Karen Puimera: Pemimpin Kaum Muda di Dewan Gereja-Gereja se-Dunia

Karen Erina Puimera, Moderator Komisi Kaum Muda Dewan Gereja-Gereja se-Dunia (DGD), 2023-2030

www.sinodegmit.or.id, Karen Erina Puimera, baru-baru ini terpilih sebagai Moderator Komisi Kaum Muda Dewan Gereja-Gereja se-Dunia (DGD) atau Moderator Commission on Young People in the Ecumenical Movement, World Council of Churhces (WCC)pada sidang Majelis Pusat DGD yang berlangsung di Jenewa, 21-27 Juni 2023. Komisi kaum muda merupakan wadah bagi kaum muda dalam pergerakan ekumenis yang ditujukan untuk menyuarakan suara kaum muda, keprihatinan terhadap isu yang berkaitan dengan kaum muda, dan pandangan ke depan terhadap generasi muda dalam gerakan ekumenis global.

Karen yang berusia 25 tahun, berasal dari Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Jemaat Betesda Sidoarjo. Bagi Karen, kepemimpinannya di komisi kaum muda DGD adalah sebuah berkat dan kepercayaan kepada orang dari Asia, apalagi pemuda dari Indonesia dapat dipakai Tuhan sebagai pemimpin.

“Saya bersyukur bahwa DGD sangat inklusif terhadap kepemimpinan kaum muda, di mana mungkin saya belum memiliki kesempatan dalam pengambilan keputusan di sinode saya, sebagaimana saya bukan pendeta atau majelis jemaat. Namun di DGD, pemuda memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam pengambilan keputusan…”, kata Karen.

Apa saja tugas sebagai Moderator Kaum Muda DGD, kapasitas apa saja yang dibutuhkan supaya bisa terlibat dalam pergaulan dan pergumulan kaum muda gereja di lingkup global, dan isu-isu apa saja yang menjadi perhatian kaum muda DGD?

Berikut ini wawancara Berita GMIT (BG) dengan Karen Erina Puimera (KEP), yang saat ini sedang studi pascasarjana di Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS)-Universitas Gajah Mada.

BG:     Bagaimana ceritanya sehingga Anda bisa terlibat di DGD?

KEP:    Saya adalah delegasi sidang raya DGD yang direkomendasikan oleh sinode GPIB dan mendapat dukungan dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dalam posisi Majelis Pusat (MP). Saya juga tidak menyangka terpilih sebagai MP masa bakti 2022-2030 serta terpilih kembali sebagai ME (Majelis Eksekutif). Sudah menjadi tugas anggota MP untuk menghadiri sidang setiap dua tahun sekali dan bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan yang diadopsi dari sidang raya di Karlsruhe, [Jerman].

BG:     Kapasitas apa saja yang dibutuhkan agar bisa terlibat dalam pergaulan dan pergumulan kepemudaan gereja di tingkat global?

KEP:    Kembangkan potensi masing-masing baik itu dalam bidang akademik, passion yang dapat berpengaruh baik bagi banyak orang, skill dan pengalaman organisasi baik secara umum maupun dalam lingkup gereja dan gerakan ekumenis, terus kembangkan leadership dalam komunitas atau organisasi, memiliki kepekaan terhadap isu-isu sosial (krisis lingkungan, kesehatan mental, kenakalan remaja, ketidakadilan gender, hubungan lintas iman, relasi dengan masyarakat adat, isu di bidang politik dan ekonomi) yang relevan dengan pemuda, dan terlebih penting ialah memiliki spiritualitas yang bertumbuh di dalam Kristus.

BG:     Apa tantangan mengikuti sidang di level global seperti DGD?

KEP:    Bagi saya sendiri, tantangannya ialah keberanian untuk mengemukakan pendapat. Pada awal pertemuan saya tidak mengira bahwa dalam hearing session (pilgrimage plenary, reports, strategic plan) akan ada diskusi meja tentang hal-hal yang disampaikan pada sesi-sesi tersebut. Saya pada awalnya merasa malu karena mungkin pengalaman saya masih sedikit dibanding dengan orang-orang yang duduk di samping saya. Saya menjelaskan tentang konteks atau isu-isu sosial yang berkaitan dengan kehadiran gereja dalam menghadapi konteks atau isu-isu tersebut. Saya bersyukur bahwa mereka sangat menghargai pengalaman dan pendapat yang dikemukakan. Saya jadi teringat waktu itu kami membahas tentang isu lingkungan, dan saya menjelaskan bahwa di Indonesia ada seorang akademisi yang membahas tentang Theology of the Sea yaitu bapak Elia Magang, sebagai upaya menjawab konteks lingkungan dan geografis Indonesia sebagai negara maritim. Kemudian mereka sangat terkejut, kagum dan senang untuk belajar lebih dalam tentang itu. Saya turut senang karena dapat sekaligus mempromosikan gagasan luar biasa dari akademisi di GMIT.

