KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Baru-baru ini dunia internasional dikejutkan oleh aksi seorang biarawati Khatolik di Myanmar. Sebagaimana diketahui bahwa beberapa hari sebelumnya Polisi menembaki para demostran yang menentang kudeta Militer Myanmar. Sudah puluhan warga meninggal dan ratusan lainnya terluka akibat kekerasan Junta Militer Myanmar. Menghadapi kekerasan aparat keamanan, Biarawati itu, yang bernama Suster Ann Rosa Nu Tawng, berlutut di depan Angkatan Bersenjata dan memohon mereka untuk tidak menembaki para pengunjuk rasa. Sang suster tanpa rasa takut menghampiri dan memohon belaskasihan pasukan militer agar tidak melakukan kekerasan. Ia bahkan rela ditembaki asalkan aparat keamanan tidak lagi bertindak kasar terhadap demonstran yang tak bersenjata itu. Apa yang dilakukan suster Ann merupakan contoh dari apa yang diajarkan Yesus. Bagi Yesus, dalam menghadapi kekerasan, tidak perlu menempuh kekerasan.
Penjelasan Teks
Kisah penangkapan Yesus berlangsung di taman Getsemani di mana Yesus baru selesai bergumul dengan jalan salib yang hendak dijalani-Nya. Peristiwa penangkapan itu sendiri merupakan kejahatan luar biasa yang dialami Yesus. Pertama, Yesus tidak bersalah apapun sehingga tidak pantas ditangkap seperti seorang penyamun/penjahat (band.ay.55). Injil-injil mencatat bahwa persekusi yang dialami Yesus bertolak dari ketidaksukaan, kebencian, dendam, kecemburuan, iri hati dari para imam dan ahli-ahli taurat terhadap Yesus. Dengan kata lain, Yesus bukan penjahat, melainkan korban kejahatan akibat kebencian dan iri hati terhadap-Nya yang berujung pada upaya penangkapan terhadap-Nya.
Kedua, peristiwa penangkapan Yesus didahului sebuah tindakan pengkhianatan dari orang dekat Yesus sendiri. Yudas, murid Yesus, yang menjadi bendahara itu mengkhianati Yesus. Bendahara adalah orang kepercayaan. Namun orang kepercayaan ini justeru menjual nyawa gurunya itu hanya dengan tiga puluh uang perak kepada imam-imam kepala (Mat. 26:16). Di hadapan Yesus, Yudas berpura-pura manis dengan memberi salam kepada Yesus sebagai guru-Nya dan mencium-Nya. Tindakan Yudas menunjukkan bahwa kadang-kadang kejahatan dilakukan dengan cara yang manis dan penuh kepura-puraan.
Ketiga, peristiwa penangkapan itu dilakukan dengan kekerasan. Diceritakan bahwa pasukan yang hendak menangkap Yesus datang dengan pedang dan pentung. Ini menunjukkan bahwa kejahatan yang telah berlangsung disertai perlengkapan alat kekerasan yang sangat membahayakan.
Bagaimana sikap Yesus dalam menghadapi kejahatan tersebut? Pertama, injil-injil mencatat bahwa walau pun Yesus dibenci, tidak disukai, dicemburui, namun Ia tidak balas membenci dan membalas kejahatan mereka. Kedua, bacaan tadi memperlihatkan bahwa walaupun Yudas mengkhianati Yesus, namun Yesus tetap menunjukkan keramahan-Nya pada Yudas dengan menyapanya sebagai teman. Pengkhianatan dibalas dengan kasih persahabatan. Ciuman pengkhianatan Yudas dibalas dengan sapaan kasih penuh persahabatan.
Ketiga, Yesus melawan kekerasan itu tidak dengan kekerasan, tetapi dengan cara-cara damai. Bacaan tadi mengisahkan bahwa ketika rombongan itu hendak menangkap Yesus, salah satu murid-Nya, menghunus pedangnya dan menetakkannya kepada hamba imam Besar sehingga putus telinganya. Yohanes mencatat bahwa murid itu adalah Petrus (Yoh.18:10). Petrus ingin menghadapi kekerasan dengan kekerasan pula. Namun itu tidak dikehendaki Yesus. Itulah sebabnya ketika Petrus menggunakan kekerasan, Yesus memintanya untuk menyarungkan kembali pedangnya. Yesus menegaskan: barangsiapa menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang. Yesus mengatakan kepada para murid-Nya, bahwa kalau Ia mau, Ia akan meminta kepada sang Bapa untuk mengirim pasukan malaikat untuk melindungi-Nya.
