinta. Max merasakan kehadiran Kristus dalam hati sehingga perasaannya lega dan mampu mengampuni. Max menghampiri isterinya dan berkata, “Craig tidak membutuhkan kita lagi, tetapi ada orang lain yang butuh kita, yakni George. Ia tidak mendapatkan hadiah natal di rumah tahanan anak-anak kecuali kalau kita mengirimkannya”. Grace pun mengiyakan pernyataan Max. Keduanya bergegas ke rumah tahanan anak, dan meminta agar George dibebaskan.
George telah dimaafkan, bahkan diminta oleh Max dan Grace untuk menjadikan rumah mereka sebagai rumah keduanya. George kembali bersekolah, dan sepulang sekolah ia singgah di rumah Max dan Grace, makan bersama dengan keluarga ini, dan menjadi kakak laki-laki bagi saudara/i Craig. Inilah bukti pengampunan ketika Kristus hadir dalam hati keluarga (kisah ini diambil dari buku The Best of Guideposts Christmas, saya ceritakan juga dalam renungan untuk HUT GMIT 31 Oktober 2020 yang dikirim Majelis Sinode). Itu berarti, tidak mustahil bagi kita untuk mengampuni saudara, sahabat, teman atau siapapun yang menyakiti kita. Seberapa pun kesalahan seseorang pada kita, kalau hati kita terbuka dan roh bekerja, kita mampu mengampuninya. Ingat bahwa dalam Doa Bapa kami, Yesus mengajarkan, ampunilah kami seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami. Itu berarti sebelum kita memohon pengampunan Tuhan, kita sudah mesti lebih dahulu mengampuni sesama.
Pengampunan mesti dimulai dari dalam keluarga, karena anggota keluarga adalah bagian yang tak terpisahkan dari kita, lalu kita praktekan bagi sesama di luar sana. Pikiran Paus Fransiskus ini sangat berguna. Ia menulis:
Keluarga tempat pengampunan
Tak ada keluarga yang sempurna. Kita tidak punya orang tua yang sempurna. Kita tidak menikah dengan orang yang sempurna atau punya anak yang sempurna. Kita saling mengeluh tentang satu dan lainnya. Kita saling membuat kecewa. Maka penting sekali untuk mengampuni.
Pengampunan itu sangat penting bagi kesehatan emosi, ketahanan jiwa, dan spiritualitas kita. Tanpa pengampunan, keluarga akan menjadi arena konflik dan tempat bagi semua hati yang terluka. Tanpa pengampunan, keluarga akan sakit. Pengampunan adalah pelindung jiwa, pembersih pikiran dan pembebasan hati.
Siapa pun yang tidak mengampuni, tidak akan mendapatkan kedamaian jiwa atau pun bisa bersatu dengan Tuhan. Rasa sakit/luka adalah racun yang sangat berbahaya dan bisa membunuh. Mempertahankan rasa sakit di hati adalah tindakan penghancuran diri.
Pengampunan adalah sebuah pembersihan diri. Siapa pun yang tidak mengampuni maka baik secara fisik, emosi, dan spiritual ia sakit. Itu sebabnya keluarga haruslah menjadi tempat kehidupan, bukan kematian; wilayah untuk pengobatan, dan bukan penyakit; arena pengampunan dan bukan rasa bersalah.
Pengampunan itu membawa kebahagiaan di mana hati cemas yang membuat sedih, disembuhkan karena kekuatiran adalah sumber penyakit.
Selamat mencari pengampunan dari Allah dan sesama ketika kita bersalah, dan belajarlah memberi pengampunan bila kita disakiti, agar kita dimerdekakan. Tuhan menolong kita. Amin. ***
*Khotbah Minggu, 18 Oktober 2020