BG:     Apa mengalaman menarik dari sidang itu bagi Anda?

KEP:    Ini merupakan pengalaman pertama saya mengikuti sidang MP DGD. Hal yang menarik ialah dapat bertemu dengan orang-orang dari negara yang berbeda, aliran gereja yang berbeda, usia yang berbeda. Hal paling menarik ialah pada saat sidang MP DGD saya mengamati bahwa mereka yang hadir dalam sidang ini menunjukkan sikap yang rendah hati, bela rasa, dan penuh belas kasih. Padahal yang hadir dalam sidang ini adalah anggota MP yang memiliki latar belakang luar biasa dalam konteks mereka masing-masing. Namun, bukanlah latar belakang mereka seperti pemimpin sinode, pemimpin organisasi oikoumene di regional tertentu, atau sebagai orang yang berpengaruh dalam pemerintahan negaranya, melainkan kemampuan untuk menghormati, menghargai, mendengar, berempati, dan berbelas kasih.  

BG:     Apa saja tugas moderator komisi pemuda DGD?

KEP:    Tugas saya ialah memimpin komisi ini selama tujuh tahun ke depan hingga sidang raya selanjutnya; memimpin rapat-rapat komisi yang dilakukan sekurangnya empat kali pertemuan secara fisik; berkoordinasi dengan anggota komisi, staff DGD, penasehat kaum muda; menjalin relasi dengan organisasi kepemudaan Kristen di tiap denominasi dan organisasi kepemudaan lainnya; melaporkan dan memberi ajakan pada gereja-gereja anggota dan badan-badan pengurus DGD tentang program-program bagi kaum muda yang diselenggarakan oleh DGD; senantiasa mempromosikan partisipasi dan kepemimpinan kaum muda di gereja, komunitas, dan gerakan ekumenis

BG:     Sebagai utusan dari Indonesia dan terpilih sebagai moderator kaum pemuda DGD, lantas, apa makna keterpilihan itu bagi Anda secara pribadi dan pemuda gereja di tingkat global?

KEP:    Saya kembali mengingat ketika saya diberi kesempatan menjadi pengurus pemuda gereja saat saya masih kuliah Strata-1 di Salatiga. Saya menjadi bagian dari keluarga besar Gerakan Pemuda GPIB Jemaat “Tamansari” Salatiga, saya sebagai sekretaris selama satu periode (2018-2020). Kemudian di tahun 2023 ini saya dipilih untuk menjadi moderator Komisi Pemuda dalam Gerakan Ekumenis YPEM (Young People in the Ecumenical Movement). Pergerakan kepemudaan sepertinya sudah menjadi panggilan yang Tuhan sediakan bagi saya, baik itu dalam lingkup gereja lokal hingga di lingkup ekumenis global. Sebuah berkat tersendiri bagi saya dan saya meyakini dengan iman bahwa panggilan ini diberikan supaya saya senantiasa melayani-Nya dan bertumbuh baik secara spiritual dan mental sebagai pemimpin.

Secara luas saya melihat panggilan ini menunjukkan bahwa orang dari Asia, apalagi pemuda dari Indonesia dapat dipakai Tuhan sebagai pemimpin. Saya melihat bahwa nama saya bersanding bersama dengan nama-nama moderator dari komisi lain yang dua di antaranya berasal dari Asia. Sempat ada perasaan dilema, namun seakan Tuhan menutup perasaan ketidakpercayaan diri itu dengan dukungan yang begitu luar biasa dari banyak orang, itu juga yang membuat saya bertahan hingga saat ini.

Saya bersyukur bahwa DGD sangat inklusif terhadap kepemimpinan kaum muda, di mana mungkin saya belum memiliki kesempatan dalam pengambilan keputusan di sinode saya, sebagaimana saya bukan pendeta atau majelis jemaat. Namun di DGD, pemuda memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam pengambilan keputusan yang juga berguna bagi kami dalam menyuarakan dan memperjuangkan kehadiran pemuda secara maksimal, dalam segi kuantitas (representasi) dan juga kualitas (kepemimpinan) di DGD.