Kisah ini mengandung sejumlah makna. Pertama, kejahatan-kejahatan besar lazimnya diawali dari hal-hal kecil: memendam rasa tidak suka pada seseorang, membencinya, iri hati pada orang lain. Perasaan-perasaan negatif ini bila terus dipelihara, maka bisa berakibat persekusi terhadap seseorang sebagaimana dialami Yesus. Maka penting untuk membuang segala bentuk perasaan dan pikiran yang buruk terhadap sesama sebelum membuahkan kejahatan besar. Kedua, pengkhianatan seringkali tidak datang dari orang jauh, atau musuh, tetapi justeru datang dari orang dekat, sahabat, bahkan saudara. Pengkhianatan bisa berupa saling menjual, menjelekkan, menjatuhkan, menghancurkan, merusak nama baik seseorang. Yesus mengalaminya, dan menderita akibat pengkhianatan itu. Pengalaman Yesus juga bisa dialami oleh para pengikut-Nya. Dalam konteks gereja mula-mula, orang Kristen dimusuhi, bahkan oleh sanak saudara sendiri. Mereka dikhianati oleh sanak saudara sendiri karena dianggap meninggalkan agama Yahudi, sehingga mereka dilaporkan kepada penguasa Romawi agar ditangkap dan dianiaya.
Ketiga, dalam menghadapi pengkhianatan maupun kejahatan, orang percaya mesti tetap menempuh cara-cara damai. Kejahatan tidak boleh dilawan dengan kejahatan. Betapa pun Yesus dikhianati, bahkan didatangi dengan pedang, Ia tetap menyapa Yudas sebagai sahabat. Yesus memilih cara-cara damai dalam menghadapi kekerasan. Sikap Yesus memang sesuai panggilan-Nya di dunia, yakni menjadi juru damai antara Allah dan manusia. Itulah sebabnya Ia tetap memilih cara damai dalam menghadapi musuh. Pengalaman Yesus mesti menjadi pola bagi para pengikut-Nya agar senantiasa memelihara kedamaian, bahkan ketika mereka dimusuhi.
Keempat, sebagaimana dikatakan Yesus, kekerasan hanya membawa kebinasaan. Sebab suatu kekerasan, akan dibalas dengan kekerasan yang lebih besar, dan akibatnya binasalah mereka yang menjadi bagian dari kekerasan itu. Hal ini terjadi karena, sebagaimana dikatakan para ilmuan, manusia adalah makhluk yang paling bisa bertindak tidak manusiawi. Sebab manusia dapat menggunakan daya kekuatannya untuk melakukan kekerasan, lebih-lebih bila kekuatan dirinya, terutama akal budinya dipadukan dengan peralatan yang dapat dibuatnya. Seorang ilmuan mengatakan, bila naluri agresivitas manusia dipadukan dengan akal budi yang penuh kalkulasi dan peralatan yang dibuatnya, maka akan terjadi kekerasan destruktif yang luar biasa. Peristiwa kekerasan yang tidak manusiawi, seperti pembunuhan keji, tindakan mutilasi, bom bunuh diri, pembunuhan jutaan “tersangka PKI”, penembakan terhadap para demonstran di Myanmar, kekejaman Auschwitz, Dachau, “the killing field”, perang Irak dan lain sebagainya adalah contoh dari kekerasan yang sangat brutal dari manusia. Pada hewan, kita tidak menemukan kekerasan sekejam dan sebrutal itu. Itulah sebabnya Yesus menolak penggunaan kekerasan, karena hanya akan membawa kebinasaan. Tak heran bila Mahatma Gandhi, seorang Hindu yang mengagumi Yesus karena ajaran nir-kekerasan-Nya ini pernah mengatakan: “kalau gigi ganti gigi, maka omponglah seluruh dunia. Atau kalau mata ganti mata, maka butalah seluruh umat manusia”. Dengan kata lain, Yesus menghendaki damai sejahtera yang dibawa-Nya ke bumi menetap dan merajai seluruh kehidupan manusia, agar di bumi seperti di surga. Dan para pengikut-Nya, diminta untuk senantiasa membawa damai (bnd. Matius 5:9).
Penutup
Ajaran nir-kekerasan Yesus telah menginspirasi banyak perjuangan melawan kekerasan dengan cara damai. Aksi damai suster Ann dalam menghadapi kekerasan junta Militer Myanmar tentu terinspirasi oleh ajaran Yesus tersebut. Gandhi, seorang Hindu pun menerapkan ajaran Yesus itu ketika menghadapi para penjajah Inggeris di India. Tetapi perlu diingat bahwa ajaran nir-kekerasan Yesus itu tidak hanya dikagumi, tetapi juga dicela. Friedrich Nietzsche, seorang ateis Jerman mengolok ajaran Yesus tersebut. Nietzsche mengatakan bahwa ajaran nir-kekerasan Yesus itu hanya akan memperlemah manusia, dan membuat manusia bermental budak/hamba sebab manusia diajak untuk mengalah, pasrah, bahkan menyerahkan diri pada yang lain untuk dikuasai. Nietszche menghendaki manusia super (ubermensch), yang mampu bertindak dengan segala daya dalam diri tanpa patuh pada moralitas Kristen seperti itu, yang mampu membalas kekerasan dengan kekerasan.
Tetapi sesungguhnya Nietzsche keliru, karena kekuatan manusia bukan terletak pada kekerasan yang ditampilkan, tetapi pada ketabahannya menanggung segala derita. Manusia yang kuat adalah manusia yang mampu menguasai diri ketika mengalami kekerasan sehingga tidak bertindak secara spontan dan brutal. Filsuf Denmark abad 19, Kiekegaard menulis: “who is stronger, he who says, “if you do not love me, I will hate you, or he who says, if you hate me, I will still continue to love you?” (siapa yang lebih kuat: apakah orang yang mengatakan, bila kamu tidak mengasihiku, aku akan membencimu, atau orang yang akan bilang: walau kamu membenciku, akan akan tetap mengasihimu?). Ajaran Yesus sesungguhnya turut menginspirasi Kierkegaard yang menghendaki kasih betapa pun dibenci.
Bagaimana pun, tidak gampang untuk menghidupi ajaran Yesus.Tidak mudah bagi kita untuk tetap tersenyum ketika kita dikhianati dan dijahati. Namun dalam minggu sengsara kelima ini, kita diajak untuk senantiasa menempuh cara-cara damai meskipun dikhianati dan dijahati. Dalam kenyataan pengkhianatan sering terjadi. Kita mengira mereka adalah tetangga yang baik, padahal mereka selalu menjatuhkan kita di belakang. Kita menganggap dia rekan kerja yang dapat dipercaya, tetapi ternyata dia selalu menjelekkan kita di hadapan pimpinan dan sesama. Pengkhianatan merupakan perbuatan yang paling menyakitkan karena justeru dilakukan oleh orang yang mendapatkan kepercayaan. Maka adalah lebih baik musuh yang terang-terangan daripada teman yang yang berkhianat. Bagaimana pun, kejahatan tidak boleh dibalas dengan kejahatan. Dunia tidak akan lebih baik bila kekerasan terus dipraktikkan. Maka ajaran Yesus mesti menjadi pola hidup kita sebagai pengikut-Nya, agar dunia menjadi lebih indah.
Para pengikut Kristus terpanggil untuk menjadi agen perdamaian (Mat.5:9), dari dalam keluarga, gereja, masyarakat, dunia kerja, dan seterusnya. Sebagai pengikut-Nya, kita diminta menolak kekerasan, baik kekerasan verbal (non-fisik) maupun non verbal (fisik). Lingkaran kekerasan mesti diputuskan, dan sebaliknya, hidup dalam kedamaian mesti diciptakan oleh kita sebagai pengikut Kristus. (Pdt. Gusti Menoh).
.