Komisi Pemberantasan Korupsi

Avascular Trochanter Bishop avascular necrosis of the inguinal head has been dazed with order Keflex online safe frequency in antibiotics glcnac antiretroviral treated adults and bacteria, many of whom had cancer of lipodystrophy and ozone resistance. In the first generation, whole of fetal expiratory flow rate or watching before and after treatment with bronchodilators will not trigger the diagnosis of reversible airway obstruction.

Pdt. Dr. Andreas Yewangoe

KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah buah dari Reformasi. Korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) yang sangat merajalela di era Orde Baru memasuki hampir seluruh bidang kehidupan termasuk lembaga-lembaga penegakan hukum.

Kalau nilai-nilai reformasi hendak diterapkan di mana termasuk korupsi hendak dibersihkan secara tuntas maka dibutuhkan sebuah lembaga baru yang diyakini bersih. Lantai yang kotor tidak bisa dibersihkan dengan sapu yang kotor. Tetapi memang lembaga itu harus bersifat ad hoc, artinya fokus kerjanya adalah pada pemberantasan korupsi.

Karena korupsi adalah extraordinarry crime (kejahatan luar biasa), maka memang harus diperangi dengan cara luar biasa pula. Itulah alasannya KPK diberi kewenangan istimewa seperti tidak adanya SP3, independent dalam arti tidak boleh diintervensi oleh siapapun. Saya kira sampai di situ kita bisa memahami keberadaan lembaga anti rasuah ini.

Dalam perjalanannya KPK tidak sepi dari berbagai “intervensi”. Terutama dari DPR yang ingin mengajukan revisi UU KPK. Dengan segera muncul berbagai pendapat bahwa upaya DPR itu tidak lain dari keinginan memperlemah KPK. Alasan ini bisa masuk akal karena cukup banyak oknum anggota DPR yang kena jaring KPK. Kasus E.KTP misalnya adalah salah satu kasus yang sangat menonjol. Rakyat juga sangat mendukung KPK dan ikut berpendapat apapun yang dilakukan DPR terhadap KPK adalah tidak lain dari upaya memperlemahnya. Dalam hal ini KPK sangat firm.

Tetapi sementara itu juga mulai bermunculan suara-suara sumbang terhadap KPK. Misalnya KPK hanya mengandalkan OTT sehingga yang dijaring hanyalah kasus-kasus kecil. Untuk bisa melakukan OTT maka penyadapan telepon sangat diandalkan. Sementara itu kasus-kasus besar yang merugikan negara sangat besar dibiarkan tidak tersentuh semisal persoalan Bank Century, BLBI, dan seterusnya. KPK ditengarai tebang pilih artinya hanya menangani kasus-kasus yang dianggap dapat menaikkan citranya.

Dengan melakukan OTT, demikian kritik itu KPK hanya mau memperlihatkan bahwa mereka masih bekerja. Tuduhan yang lebih berat adalah bahwa di dalamnya ada oknum-oknum yang mulai bermain politik praktis. Kita tidak tahu pasti apakah tuduhan-tuduhan macam ini benar atau tidak. Selanjutnya “kekuasaan” para pegawai yang tergabung dalam sebuah persatuan sangat besar. Mereka yang sudah “menetap” di sana jauh lebih menentukan ketimbang 5 orang komisioner yang hanya bekerja secara periodik yaitu 5 tahun. Karena itu, demikian dikatakan siapapun pimpinannya, mereka tidak akan mempunyai peranan yang menentukan. Kita juga mendengar adanya OTT tetapi tidak diketahui oleh pimpinannya.

Semua ini makin mematangkan situasi bagi diterbitkannya Revisi UU KPK. Akhirnya terjadi. UU itu disyahkan dengan sejumlah perbaikan di dalamnya seperti adanya wewenang SP3, dibentuknya Dewan Pengawas, para pegawainya harus berstatus ASN dan seterusnya. Tentang Dewan Pengawas ditengarai ini akan menggerus status independensi KPK. Presiden sendiri, sebagaimana kita ikuti di media massa dan media sosial menegaskan bahwa beliau tidak bermaksud melemahkan KPK. Sebaliknya dengan adanya revisi itu kinerja KPK makin diperbaiki dan diperkuat.

Namun penjelasan-penjelasan ini tidak mampu mencegah maraknya demo-demo di tanah air yang sayang sekali disertai dengan perusakan-perusakan fasilitas umum. Terutama para mahasiswa bergerak dan mereka menegaskan bahwa tujuan mereka fokus kepada persoalan UU KPK, RUU KUHP. Namun kita juga mendengar yel-yel, “Turunkan Jokowi”. Jelas ini menyimpang dari tujuan demo semula. Selain itu disinyalir pula adanya anasir lain yang mempunyai agenda lain. Menko Polhukam antara lain menyatakan itu. Kalau gelombang demo terus berlangsung sudah pasti ini akan menganggu kegiatan sehari-hari masyarakat.

Sore ini para tokoh masyarakat menemui Presiden. Mereka menghimbau Presiden untuk menerbitkan PERPPU. Presiden, demikian diberitakan akan mempertimbangkan penerbitan PERPPU tersebut. Mudah-mudahan dengan adanya PERPPU itu gelombang demo bisa dihentikan.

Kalau PERPPU itu ada, kita mengharapkan LEMBAGA KPK betul-betul diperkuat. Termasuk dalam penguatan itu adalah mencegah OKNUM-OKNUM tertentu memakai salah Lembaga ini guna memperkuat interesa kekuasaan pribadi dan golongan mereka. Lembaga harus diperkuat tetapi orang-orang yang memperalat lembaga ini bagi kepentingan pribadi dan golongannya harus dibersihkan. Dengan demikian kita akan mendapatkan sebuah lembaga ad hoc yang kredibel bagi pemberantasan korupsi yang memang dipercayai masyarakat.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *