sumber: transformasi.com
www.sinodegmit.or.id, Saya pernah mendengar khotbah begini, “Membalas kebaikan dengan kebaikan, atau kejahatan dengan kejahatan, itulah anak-anak manusia. Membalas kebaikan dengan kejahatan, itulah anak-anak Iblis. Tetapi membalas kejahatan dengan kebaikan, itulah anak-anak Tuhan.” Yang terakhir ini merupakan salah satu ciri khas ajaran Kristen. Dasarnya pada perkataan Tuhan Yesus dalam Matius 5:43-48 yang merupakan penggalan khotbah Yesus di bukit.
Di sana Yesus berkata, “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu… Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikian? Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di Sorga adalah sempurna.”
Kata-kata Tuhan Yesus ini sangat terkenal dalam kekristenan. Akibatnya Alkitab Perjanjian Lama (PL) dianggap tidak memiliki ajaran seperti ini. Jadi seolah-olah PL hanya berisi hukum balas membalas; mata ganti mata, gigi ganti gigi, nyawa ganti nyawa dan seterusnya. Padahal tidak demikian. Dalam 1 Samuel 24:1-23 dan juga 1 Samuel 26:1-25 kita melihat bagaimana Daud dua kali membalas kejahatan Saul dengan kebaikan.
Khusus untuk 1 Samuel 24:1-23, terlihat bagaimana Daud membiarkan Saul hidup di saat ada kesempatan dalam kesempitan untuk membunuhnya. Hal ini Daud lakukan karena rasa takutnya kepada Allah tetapi juga karena kasihnya kepada Saul. Padahal saat itu justru Saul sedang memburu Daud untuk membunuhnya.
Kisahnya dimulai dengan informasi bahwa Daud tinggal di kubu-kubu gunung En-Gedi. Pada saat itu En-Gedi merupakan sumber air tawar yang penting di tepi barat Laut Mati. Selain itu di En-Gedi juga terdapat banyak gua yang dapat dijadikan tempat persembunyian yang cukup baik bagi Daud dan orang-orangnya. Ketika Saul mendengar bahwa Daud ada di En-Gedi, dia mengejarnya dengan pasukan berjumlah tiga ribu prajurit.
Nafsu Saul yang besar untuk membunuh Daud merupakan akumulasi dari rasa dengkinya terhadap popularitas Daud, berkuasanya roh jahat dalam diri Saul dan juga rasa takut Saul kepada Daud (1 Sam. 18:6-30). Hal ini diperparah dengan fitnah dari orang-orang yang tidak menyukai Daud (1 Sam. 24:10). Akibatnya Saul semakin membenci dan beranggapan bahwa Daud merupakan ancaman yang mesti dilenyapkan. Dari sini dapat kita lihat bahwa akumulasi dari rasa iri dan dengki, ketiadaan Roh Tuhan dan ketakutan yang berlebihan dapat membuat seseorang menjadi sangat berbahaya bagi sesamanya.
Di dalam salah satu gua di En-Gedi, Daud memperoleh kesempatan emas untuk membunuh Saul. Tetapi yang Daud lakukan hanya memotong punca jubahnya. Pada masa itu jubah (atau mantel) seseorang merupakan lambang dari otoritas atau jabatan orang yang mengenakannya. Dengan memotong punca jubah Saul, Daud hendak menunjukkan bahwa sebenarnya di dalam gua tersebut Saul telah berada di dalam kekuasaan Daud. Sekalipun demikian, Daud tetap memperlakukan Saul dengan baik. Saul yang berbuat jahat kepada Daud dibalas dengan perbuatan baik Daud kepada Saul. Punca jubah Saul yang ada di tangan Daud itulah yang menjadi buktinya.
Bukti dan kata-kata yang Daud tunjukkan dan sampaikan membuat hati Saul menjadi luluh. Saul pun terharu sehingga menangis dengan suara keras. Di saat yang sama, dia membuat empat pengakuan dan satu permintaan.
Pertama,Saul menyapa Daud dengan kalimat, “Suaramukah itu, ya anakku Daud?” Ucapan “anakku” dari Saul kepada Daud bukanlah sekedar formalitas atau basa basi semata. Ini adalah sebuah pengakuan. Sebab Daud memang anak Saul. Lebih tepatnya, Daud itu anak mantu atau menantunya Saul karena Daud telah menikahi Mikhal, anak perempuan Saul.
Kedua,Saul mengakui bahwa Daud yang benar dan dirinyalah yang salah. Ketiga,Saul mengakui bahwa Tuhan menyertai Daud. Keempat,Saul mengakui bahwa Daud akan menjadi raja setelah dirinya dan kekuasaan Daud akan tetap kokoh dalam waktu yang lama. Kelima,Saul meminta Daud untuk melindungi kaum keluarga dan keturunannya. Permintaan ini dikabulkan oleh Daud dengan bersumpah. Di kemudian hari Daud menepati sumpahnya ini (2 Sam. 9:1-13). Semua pengakuan dan permintaan ini Saul ucapkan karena merasakan ketulusan Daud.
Apa pelajaran dari kisah ini bagi kita? Setidaknya ada tiga pelajaran penting. Pertama,kejahatan dapat terjadi karena akumulasi dari rasa dengki, ketiadaan Roh Tuhan dan rasa takut yang berlebihan (paranoid). Inilah yang ada dalam diri Saul. Tetapi bukan hanya itu saja. Sebab pada masa kini alasan timbulnya kejahatan sudah semakin kompleks.
Misalnya, kejahatan dapat terjadi karena adanya niat dan kesempatan. Kejahatan dapat terjadi karena nafsu ingin menguasai atau mendominasi. Kejahatan dapat terjadi karena luka batin yang belum sembuh. Ini adalah jenis kejahatan dalam bentuk kekerasan terhadap diri sendiri seperti pada berbagai kasus bunuh diri.
Selanjutnya, kejahatan dapat terjadi karena aksi balas membalas sehingga menjadi mata rantai kekerasan yang membudaya. Kejahatan dapat terjadi karena rendahnya adab dan budaya literasi di media sosial (cyber crime). Kejahatan dapat terjadi karena lingkungan sosial yang buruk. Kejahatan dapat terjadi karena solidaritas negatif. Kejahatan dapat terjadi karena pengaruh adegan kekerasan dalam film-film action. Dan lain sebagainya.
Selain hal-hal ini, kita pun mesti menyadari akan adanya kejahatan yang merupakan warisan dari budaya etnis-etnis lokal. Misalnya, budaya teku(pencurian dengan kekerasan) di Timor. Sekalipun budaya tekuyang asli sudah tidak ada lagi, namun aksi pencurian dengan cara dan bentuk yang baru masih ada. Atau budaya kawin tangkap di Sumba. Sekalipun aparat penegak hukum, gereja maupun berbagai LSM telah berjuang keras untuk menghilangkan budaya ini, namun masih tetap dipertahankan oleh sebagian kelompok masyarakat. Ada juga kejahatan yang timbul karena kuatnya budaya patriarki yang terdapat dalam hampir semua etnis dalam wilayah pelayanan GMIT.
Semua hal yang menjadi alasan timbulnya kejahatan ini mesti senantiasa disadari. Sebab dengan demikian kita semakin waspada untuk terhindar darinya. Saul telah membiarkan dirinya jatuh ke dalam lingkaran kejahatan dan kekerasan secara berulang-ulang. Akibatnya Roh Tuhan meninggalkannya sehingga dia melangkah tanpa arah. Dia menjalani kehidupan tanpa adanya ketenangan. Akhirnya dia menemui ajalnya secara tragis. Dia mati terbunuh bersama anak-anak dan tentara-tentaranya (1 Sam. 31:1-13). Ini menunjukkan bahwa orang yang membiarkan dirinya ada dalam lingkaran kejahatan akan menjalani kehidupan tanpa adanya ketenangan. Mereka pun beresiko menuju akhir hidupnya dengan tragis. Karena itu, sekali lagi, jauhkanlah sifat, niat dan perbuatan-perbuatan jahat dari hidup kita.
Kedua,orang Kristen yang sejati mesti mampu membalas kejahatan dengan kebaikan. Itulah yang Daud lakukan. Alih-alih membunuh Saul, dia hanya memotong punca jubah Saul untuk dijadikan bukti kebaikannya. Namun dalam hal ini orang Kristen pun mesti waspada agar tidak menjadi objek permainan para pelaku kejahatan. Untuk itu beberapa hal mesti menjadi perhatian.
Di antaranya, orang Kristen mesti memiliki Roh Tuhan di dalam dirinya. Orang Kristen mesti lebih berfokus pada suara Tuhan dibandingkan dengan suara hatinya. Orang Kristen mesti mendorong pelaku kejahatan agar menyadari kejahatan dan dosa-dosanya untuk kemudian bertobat. Orang Kristen juga mesti senantiasa berdoa agar Tuhan melindunginya dari pelaku-pelaku kejahatan. Dengan memiliki hal-hal ini, orang Kristen akan mengalahkan kejahatan dengan kebaikan.
Ketiga,tindakan membalas kejahatan dengan kebaikan bukanlah tindakan sia-sia. Ada banyak manfaatnya. Bagi Daud, manfaatnya yaitu dia mendapatkan empat pengakuan dan satu permintaan dari Saul. Sedangkan bagi orang Kristen pada masa kini, ada juga berbagai manfaat lainnya.
Misalnya, situasi yang buruk dapat dikuasai sehingga hati menjadi tenang dan damai. Pelaku kejahatan ditolong untuk sadar sehingga berhenti melakukan kejahatan. Kejahatan yang dibalas dengan kebaikan juga akan memperpendek relasi ketegangan. Artinya, situasi yang tegang menjadi lebih kondusif. Selain itu kejahatan yang dibalas dengan kebaikan dapat meningkatkan kesehatan jasmani maupun rohani. Orang yang melakukan kebaikan untuk mengatasi kejahatan akan membuat mata rantai dosa diputuskan. Orang yang melakukan kebaikan untuk mengatasi kejahatan akan menjadi agen perubahan. Orang yang melakukan kebaikan sebagai balasan atas kejahatan juga akan melatih diri untuk dapat mengampuni. Hal-hal ini menunjukkan pentingnya membalas kejahatan dengan kebaikan. Apakah hal ini mudah dilakukan? Tentu saja tidak. Justru sebaliknya, ini merupakan hal yang sulit diwujudkan. Bahkan bagi kalangan tertentu, hal ini mustahil terwujud. Namun inilah yang mesti dilakukan. Sebab dengan demikian maka berkat Tuhan akan melimpah di sepanjang hidup dan keturunan kita. Daud sudah mengalaminya. Bagaimana dengan kita? Buatlah komitmen di hadapan Tuhan lalu laksanakanlah! Tuhan Yesus pasti menolong. Amin.***