KUPANG,www.sinodegmit.or.id, Sekitar 70 dari 153 pendeta emeritus GMIT mengikuti konven yang diselenggarakan Badan Diakonia GMIT, Jumat, 10/11-2017 di hotel Olive-Kupang. Kegiatan ini diawali dengan kebaktian pembukaan yang dipimpin Pdt. Prof. Dr. Semuel B. Haakh.
Dalam khotbah menurut kitab Keluaran 18:13-27, Pdt. Sem mengulas peran dua sosok pemimpin dalam Perjanjian Lama beda zaman yakni Yitro dan Musa. Yitro adalah imam di Midian sekaligus mertua Musa. Yitro yang sudah memiliki dua cucu, merasa bahwa tidak efektif bila menantunya Musa memimpin 2 jutaan umat Israel seorang diri. Karena itu ia mengusulkan agar model kepemimpinan Musa mesti dirubah dari kepemimpinan tunggal menjadi kolektiv.
“Musa tahu bahwa sekalipun Yitro sudah tua, tetapi dia dengan rendah hati menerima nasihat dan gagasan dari Yitro untuk melanjutkan pelayanannya. Itulah sinergi dari dua tokoh yang beda zaman,” kata Pdt. Sem.
Secara definisi kata Pendeta GMIT yang pada bulan Oktober lalu mendapat gelar profesor di bidang Perjanjian Baru ini, kata “emeritus” dikenakan pada laki-laki dan “emerita” dikenakan pada perempuan. “e” artinya keluar dari dan “merita” artinya ditempatkan di tempat yang lain. Kata ini menunjuk kepada seorang pensiun profesor, uskup atau pendeta. Karena keahliannya emeritus/emerita tetap difungsikan untuk memberikan nasihat dan ceramah, kuliah dst.-nya.
Karena itu, dalam refleksinya, ia mengajak para emeritus dan emerita untuk menggumuli sebuah pertanyaan: Bagaimana fungsi kependetaan para emeritus dimanfaatkan bagi pelayanan dan pertumbuhan GMIT di masa mendatang.
Konven pendeta emeritus yang dilaksanakan untuk pertama kali ini dibuka oleh Sekretaris MS GMIT, Pdt. Yusuf Nakmofa. Dalam suara gembalanya, ia mengatakan bahwa pendeta emeritus memiliki potensi yang besar karena itu dibutuhkan wadah yang bisa menjembatani relasi komunikasi para pendeta emeritus di lingkup jemaat, klasis dan sinode.
Usai kebaktian pembukaan, konven diisi dengan seminar yang menghadirkan Pdt. Emr. Dr. Junus E. E. Inabuy, Pdt. Dr. Mery Kolimon dan Robert Fanggidae.
Dalam makalahnya, Pdt. Emr. Inabuy mengkritisi anggapan keliru sebagian orang seolah-olah pendeta yang memasuki masa emeritus otomatis berhenti dari panggilan pelayanannya. Kalaupun ia dilibatkan, pekerjaan itu dianggap sekadar “bantu-bantu” pelayanan. Padahal menurutnya, secara teologis panggilan Allah bagi seorang pendeta tidak pernah berhenti.
“Secara administratif-organisatoris tugas sebagai karyawan berakhir ketika pensiun, namun panggilan Allah sebagai pendeta tetap terikat sampai mati,” ujar Pdt. Inabuy.
Pada kesempatan yang sama, Pdt. Mery mengemukakan bahwa mengacu pada pokok-pokok eklesiologinya, GMIT memandang dirinya sebagai keluarga Allah karena itu pendeta emeritus adalah bagian dari anggota keluarga Allah di GMIT yang berhak dan berkewajiban untuk bersama-sama dengan semua anggota keluarga Allah lainnya dalam GMIT mengupayakan persaudaraan.
“Kasih persaudaraan dan keakraban dalam pelayanan tidak boleh selesai setelah masa emeritasi, namun harus terus berlanjut melintasi periode-periode pelayanan. Kadang-kadang kami mendengar ada pendeta emeritus yang merasa tidak lagi dilibatkan dalam pelayanan. Kita perlu terus saling mengingatkan bahwa relasi persahabatan dan kasih perlu terus di rawat meskipun jabatan keorganisasian tidak lagi diemban,” pesan Pdt. Mery.
Dalam konven ini dibentuk dan dipilih badan pengurus “Persekutuan Pendeta Emeritus GMIT” yang terdiri dari Ketua, Pdt. emr. Hengky Malelak, Wakil ketua, Pdt. emr. Mes beeh, Sekretaris, Pdt. emr. Daniel Nenotek, wakil sekretaris, Pdt. Emr. Jack Karmany, Bendahara, Pdt. Emr. S.E.L. Meza-Tauk. ***