BG:     Hal-hal apa yang menjadi isu kepemudaan dalam sidang itu?

KEP:    Yang menjadi isu kepemudaan dalam sidang ini ialah kehadiran pemuda baik secara kuantitas dan juga kualitas. Pemuda kerap kali dijadikan sebagai cadangan atau jatah dalam mendapatkan kursi sebagai anggota MP. Hal ini terlihat dari beberapa kaum muda yang kemudian tidak melanjutkan keanggotaannya dalam MP, kemudian gereja mereka menggantikan dengan orang yang bukan lagi termasuk golongan kaum muda. Tentu hal ini tak dapat dikekang oleh DGD, sebab itu semua hak dari sinode atau gereja yang mengutus. Saya bersyukur bahwa DGD dapat menyikapi hal ini dengan baik sehingga terdapat 17 penasehat dari kaum muda yang hadir dalam upaya mewujudkan cita-cita kaum muda saat sidang raya di Karlsruhe, [Jerman], yang menginginkan kehadiran pemuda di MP sebanyak 25%. Saya juga melihat masalah representasi ini dalam tubuh gereja Ortodoks, yang berusaha juga membuka kesempatan bagi kaum muda, kaum perempuan, dan kaum awam untuk menjadi representasi dalam MP.

Dalam aspek kualitas juga seringkali pemuda sulit mendapat ruang untuk memperlihatkan kemampuan dan kompetensi mereka, sebab yang didahulukan kerap kali adalah orang yang sudah memiliki banyak pengalaman. Saya mengingat perkataan teman satu komisi dalam standing committee, Miriam Weibye, yang menjelaskan keterlibatannya pada MP periode yang lalu sebagai kaum muda. Ia menyatakan, “Trust your young people. We have skills—and if you nurture those skills we will still be here when we’re not young people anymore.” Kehadiran kaum muda sudah seharusnya menunjukkan bahwa di usia yang masih muda kami telah memberi dampak bagi komunitas, memiliki kompetensi, keahlian, dan pengalaman, yang menjadikan kami layak ada di MP DGD.

Isu-isu kepemudaan lainnya juga turut berkesinambungan dengan isu-isu sosial lainnya, apa lagi dalam area-area konflik, seperti Rusia-Ukraina, semenanjung Korea, dan konflik lainnya, peran pemuda dapat menjadi agen perubahan dan agen perdamaian melalui dialog dalam rangka menciptakan rekonsiliasi dan perdamaian.

BG:     Dari isu-isu tersebut apa saja yang mungkin relevan bagi konteks peran pemuda gereja di Indonesia untuk diimplementasikan?

KEP:    Saya melihat isu kepemudaan yang relevan dengan konteks saat sidang MP DGD ialah kaderisasi pemuda gereja. Seringkali representasi pemuda dalam kegiatan baik lingkup sinodal hingga PGI diisi oleh orang-orang yang sudah menuju dewasa muda, mendekati 25 hingga lebih dari 30 tahun. Di DGD, orang muda ialah mereka yang berusia 18-30 tahun. Jarak usia yang tidak terlalu jauh menolong pemuda memahami situasi mereka dan terlebih menghasilkan kemurnian perjuangan pemuda yang tidak terpecah karena adanya politic of interest. Tentu kepentingan regional, aliran gereja, negara, dan lain sebagainya kerap mewarnai dinamika tersebut, namun apa yang saya rasakan di DGD tidak demikian. Kaum muda lebih sering menyatukan suara mereka dalam sebuah kesamaan pandangan dan pemikiran untuk memenuhi hak dan kewajiban pemuda, terlepas dari latar belakang yang berbeda. Hal ini dibuktikan dari bagaimana pemuda bersatu melakukan demo terhadap representasi pemuda di MP saat sidang raya tahun lalu, dan bagaimana mereka berdemo menginginkan adanya presiden pemuda di DGD dan peningkatan representasi kaum muda di sidang raya yang akan datang. Hal ini kiranya bisa menjadi contoh bagi gereja-gereja di Indonesia dalam melihat peran pemuda yang akan sangat luar biasa bila dibina dengan baik dan diberikan kesempatan emas. Saya juga berharap bahwa pemuda juga diberikan kesempatan dalam pengambilan keputusan di gereja-gereja, apalagi hal-hal yang menyangkut program kegiatan bagi pemuda demi perkembangan spiritual dan perkembangan kepemimpinan (leadership development).

BG:     Adakah isu kepemudaan dari gereja-gereja di Indonesia yang Anda sampaikan atau diskusikan dalam sidang tersebut?

KEP:    Dalam diskusi meja, saya turut menyampaikan bahwa isu kepemudaan di gereja-gereja Indonesia salah satunya tentang isu kesehatan mental yang juga terjadi di kalangan pemuda gereja. Saya bersyukur terdapat gereja yang sudah melihat isu kesehatan mental sebagai bagian dari pergumulan pemuda yang tidak dapat dianggap sepele. Namun, tidak dipungkiri bahwa isu ini belum cukup menjadi concern atau isu prioritas bagi seluruh gereja karena masih terdapat pandangan bahwa gangguan mental atau ketidaksehatan mental sebagai bagian dari ‘kurang iman’ atau ‘kurang berdoa’. Penting bagi gereja secara khusus bagi pendeta, majelis jemaat, aktivis gereja, terlebih khusus pemuda memiliki pandangan bahwa hal ini merupakan bagian dari pergumulan pemuda yang disikapi dengan keramahan, sifat merangkul, tidak menghakimi, dan memiliki kepekaan untuk menolong mereka yang ada dalam kesulitan dalam memahami diri mereka sendiri ditengah permasalahan ini.

Saya juga menjelaskan bahwa pemuda di Indonesia sangat bisa diandalkan jika mengenai teknologi, terlebih dapat dikatakan hampir semua pemuda gereja merupakan pengguna aktif sosial media. Kegiatan-kegiatan pemuda gereja pun rutin dibagikan melalui sosial media seperti Instagram. Namun pemanfaatan sosial media sebagian besar masih berorientasi sebagai ‘lonceng gereja’ pertanda informasi adanya ibadah pemuda di setiap minggunya. Saya rasa sosial media bisa menjadi alat bagi gereja untuk terjun menyuarakan suara pemuda yang menghadapi diskriminasi usia atau problem lintas generasi, kesadaran terhadap kesehatan mental, kesadaran terhadap tindakan ketidakadilan atau kekerasan berbasis gender yang hadir di tengah relasi berpacaran di kalangan muda, kesadaran pentingnya kesehatan program reproduksi di usia muda, kesadaran terhadap alam yang semakin rusak yang mempengaruhi kehidupan kita di masa depan, pentingnya pendidikan bagi anak muda, dan masih banyak hal lain yang akan sangat bermanfaat jika kita dapat membagikannya di sosial media.

BG:     Program-program apa saja yang akan dikerjakan pemuda DGD pasca sidang?

KEP:    Kami akan membantu DGD mensosialisasikan International Youth Day yang akan dilaksanakan pada bulan Agustus 2023. Kami juga akan melakukan pertemuan perdana pada akhir tahun ini secara daring untuk membahas apa saja yang akan kami lakukan selama tujuh tahun ke depan.

BG:     Berapa banyak utusan pemuda yang mengikuti sidang itu?

KEP:    Anggota MP kaum muda yang hadir sekitar 17 orang. Kemudian terdapat penasehat pemuda sebanyak 17 orang, namun yang hadir hanya tujuh orang karena terlambatnya informasi dari DGD yang mengakibatkan terlambatnya pengurusan visa bagi penasehat pemuda. Kesulitan kaum muda mendapatkan visa ke Swiss juga menjadi salah satu hal yang disorot saat persidangan. Sekretaris Jenderal DGD juga berupaya untuk membantu kaum muda dalam pengurusan visa bagi kegaitan yang akan datang. Terdapat pula 32 orang stewards atau pandu sidang yang terdiri dari kaum muda dari tiap-tiap regional. Sehingga jumlah utusan muda baik itu anggota MP, penasehat, hingga pandu sidang sekitar 56 orang.

BG:     Apa harapan Anda bagi pemuda-pemuda gereja di lingkup PGI?

KEP:    Mari bersama-sama menjadi agen perubahan dan agen perdamaian. Mari bersama-sama peka dan tidak apatis terhadap hal-hal yang terjadi di sekitar kita. Gunakan kemampuan, keahlian, kompetensi, pengalaman untuk menyuarakan dan memperjuangkan hak kaum muda di tengah gereja dan masyarakat. Dan jangan lupa menggunakan kesempatan pemuda untuk terjun dalam gerakan ekumenis melalui kesempatan mengikuti program pandu sidang, pelayanan dalam organisasi kepemudaan dan gerakan ekumenis, kesempatan belajar tentang pergerakan ekumenis, dan senantiasa menggali informasi terbaru terhadap gerakan ekumenis di Indonesia, regional dan global. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *